Minggu, 07 Juni 2009

Madzhab Liberalisme

Seperti telah disebut di atas, para pembaru mencoba mendobrak stagnasi dengan melakukan salah satu di antara dua pilihan. Mereka kembali secara ketat pada teks-teks al-Qur’an dan al-hadits atau mereka berusaha menemukan ruh atau semangat dari ajaran al-Qur’an dan al-hadits. Yang pertama kita sebut skripturalisme (sudah dibicarakan) dan kedua, karena berusaha secara bebas untuk menggunakan penalaran, kita sebut liberalisme. Walaupun saya tidak akan membahas pokok-pokok pikiran kaum liberal Islam seperti yang dipaparkan Leonard Binder, saya akan mengutip deskripsinya tentang kaum liberalis Islam.

For Islamic liberals, the language of the Qur’an is coordinate with the essence of revelation, but the content and the meaning of revelation is not essentially verbal. Since the words of the Qur’an do not exhaust the meaning of revelation, there is a need for an effort at understanding which is based on the words, but which goes beyond them, seeking that which is represented or revealed by language.

Jadi ciri khas kaum liberalis ialah upaya untuk menangkap esensi wahyu; makna wahyu di luar arti lahiriah dari kata-kata. Mereka bersedia meninggalkan makna lahir dari teks untuk menemukan makna dalam dari konteks. Di bawah ini saya akan mengulangi lagi akar pemikiran kaum liberalis dengan mengutip apa yang pernah saya tulis pada pengantar buku Islam dan tantangan Modernitas. Setelah itu, secara khusus kita akan mengambil contoh pemikiran Ibrahim Hosen dan Fazlur Rahman untuk menggambarkan pokok-pokok pemikiran kaum liberalis. Seperti biasa, pada akhirnya saya akan mengajukan kritik.

Sejarah Madzhab Liberalisme

Fiqh kaum liberal dapat dilacak pada madzhab ahl al-ra’y di kalangan para sahabat Nabi. Fiqh al-ra’y sebenarnya sejajar dengan tafsir al-Qur’an bi al-dirayat, tapi kaum liberalis modern justru mengambil inspirasi dari tafsir bi al-ma’tsur. Karena itu, sesudah mengutip sejarah ijtihad bi al-ra’y saya akan mengutip juga perkembangan tafsir bi al-ma’tsur.

Tradisi Ijtihad bi ‘L-Ra’y

Ketika Ibrahim Hosen berbicara tentang ta’aqquli dan ta’abbudi, dan ketika Rahman mengulas pemikiran modernis dan fundamentalis, keduanya menggaungkan kembali perbedaan pendapat para sahabat tentang sunnah Rasullah saw. Apakah Nabi Muhammad saw berijtihad? Banyak para sahabat membagi perintah-perintah Nabi ke dalam dua bagian. Yaitu yang berhubungan dengan ibadah ritual (kelak disebut huquq Allah) dan yang berhubungan dengan masalah-masalah sosial (kelak disebut huquq al-’ibad). Mereka menerima yang pertama secara ta’abbudi, dan yang kedua secara ta’aqquli. Pada bagian kedua, Rasulullah saw sering berijtihad; ijtihadnya boleh jadi benar atau salah. Karena itu, di sini para sahabat tidak merasa terikat dengan sunnah. Bukankah Nabi mengatakan, “Kamu lebih tahu urusan duniamu?”

Bukhari meriwayatkan peristiwa yang oleh Ibn ‘Abbas disebut sebagai “tragedi hari Kamis”. Dalam keadaan sakit, Nabi menyuruh sahabatnya mengambil dawat dan pena untuk menuliskan wasiatnya. “Dengan ini kalian tidak akan sesat selamanya”‘ kata Nabi. Umar berkata, “Nabi saw dalam keadaan sakit parah. Di tangan kalian ada kitab Allah. Cukuplah buat kita kitab Allah itu.” Tampaknya Umar berpendapat bahwa kondisi sakit Nabi melahirkan ijtihad Nabi yang tidak perlu diikuti.

Para ahli hadits meriwayatkan berbagai peristiwa ketika ijtihad Nabi berbeda dengan ijtihad ‘Umar; dan Allah membenarkan ijtihad ‘Umar. Nabi menginginkan agar para tawanan Badar dibebaskan dengan tebusan, sedangkan ‘Umar mengusulkan untuk membunuh mereka. Nabi hendak menshalatkan ‘Abdullah ibn Ubayy, tapi Umar melarangnya. Dalam kasus-kasus ini, wahyu selalu turun membenarkan Umar. Diriwayatkan bahwa Nabi saw, disertai Abu Bakar pernah menangis terisak-isak menyesali kekeliruan ijtihadnya. ‘Umar bertanya: “Apa yang menyebabkan Anda dan sahabat Anda menangis? Kalau ada sesuatu yang patut aku tangisi, aku akan menangis. Kalau tidak ada tangisan, aku akan berupaya menangis seperti tangisan Anda.” Nabi kemudian menceritakan tentang wahyu yang membenarkan Umar dan menyalahkan Nabi. “Seandainya azab turun,” kata Nabi, “tidak akan ada yang selamat kecuali Umar ibn Khaththab.”

Hadits-hadits di atas –walaupun keabsahannya harus kita teliti secara kritis– merupakan justifikasi terhadap peluang menggunakan ra’yu dalam menghadapi sunnah (yang berasal dari ijtihad Nabi). Ketika Abu Bakar dan Umar meninggalkan pasukan Usamah, padahal Nabi memerintahkan mereka untuk berada di dalamnya, Ibn Abi al-Hadid membenarkan kedua sahabat itu. “Sesungguhnya Nabi saw mengirimkan pasukan itu berdasarkan Ijtihad dan bukan berdasarkan wahyu yang diharamkan membantahnya.”

Karena Umar adalah primadona dari kelompok pertama para sahabat ini, kemudian kita pun menyebut madzhab pemikiran mereka sebagai madzhab Umari. Sebagai lawan mereka –dalam pemikiran– adalah madzhab Alawi, yang terdiri atas sahabat-sahabat yang berkumpul di sekitar Ali ibn Abi Thalib. Mereka tidak membedakan huquq al-’ibad dan huquq Allah dalam instruksi-instruksi Nabi yang bernilai tasyri’. Tidak ada ijtihad Nabi. “Ia tidak berbicara berdasarkan hawa nafsunya, tetapi ia hanya berbicara berdasarkan wahyu yang diturunkan kepadanya.” (QS 53:3).

Ketika Umar dan Utsman –pada zamannya– masing-masing melarang haji tamattu, Ali menentangnya. Ibn Katsir, dalam kitab tarikhnya, menulis: “Para sahabat r.a. sangat takut kepada Umar dan tidak menemukan orang yang melawan pendapat Umar kecuali Ali ibn Abi Thalib, yang berkata: “Barang siapa melakukan tamattu’, ia sudah menjalankan kitab Allah dan sunnah NabiNya.” Ketika Ali menegur Utsman yang melarang tamattu’, Utsman berkata: “Aku tidak melarangnya. Ini hanyalah ra’yu yang aku pegang. Kalau orang mau, silakan ambil ra’yu-ku. Kalau tidak, tinggalkan saja.”

Umar juga diriwayatkan berkata: “Inilah ra’yu Umar. Kalau benar, dari Allah dan kalau salah, dari Umar.” Abdullah ibn Mas’ud berkata seperti itu juga: “Aku mengatakan ini dengan ra’yuku. Bila benar, ia berasal dari Allah dan bila salah ia berasal dari setan. Allah dan Rasul-Nya terlepas darinya.” Para tabi’in dari Kufah kelak berguru kepada Abdullah ibn Mas’ud, sehingga lahirlah mazhab Kufah yang menitik-beratkan Fiqh al-ra’y. Sementara itu, Ali tetap tinggal di Madinah, sebelum ia memindahkan ibu kota ke Kufah pada masa kekhalifahannya. Ketika Utsman melarang menggabungkan haji dengan ‘umrah, ia menegur Ali: “Kau lakukan itu padahal aku melarangnya?” Ali menjawab: “Aku tidak akan meninggalkan sunnah Rasulullah saw karena (ra’yu) salah seorang manusia.” Kita pun kemudian mengetahui bahwa di Madinah, daerah Hijaz, berkembanglah madzhab Hijaz, yang menekankan Fiqh al-atsar.

Fiqh al-ra’y makin diperteguh dengan kecenderungan umum madzhab Umari untuk mengabaikan penulisan hadits. ‘Aisyah melaporkan: “Ayahku telah mengumpulkan 500 hadits Nabi saw. Pada suatu pagi, ia datang menemuiku dan berkata, “ambilkan hadits-hadits yang ada padamu.” Lalu saya berikan kepadanya. Ia membakarnya dan berkata: “Saya khawatir, saya mati, dan meninggalkan hadits-hadits itu padamu.” Abu Bakar juga pernah mengumpulkan orang setelah Nabi wafat, dan berkata: “Kalian meriwayatkan dari Rasulullah saw hadits-hadits yang kalian perselisihkan. Nanti, manusia sesudahmu akan lebih daripada itu. Janganlah meriwayatkan sesuatu pun dari Rasulullah saw. Bila ada yang bertanya kepada kalian, jawablah: “Di antara Anda dan kami ada Kitab Allah, halalkan yang halal dan haramkan yang haram.”. Walaupun begitu, periwayatan hadits tetap berlangsung sampai zaman Umar. Umar menyuruh mengumpulkan hadits-hadits itu dan memerintahkan untuk membakarnya. Alasan Umar: “Aku khawatir hadits-hadits itu akan memalingkan orang dari Kitab Allah.”

Tradisi pengabaian penulisan hadits –dan sekaligus pembakarannya– dilanjutkan oleh tabi’in. Rasul Ja’farian menyebutkan nama-nama ulama tabi’in yang melarang penulisan hadits, yaitu, Abu Burdah, Ashim, Abu Sa’id, Sa’id ibn Jubair, Ibrahim al-Nakha’i, dan lain-lain. Al-Hasan ibn Abi al-Hasan –menjelang kematiannya– memerintahkan pembantunya untuk menyalakan api pembakaran. Ke dalamnya, ia lemparkan semua tulisan, kecuali satu buku saja. Akibatnya, khusus di kalangan ahl al-Sunnah, penulisan hadits terlambat sekitar dua abad. Konon, yang pertama kali melakukan tadwin hadits adalah Ibn Syihab al-Zahri atas perintah Umar ibn Abd al-Aziz.

Sejarah singkat madzhab ‘Umari ini menunjukkan tiga ciri khasnya: (1) madzhab ini memusatkan perhatian utamanya –dan seringkali dengan mengabaikan yang lain– kepada al-Qur’an. “Hasbuna Kitab Allah,” kata Umar; (2) Madzhab ini mengutamakan ra’yu ketimbang al-Sunnah; dan (3) Madzhab ini menekankan aspek maqashid syar’iyyah atau kemaslahatan umat untuk menetapkan hukum, dan kurang terikat pada zhawahir (makna tekstual) dan nash. Untuk menangkis tuduhan bahwa Umar sering meninggalkan nash-nash al-Qur’an secara sengaja, Abu Zahrah menulis: “Tidak seorang sahabat pun meninggalkan nash demi ra’yunya atau kemaslahatan yang dipandangnya. Sesungguhnya maslahat yang difatwakan sahabat tidak bertentangan dengan nash, tetapi mengaplikasikan nash secara baik, berdasarkan pemahaman yang benar akan maksud-maksud syara’.

Di kalangan madzhab-madzhab ahl al-Sunnah, fiqh al-ra’y dan fiqh al-atsar ini tidak terpilah tegas, tetapi membentuk kontinum. Madzhab-madzhab itu berbeda dalam intensitas penggunaan nash dan ra’yu. Ali Yafie melukiskannya sebagai lingkaran-lingkaran: “Lingkaran paling dalam (pertama) merupakan kelompok yang paling sedikit menggunakan ra’yunya. Prinsip mereka dalam pengambilan hukum, tak memperkenankan penggunaan akal. Kaidah mereka: la ra’yu fi al-din (tidak ada tempat rasio dalam agama). Madzhab yang menggunakan kaidah semacam ini disebut madzhab al-Zhahiri, karena diprakarsai Dawud al-Zhahiri yang dilanjutkan Ibn Hazm dalam kitabnya al-Muhalla. Disadari atau tidak, madzhab ini sebenarnya juga menggunakan rasio. Hanya intensitas penggunaannya sangat sedikit.

“Lingkaran yang kedua, merupakan madzhab yang menggunakan rasio agak lebih intens daripada kelompok pertama tadi. Mazhab ini disebut mazhab Hanbali yang dipelopori Imam Ahmad ibn Hanbal. Doktrin mereka menyatakan bahwa hadits dha’if harus lebih diprioritaskan daripada akal. Madzhab ini banyak dilaksanakan di Saudi Arabia.

“Lingkaran ketiga, kelompok yang disebut madzhab Maliki yang dipelopori Imam Malik. Doktrinnya menyatakan bahwa rasio harus diperhatikan guna pertimbangan kemaslahatan. Kaidah mereka adalah al-Mashalih al-Mursalah.

“Lingkaran keempat adalah madzhab Syafi’i yang dipelopori Imam Syafi’i. Dalam proses pengambilan hukum, madzhab ini lebih banyak menggunakan analogi atau qiyas.

“Sedangkan kelompok kelima, terakhir, adalah mazhab yang frekuensi penggunaan akalnya lebih banyak. Akal lebih dipentingkan dalam proses pengambilan hukum daripada hadits. Madzhab ini dipelopori oleh Imam Hanafi.”

Untuk memberikan contoh madzhab yang paling “Umari”, marilah kita melihat madzhab Hanafi. Ketika Raqabah ibn Musqilah ditanya tentang Abu Hanifah, ia menjawab: “Abu Hanifah adalah orang paling pandai tentang apa yang sudah terjadi.” Yang dimaksud dengan apa yang sudah terjadi adalah hadits-hadits Nabi. Apa yang belum terjadi adalah ketetapan hukum berdasarkan qiyas.

Abu Hanifah memang hanya sedikit meriwayatkan hadits. Kata Ibn Khaldun, hal itu dikarenakan Abu Hanifah sangat memperketat syarat-syarat penerimaan hadits. Kata Dr. Ahmad Amin, kurangnya hadits pada Abu Hanifah menunjukkan bahwa ia tidak merasa puas dengan menyampaikan hadits saja; ia menguji hadits dengan pertimbangan psikologis dan konteks sosial. Abu Hanifah pernah dilaporkan berkata: “Seandainya Rasulullah berjumpa denganku, ia akan mengambil banyak pendapatku. Bukankah agama itu ra’yu yang baik?” Barangkali ini penegasannya tentang keharusan nash tunduk pada analisis rasional. Simaklah riwayat yang diceritakan Dr. Ali Hasan Abd al-Qadir: “Musuh-musuh Abu Hanifah menuduhnya tidak memberikan perhatian besar pada hadits. Ia memprioritaskan ra’yu dalam mengeluarkan keputusan fiqh. Ia menolak banyak hadits demi ra’yu. Abu Shalih al-Fura menuturkan, “aku mendengar Yusuf ibn Asbath berkata, Abu Hanifah menolak 400 atau lebih hadits Nabi saw. … Kataku: “Berikan sebagian contohnya.” Katanya: “Rasulullah berkata, kuda mendapat dua bagian, prajurit mendapat satu bagian. Kata Abu Hanifah: “Aku tidak akan menjadikan bagian binatang lebih banyak daripada bagian seorang Mukmin.” Rasulullah melakukan isy’ar (melukai punggung unta) sebelum menyembelih hewan kurbannya. Kata Abu Hanifah: “Isy’ar adalah penganiayaan.” Nabi bersabda: “Dua jual beli dengan khiyar sebelum keduanya berpisah.” Kata Abu Hanifah: “Bila jual beli wajib, tidak ada khiyar.” Nabi mengundi istri-istrinya kalau mau bepergian. Kata Abu Hanifah: “Undian itu judi.” Kata mereka: “Pada zaman Abu Hanifah, ada empat orang sahabat. Abu Hanifah tidak tertarik untuk menemui mereka.” Ibn Abu Syaibah dalam bukunya, pada bab khusus, menyebut hadist-hadist yang ditolak Abu Hanifah dan mencapai 150 hadits.

Salah satu murid terkemuka dari Abu Hanifah adalah Abu Yusuf. Ia memegang jabatan qadhi pada masa-masa kekhalifahan ‘Abbasiyyah, antara lain pada masa al-Mahdi, al-Hadi dan al-Rasyid. Lewat tangan-tangan kekuasaan, madzhab Hanafi tersebar ke seluruh kekuasaan Islam. Daerah-daerah madzhab Hanafi antara lain Mesir dan Pakistan. Di Mesir, Ibrahim Hosen mereguk ilmunya. Di Pakistan, Fazlur Rahman dilahirkan. Tidak heran kalau Fazlur Rahman sering –bahkan paling sering– menyebut Abu Yusuf, ketika merumuskan metodologi ijtihadnya. Ia memuji Abu Yusuf karena memberikan penafsiran yang situasional kepada hadits yang “berdiri sendiri”, menerima hadits dengan sikap kritis, dan menetapkan “sunnah yang dikenal baik” sebagai kriteria terhadap “semangat dan sikap kolektif” dari hadits.

Kita tidak akan membicarakan pengaruh Abu Yusuf terhadap metodologi Rahman (dan juga Hosen). Uraian di atas diberikan untuk menjelaskan dasar-dasar pemikiran Rahman pada perkembangan pemikiran Islam klasik. Cukuplah dikatakan bahwa dengan mempelajari fiqh-fiqh klasik, kita akan terkejut menemukan bahwa klaim orisinalitas pembaruan Rahman –yang berulangkali disebut Taufik Adnan Amal dalam bukunya, Tafsir Kontekstual– hanya dapat diterima oleh orang yang tidak mempunyai dasar dalam pemikiran Islam tradisional. Rahman, bagi madzhab Hanafi, tidak berbeda dari Ibn Taimiyah bagi madzhab Hanbali. (Untuk menggembirakan kita semua kedua-duanya berhak disebut Syaikh al-Islam). Karena itu, kritik terhadap Rahman juga dapat dilacak pada kritik fuqaha al-atsar terhadap fuqaha al-ra’y; sebagaimana kritik Rahman terhadap hadits (sunnah) dapat ditelusuri pada kritik fuqaha al-ra’y terhadap fuqaha al-atsar.

Kita akan membicarakan kritik pembaruan Rahman di akhir tulisan ini. Sebelum sampai ke situ, ada baiknya kita juga meninjau perkembangan metodologi penafsiran al-Qur’an, sebagai latar belakang teoretis dalam memahami penafsiran al-Qur’an yang dirumuskan oleh Rahman.

Tafsir bi ‘L-Riwayat dan Tafsir bi ‘L-Dirayat

Fiqh al-atsar mempunyai tandingan dalam tafsir bi al-riwayat, sebagaimana fiqh al-ra’y mempunyai persamaannya dalam tafsir bi ‘l-dirayat. Tafsir –menurut Muhammad Ali al-Shabuni– adalah ilmu untuk memahami Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad saw, dan menjelaskan maknanya serta menggali hukum-hukum dari hikmahnya. Bila tafsir itu diperoleh dengan menukil penjelasan dari al-Qur’an lagi, al-Hadits, pendapat sahabat dan tabi’in, maka tafsir itu disebut tafsir bi ‘l-riwayat atau tafsir bi ‘l-ma’tsur. Bila tafsir itu berpijak pada ijtihad mufasir –dengan mengerahkan kemampuan nalar dan/atau intuisinya– maka kita menyebutnya tafsir bi al-dirayah atau tafsir bi ‘l-ra’y.

Di antara kedua jenis tafsir itu, para mufasir menganggap taisir bi ‘l-riwayat adalah yang paling dapat dipercaya. Di antara jenis-jenis tafsir bi ‘l-riwayat, tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an adalah yang paling baik. Sesudah itu, baru tafsir al-Qur’an dengan al-Sunnah (misalnya, lewat asbab al-nuzul). Rupanya, dari sinilah Rahman mengajak kita untuk menafsirkan al-Qur’an dengan melihat al-Qur’an secara keseluruhan dan dengan melihat “sebab-sebab pewahyuan”. Anehnya, tafsir bi ‘l-riwayat seperti ini diambil Rahman ketika berbicara tentang hukum Islam dan ditinggalkan Rahman ketika membahas aspek teologis dan eskatologis ajaran Islam. Untuk yang terakhir ini, Rahman hampir sepenuhnya berpijak pada tafsir bi ‘l-dirayat. Untuk mengapresiasi metode penafsiran Rahman, kemusykilan kedua penafsiran ini akan kita lihat.

Pertama kali, kita akan melihat problematik al-Qur’an yufassir ba’dhuhu bad’dhan, yang menjadi pijakan Rahman. Selanjutnya, kita akan melacak kemusykilan asbab al-nuzul, yang –menurut Rahman– dapat mengungkapkan latar belakang situasional, membedakan ketetapan legal dari sasaran dan tujuan al-Qur’an,
serta menggali prinsip-prinsip universal ajaran Islam. Akhirnya, kita akan menelusuri akar-akar penafsiran Rahman pada tafsir bi ‘l-dirayat.

Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an mempunyai basis dalam petunjuk-petunjuk al-Qur’an sendiri (QS 11:1; 7:52; 2:185) dan al-Sunnah. Nabi saw menafsirkan kata zhulm dalam, wa lam yalbisu imanabum bi zhulm (QS 6:82) sebagai syirk berdasarkan ayat inn al-syirk la-zhulm ‘azhim (QS 31:13). Tradisi Nabi ini dilanjutkan oleh para sahabat. Ibn Abbas menafsirkan dua kematian dan dua kehidupan dalam surah Ghafir ayat 11 dengan merujuk kepada surah al-Baqarah ayat 28. Semula manusia mati, ketika berada dalam tulang sulbi orang tua mereka. Kemudian Allah menghidupkan mereka di dunia. Setelah itu Allah mematikan mereka dan menghidupkan mereka kembali pada Hari Kiamat. Ali ibn Abi Thalib menyimpulkan bahwa waktu minimal kehamilan adalah enam bulan, dari penafsiran QS 31:14 dengan QS 46:15.

Banyak kitab tafsir mengaku menggunakan metoda ini. Abd al-Karim al-Khathib al-Mishri bahkan menamai kitab tafsirnya al-Tafsir al-Qur’ani li al-Qur’an. Bila kita teliti kitab-kitab itu, kita akan menemukan prosedur penafsiran Qur’ani yang bermacam-macam. Paling tidak, kita dapat membaginya ke dalam kelompok: tafsir Qur’ani yang murattab (berdasarkan urutan ayat dari al-Fatihah sampai al-Nas) dan tafsir Qur’ani maudhu’i (berdasarkan tema-tema atau topik-topik tertentu)

Untuk mengetahui prosedur penafsiran qurani yang murattab, kita uraikan jalan yang ditempuh oleh al-Thabathaba’i, dalam Tafsir al-Mizan.

Pertama, “maka ayat-ayat al-Qur’an dilihat dari konteks ayat-ayat itu” (siyaq al-ayat). Yang dimaksud dengan konteks adalah “semua yang mengungkapkan (makna) lafadz yang ingin kita pahami dari petunjuk-petunjuk yang lain, baik yang bersifat lafdziyah, seperti kata-kata yang membentuk kalimat tunggal yang berkaitan dengan lafadz yang ingin kita pahami, atau bersifat haliyah, seperti kasus-kasus atau fenomena yang menjadi petunjuk bagi topik yang dibicarakan.” Misalnya, ayat “Dan Allah menciptakan kamu serta apa yang kamu perbuat” (QS 37:96). Tanpa melihat konteks ayat, kita akan terjatuh ke dalam paham Jabbariyah. Ayat ini terdapat dalam kisah ucapan Ibrahim kepada para penyembah berhala. Apakah kamu menyembah barang yang kamu pahat, (QS 37:95), padahal Allah menciptakan kamu serta apa yang kamu perbuat (QS 37:96). Jadi jelas. Bahwa “apa yang kamu perbuat” adalah berhala-berhala itu.

Kedua, “ayat-ayat lain dipergunakan untuk memahami ayat-ayat yang mujmal atau sama, mempermudah makna yang sulit, atau menjelaskan istilah-istilah yang dipergunakan dalam al-Qur’an.” Yang dimaksud dengan “khalifah” dalam surah al-Baqarah ayat 30 tidak terbatas pada Adam, tetapi meliputi anak-cucunya, dengan melihat surah al-A’raf ayat 69, Yunus ayat 14, dan al-Naml ayat 62. Yang dimaksud dengan kata al-mustaqar dalam surah al-Qiyamah ayat 12 adalah “tempat kembali” dengan melihat surah al-Insyiqaq ayat 6, al-’Alaq ayat 8, al-Najm ayat 42, dan al-Qhashash ayat 88.

Tafsir maudhu’i baru muncul belakangan. Perbedaan antara tafsir maudhu’i dengan tafsir murattab mirip dengan perbedaan antara thesaurus dengan dictionary. Tafsir maudhu’i dimulai dari topik, kemudian dikumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan topik tersebut. Pengantar pada tafsir ini –sepanjang pengetahuan saya dari kalangan kaum Muslim– ditulis oleh Muhammad al-Baqir al-Abthahi. 26. Ja’far Subhani menulis serial mafahim al-Qur’an (sampai sekarang sudah selesai lima jilid), dan menjelaskan metodenya sebagai berikut: “… (Kita) kumpulkan setiap ayat yang berkaitan dengan pengertian tertentu dan topik tertentu, dalam satu tempat. Ayat-ayat itu kemudian disusun dan dirangkai begitu rupa sehingga dihasilkan kesatuan pandangan yang lengkap dan kesatuan pemikiran yang menghimpun dan meliputi seluruh ayat tersebut. Kadang-kadang ayat-ayat yang berkaitan dengan topik tertentu tersebar pada surah-surah yang berbeda atau pada tempat-tempat yang berbeda dalam surah yang sama. Al-Qur’an menunjukkan dalam setiap surah atau setiap tempat, salah satu aspek dari topik tertentu itu.

“… Kita memperoleh manfaat lain dari pengumpulan ayat-ayat yang berkaitan dengan topik tertentu dengan tetap berpijak pada pandangan Qur’ani yang utuh tentang topik tersebut. Seringkali kita mengalami kesulitan untuk memahami ayat atau mengetahui tujuannya karena jarak kita yang jauh dari zaman wahyu, dan karena kita tidak mengetahui konteks turunnya ayat itu atau petunjuk-petunjuk situasional yang berlaku pada masyarakat Islam saat itu. Mengumpulkan ayat-ayat dalam hubungannya satu sama lain, dapat membantu kita dalam menghilangkan kekaburan dan ketidakjelasan.”

Pokok-Pokok Pemikiran Madzhab Liberalisme

Pendapat Prof. Ibrahim Hosen, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ini pernah mengajukan saran-saran bagi pembaruan pemikiran keagamaan di Indonesia. Ia mengusulkan enam hal. Pertama, kita harus meninggalkan pemahaman harfiah terhadap al-Qur’an dan menggantinya dengan pemahaman berdasarkan semangat dan jiwa al-Qur’an. Kedua, kita harus mengambil sunnah Rasul dari segi jiwanya untuk tasyri al-ahkam dan memberikan keleluasaan sepenuhnya untuk mengembangkan teknik dan pelaksanaan masalah-masalah keduniawian. Ketiga, kita harus mengganti pendekatan ta’abbudi terhadap nash-nash dengan pendekatan ta’aqquli. Keempat, kita harus melepaskan diri dari masalikul’illah gaya lama dan mengembangkan perumusan ‘illat hukum yang baru. Kelima, kita harus menggeser perhatian dari masalah pidana yang ditetapkan oleh nash kepada tujuan pemidanaan. Terakhir, kita harus mendukung hak pemerintah untuk mentakhshish umumnya nash dan membatasi muthlaqnya.

Tafsir Kontekstual Fazlur Rahman

Rahman dalam Tema Pokok al-Qur’an memperinci metodologi penafsiran al-Qur’an dalam tiga langkah. Pertama, pendekatan historis untuk menemukan makna teks; kedua, pembedaan antara ketetapan legal dengan sasaran dan tujuan al-Qur’an; ketiga, pemahaman sasaran al-Qur’an dengan memperhatikan latar belakang sosiologisnya. Dalam perkembangan pemikirannya yang kemudian, ketiga langkah ini merupakan langkah pertama dalam perumusan prinsip-prinsip hukum Islam; yaitu, bergerak dari yang khusus kepada yang umum. Dari ketiga langkah tersebut di atas, kita harus sanggup menyimpulkan prinsip-prinsip umum ajaran al-Qur’an. Nanti, prinsip-prinsip umum ini kita aplikasikan untuk memecahkan masalah-masalah konkret dewasa ini. Secara operasional, Amal dan Pangabean memperincinya dalam Tafsir Kontekstual al-Qur’an.

Kritik pada Fiqh Ibrahim Hosen

Esensi dari pemikiran Hosen ialah jiwa atau semangat dari al-Qur’an dan Sunnah. Kita tidak perlu terikat pada teks-teks lahir al-Qur’an dan Sunnah. Kita tidak boleh menerima teks-teks itu begitu saja (secara ta’abbudi). Kita harus menggunakan akal (ta’aqquli). Pandangan ini menimbulkan beberapa kemusykilan. Pertama, ketika kita meninggalkan makna lahir teks dan mencari jiwa atau semangat teks, kita meninggalkan makna obyektif yang sudah jelas dan memasuki makna subyektif yang tidak jelas kriterianya. Makna lahiriah dari teks, “Dan hendaklah mereka menutupkan kerudungnya sampai menutupi dada mereka” (QS. al-Nur: 31) jelas menunjukkan perintah memakai kerudung sampai menutup dada. Sekarang kita abaikan makna lahiriah ini. Kita harus mencari semangat atau ruh perintah ini. Kata sebagian orang, yang dimaksud ialah hendaknya wanita memelihara kesucian dirinya dengan menutup diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela. Semangat ajaran Islam itu kesucian diri, bukan menutupkan kerudung. Kata “menutupkan kerudung” harus dipahami sebagai kata kiasan. Kata sebagian orang, dahulu wanita-wanita Arab itu senang membuka dadanya untuk merangsang kaum pria. Perintah ini harus dipahami sebagai perintah untuk menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang mendorong orang ke arah pemuasaan nafsu.

Kita masih dapat mengumpulkan pendapat-pendapat lain. Tetapi yang menjadi persoalan ialah apakah berpegang pada semangat al-Qur’an atau al-Sunnah itu berarti tidak usah setia lagi pada makna lahiriahnya. Apakah perempuan tidak perlu memakai kerudung bila ia sudah pandai menjaga diri tidak melakukan tindakan yang “merangsang”? Kita memerlukan kriteria kapan teks harus ditinggalkan demi makna yang lebih dalam dan kapan makna yang lebih dalam itu harus diperlakukan sebagai pengayaan makna lahiriah dan bukan pengabaiannya. Tanpa kriteria ini kaum liberalis dapat membawa kita ke arah tadhyi (pengabaian nash) dan tahrif (penyimpangan makna). Kita tidak perlu mengeluarkan zakat bila pemerintah sudah melakukan kebijakan pemerataan pendapatan dan memberikan santunan pada fakir miskin. Bukankah semangat dari ajaran zakat ialah pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan? Ketika para sahabat bersiap diri menghadapi perang di bulan Ramadlan, Rasulullah menyuruh mereka berbuka. Apa semangat dari larangan ini? Umat Islam sedang menghadapi tugas yang berat. Mereka memerlukan tenaga dan kekuatan. Dalam situasi seperti itu puasa boleh ditinggalkan. Sekarang, ketika kita memerlukan tenaga untuk membangun, ketika kita harus meninggalkan produktivitas, apakah kita juga harus meninggalkan puasa.

Kedua, berdasarkan pada ‘illat baru, hukum-hukum syari’at dapat berubah. Misal, dengan mengganti ‘illat qashar pada masyaqqah (kepayahan), qashar tidak lagi berlaku dalam perjalanan tetapi dalam situasi apapun yang membuat orang payah. Kita dapat mengqashar shalat hanya karena kita baru saja menyelenggarakan seminar yang menguras energi. Dengan kebebasan mencari ‘illat baru, kepastian hukum menjadi kabur. Dengan cara ini terbukalah peluang untuk memasukkan pikiran-pikiran non-islami ke dalam struktur syari’at Islam.

Ketiga, dengan menetapkan pemerintah sebagai pentakhshish dan pengtaqyid nash, fiqh akan lebih berfungsi sebagai pemberi justifikasi daripada jurisprudensi. Fiqh menjadi alat status quo dan bukan sebagai korektor. Dalam istilah sebagian orang, Islam akan dipandang hanya sebagai suplemen dan bukan sebagai alternatif. Saya yakin, pemikiran seperti ini tidak memerlukan usaha yang sungguh yang menjadi makna ijtihad, karena justifikasi tidak memerlukan pemikiran yang mendalam.

Kritik pada Fazlur Rahman

Metodologi Rahman –seperti telah disebutkan di atas– bersandar sepenuhnya pada pendekatan historis untuk memperoleh makna teks dari analisis latar sosiologis untuk memahami sasaran al-Qur’an. Seperti dikatakan Subhani, karena jarak kita yang jauh dari masa wahyu, sangat sukar kita memperoleh gambaran utuh mengenai situasi sosial waktu itu. Dalam kalimat Shadr, “terdapat jarak yang sangat jauh antara situasi sosial ketika nash-nash itu dilahirkan dengan situasi sosial dewasa ini, ketika nash-nash itu dijadikan rujukan.”

Dari mana kita memperoleh informasi tentang situasi masa lalu itu? Pertama, dari buku-buku tarikh, yang terbukti seringkali ditulis oleh orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan historiografi, tetapi mempunyai motif-motif yang patut dicurigai. Apalagi, seperti kata sebagian orang, Tuhan dapat membuat sejarah, tetapi hanya ahli sejarah yang dapat mengubah sejarah. Karena itu, seperti yang dilukiskan oleh Taufik dalam buku ini (h. 224), para orientalis –lewat “analisis sosiologi” mereka– dapat “membuktikan” pengaruh-pengaruh Kristen dan Yahudi dalam al-Qur’an.

Kedua, kita merumuskan situasi di zaman Nabi itu dari asbab al-nuzul, Rahman menyadari pentingnya asbab al-nuzul, tetapi –pada saat yang sama– “menilai bahwa literatur asbab al-nuzul itu seringkali sangat bertentangan dengan kacau-balau” (h. 158). Apalagi –sebagai pelanjut mazhab Umari– Rahman seringkali tidak ragu-ragu menanggap hadist-hadist sebagai “fiksi yang dirumuskan belakangan saja”, bila bertentangan dengan apa yang telah dipandangnya sebagai prinsip-prinsip umum ajaran al-Qur’an.

Lebih dari itu, sebagaimana yang telah banyak diketahui oleh para peneliti ulum al-Qur’an, hadist-hadist tentang asbab al-nuzul itu sangat sedikit. Di antara yang sedikit itu, sebagian besar tidak tahan kritik –bahkan pada tingkat kritik rawi atau sanad. Kemusykilan lainnya –yang terlalu panjang bila diuraikan di sini– berkenaan dengan hubungan antara dengan asbab al-nuzul. Kadang-kadang ayat yang sama dijelaskan dengan asbab al-nuzul yang berlainan (ta’addud al-asbab wa al-nazil wahid). Kadang-kadang sebab yang sama berkaitan dengan ayat-ayat yang berlainan (ta’addud al-nazil wa ‘l-sabab wahid).

Yang paling musykil –dan justru di sini Rahman berpijak– adalah menetapkan apakah asbab al-nuzul itu hanya berkenaan dengan peristiwa atau orang yang spesifik atau dapat digeneralisasikan. Di kalangan para mufassirin terjadi ikhtilaf apakah pelajaran (al-’ibrah) itu bersifat spesifik (bi khushush al-sabab) atau umum (bi ‘umum al-lafazh).

Terdapat juga kemusykilan dalam menentukan apakah dalam situasi tertentu, sebab itu khusus dan efek legalnya juga khusus, sedang dalam situasi lain sebabnya khusus tetapi efek legalnya umum. Pernah orang datang kepada Rasulullah saw meminta agar beliau memohon ampun kepada Allah untuk orang itu. Kemudian turun surah al-Nisa ayat 64. Apakah meminta doa kepada Rasul itu hanya berlaku pada waktu Rasul masih hidup atau juga berlaku sekarang? Bukankah dari ayat ini dapat disimpulkan suatu prinsip umum: Bila berbuat dosa, datanglah kepada Rasulullah –baik dalam keadaan hidup atau mati dan mintakan agar beliau memohonkan ampunan buat kita? Kaum Wahhabi berpendapat bahwa tawassul itu syirik dan karena itu menganggap ayat ini hanya berlaku ketika Rasulullah masih hidup. Mereka berpegang pada sebab yang khusus (bi khushush al-sabab). Di sini tampak bahwa prinsip umum yang diyakini oleh mufasir menentukan spesifikasi atau generalisasi asbab al-nuzul. Setiap orang akan setuju bahwa konteks historis sangat diperlukan untuk memahami al-Qur’an. Setiap orang juga tahu bahwa asbab al-nuzul dan tarikh sangat penting. Kedua-duanya sangat dihajatkan terutama sekali untuk menetapkan tujuan atau sasaran yang ingin dicapai al-Qur’an (”ideal moral” al-Qur’an) atau sebab berlakunya hukum (ratio legis). Yang ingin diketahui orang ialah bagaimana Rahman menarik kesimpulan dari ayat-ayat yang tidak ada asbab al-nuzul-nya; juga, bagaimana kita dapat memastikan situasi sosial dari tarikh yang dapat kita akses.

Marilah kita ambil kasus khamr. Menurut Rahman –juga kebanyakan ulama– pengharaman khamr ini berlangsung secara gradual. Khamr tidak diharamkan, ketika umat Islam belum merupakan suatu masyarakat (society), tetapi hanya merupakan komunitas informal. Setelah umat Islam terbentuk sebagai masyarakat, khamr diharamkan. Apa prinsip umum yang dapat ditarik dari latar sosiologis ini? Kata Rahman, “… ketika manusia menjadi sebuah masyarakat (society), alkohol menjadi membahayakan sehingga pengkonsumsiannya tidak diperkenankan.” Inilah ratio legis haramnya alkohol. Kita tidak tahu apakah Rahman setuju, jika kita menyimpulkan –dari kesimpulannya– bahwa pengkonsumsian alkohol secara individual dalam komunitas informal tidak haram.

Rahman menunjukkan evolusi “sikap” al-Qur’an terhadap khamr. Mula-mula khamr dipandang sebagai rahmat Tuhan (QS 16:66-69), tetapi akhirnya dianggap sebagai perbuatan setan (QS 5:90-91). Dengan menggunakan metodologi Rahman, penelitian saya tentang pengharaman menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Khamr sudah diharamkan sejak awal kenabian, di Makkah. Tetapi karena sahabat terus-menerus melakukan pelanggaran, maka pengharaman ditegaskan berkali-kali –dari tahrim ‘am sampai tahrim khash bi tasydid al-baligh (pengharaman khusus yang sangat keras). Dalam urutan pengharaman khamr, para ahli tafsir sepakat menyebutkan surah al-Maidah ayat 90 sebagai ayat yang terakhir. Menurut Thabathaba’i, “Tidak turun ayat al-Ma’idah, kecuali untuk mempertegas (keharaman khamr) bagi menusia, karena mereka menganggap enteng larangan ilahi ini.”

Bahwa khamr telah diharamkan sejak awal bi’tsah dapat dilihat pada peristiwa masuk-Islamnya A’sya ibn Qais. Ketika ia bermaksud menyatakan Islamnya di depan Rasulullah saw, di tengah jalan ia dicegat Abu Sufyan, Abu Jahal, dan orang-orang Quraisy lainnya. “Hai Abu Bashir, Muhammad mengharamkan zina,” kata mereka. Kata A’sya, “Aku tidak keberatan.” “Abu Bashir, Muhammad mengharamkan khamr,” kata mereka lagi. Dan seterusnya. Peristiwa ini terjadi di Makkah, ketika Abu Jahal masih hidup. Abu Jahal terbunuh dalam perang Badar, jauh sebelum turun surah al-Maidah. Dalam hadist yang dikeluarkan oleh Thabrani dari Mu’adz ibn Jabal disebutkan bahwa di antara yang pertama kali diharamkan pada permulaan kenabian adalah minuman khamr.

Yang pertama mengharamkan khamr sebenarnya adalah surah al-A’raf ayat 33, Katakan Tuhanku hanya mengharamkan kekejian –baik yang tampak maupun yang tersembunyi– dan dosa (al-itsm) dan pembangkangan tak benar serta menyekutukan Allah. Al-Itsm dalam ayat itu adalah khamr, sebagaimana ditegaskan dalam surah al-Baqarah ayat 214, Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah di dalamnya ada dosa besar (itsm kabir). Al-A’raf termasuk surah yang turun dalam periode Makkiyah awal.

Tentang surah al-Baqarah ayat 219 –yang dianggap Rahman dan kebanyakan mufassirin belum mengharamkan khamr– al-Jashash menjelaskan: “Ayat ini menetapkan haramnya khamr. Seandainya tidak turun ayat lain yang mengharamkan, cukuplah ayat ini saja. Karena Allah berfirman, di dalamnya dosa besar. Dosa semuanya diharamkan dengan firman Allah, Tuhanku hanya mengharamkan kekejian… dan dosa. (QS. al-A’raf:33). Allah tidak saja menjelaskan bahwa dosa itu haram, tetapi (untuk khamr) mempertegasnya dengan menyebutkan dosa besar, sebagai penegas akan bahayanya. Adapun kata manfaat bagi manusia tidaklah berarti menghalalkannya, karena yang dimaksud manfaat itu manfaat dunia dan semua yang diharamkan ada manfaat duniawi bagi pelanggarnya.” Walhasil, pengharaman khamr diulang-ulang –makin lama makin keras– karena sahabat masih tetap melakukannya. Karena itu surah al-Ma’idah 90 diakhiri dengan kata Mengapa kalian belum berhenti juga. Menurut riwayat, Umar menjawabnya, “Kami berhenti. Kami berhenti!”

Ini hanyalah sebuah contoh penggunaan metodologi Rahman dengan hasil yang sama sekali berbeda dari konklusi Rahman. Karena basis metodologi Rahman adalah tarikh dan asbab al-nuzul, yang harus lebih dahulu dirumuskan adalah kritik keduanya (yang kurang diperhatikan Rahman). []

CATATAN

1). Riwayat ini dihimpun berdasarkan hadits Bukhari, Muslim, al-Nasai, Ahmad Abu Dawud, Ibn Majah, Ibn Hajar al-Asqalani. Lihat: Fath al-Bari, 1:443 al-Maktabah al-Salafiyah.

2). Fath al-Bari, 1:457

3). Ibn Hajar mendefinisikan sahahat sebagai “orang yang berjumpa dengan Nabi saw, beriman kepadanya dan meninggal dalam Islam. Mereka yang termasuk jumpa ini orang yang lama bergaul dengan Nabi atau yang sebentar, yang berperang besertanya atau tidak, yang melihatnya tetapi tidak menghadiri majelisnya, atau yang tidak melihatnya seperti orang buta”, al-Ishahah fi Tamyiz al-Shahabah, 1:10

4). Abu Zahrah, Tarikh al-Madhahib al-Islamiyah, Beirut, Dar al-Fikr, hal. 250.

5). Abu Ishaq al-Syatiby, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’at, Mathba’ah al-Maktabah al-Tijariyah, tanpa tahun, tanpa kota, 4:74. Al-Syatibi mengutip ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits untuk menunjang pendapatnya, Muhammad Taqiy al-hakim mengkritik kelemahan argumentasi al-Syatibi secara rinci. Pembaca yang tertarik dapat melihat M.T Al-Hakim Al-Ushul al-’Ammah fi al-Fiqh al-Muqaran, Beirut, Dar al-Andalus, 1974:133-143.

6). Lihat al-Ghazali, al-Mustasyfa, Mesir: Mustafa Muhammad, tanpa tahun, 1:135. Pada halaman yang sama, al-Ghazali menolak semua pendapat itu dan berkata, “Siapa saja yang mungkin salah atau lupa dan tidak tegas ‘ishmahnya tidak boleh pembicaraannya menjadi hujjah. Bagaimana mungkin berhujjah dengan ucapan mereka dengan kemungkinan mereka salah. Bagaimana mungkin menetapkan ishmah mereka tanpa hujjah yang mutawatir? Bagaimana dapat dibayangkan adanya ‘ishmah, padahal mereka boleh ikhtilaf? Mungkinkah dua orang ma’shum ikhtilaf? Bagaimana mungkin, padahal sahabat sepakat bolehnya bertentangan dengan sahabat yang lain? Abu Bakar dan Umar tidak mengingkari orang yang berbeda ijtihadnya dengan mereka; bahkan mereka mewajibkan –dalam masalah ijtihad– agar setiap mujtahid mengikuti ijtihadnya masing-masing.”

7). Taqdimah al-Ma’rifah li Kitab al-Jarh wa al-Ta’dil, Heiderabad, 1371, hal. 7-9. Mengenai ‘Udul-nya sahabat, Ibn Hajar berkata, “Sepakat semua Ahl Sunnah bahwa sahabat seluruhnya ‘udul, tak ada yang menentang hal ini kecuali orang-orang bid’ah yang menyirnpang” (Al-Ishabah 1:9; Ibn Hajar mengemukakan dalil-dalil tentang ‘udul-nya sahabat secara rinci dalam kitab ini juga). Ibn Al-Atsir dalam Usud al-Ghabah fi Ma’rifat al-Shahabah, 1:3, menulis, “Sahabat sama seperti perawi hadits yang lain kecuali satu hal –pada mereka tidak berlaku jarh dan ta’dil, sebab mereka semna ‘udul, tidak dikenai celaan.” Begitu “sucinya” para sahabat itu sehingga Abu Zar’ah menulis, “Siapa yang mengkritik salah seorang di antara sahabat Rasulullah saw, ketahuilah bahwa dia itu zindiq (atheis).” Lihat Al-Ishabah 1:10. Kecuali untuk sahabat yang masuk Islam sesudah Bai’at al-Ridwan (sambil mereka pun tidak boleh disebut kecuali kebaikan), menurut Ibn Hazm, “Seluruh sahabat itu mukmin yang saleh; semuanya mati dalam iman, petunjuk, dan kebajikan; semuanya masuk surga; tidak seorangpun masuk neraka.” (Saya kutip lagi dari Muhammad ‘Ajal al-Khatib, Al-Sunnah qabl al-Tadwin, Kairo, Maktabah Wahdah, 1963, hal. 395-396).

8). Muhammad Ibrahim Jannati, “Ra’y Gera’i Dar Ijtihad”, dalam Kayhan-e Andisheh NO. 9. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mahliqa Qara’i, “Ijtihad and the Practise of Ra’y”, dalam Al-Tawhid, vol. V NO. 2, 1408; hal. 57-58.

9). Shahih al-Bukhari, 3:69; Sunan al-Nasa’i, 5:148; Sunan al-Baihaqi, 4:352 dan 5:22; lihat juga Shahih Muslim, 1:349.

10). Kupasan tentang perdebatan ini; lihat Ibn Qayyim, Zad al-Ma’ad 1:177-225.

11). Abu Dawud 2:242; Shahih Muslim 2:52; Al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra 8:318; Kanz al-Ummal 3:102.

12). Shahih Muslim 1:574; Musnad Ahmad 1:314; Sunan al-Baihaqi 7:336; al-hakim 2:196; al-Dar al-Mantsur 1:279.

13). Abu Dawud 2:227; Ibn Majah 2:227, al-Hakim dalam al-Mubarak 2:59 dan 4:389; al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra 8:264; Taysir al-Wushul 2:5; Fath al-Bari 12:101; Umdat al-Qari 11:151; Irsayad al-Sari 10:9. Bukhari meriwayatkan hadits ini tetapi dengan tidak lengkap, pada Kitab Al-Muharibin.

14). Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, 252.

15). Dr. Musa Towana, Al-Ijtihad: wa Mada Hajatina ilaih fi Hadza al-Ashar, Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah,
tanpa tahun, hal. 32-33.

16). Tafsir Ibn Katsir 4:194; Tafsir al-Darr al-Mantsur 6:74; Kanz al-Ummal 1:185.

17). Asbab al-Ikhtilaf bain Aimmah al-Madzahib al-Islamiyah”, dalam Hawl al-Wahdah al-Islamiyah, Teheran: Sepahar, 1404, hal. 227-228.

18). Ibn Qayyim al-Jawziyyah, “I’lam al-Muqi’in, Mesir: Mathba’ah Sa’adah, tt 1:63-64.

19). Al-Syatibi, “Al-’Itisham. Saya kutip lagi dari Abu Zahrah. Tarikh al-Madzahib, hal. 255.

20). Di antara ayat-ayat yang menunjukkan keharusan mengikuti ahli bait adalah Al-Maidah 55 (Menurut banyak ahli tafsir, turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib), Al-Ahzab 33 (tentang ‘ishmah ahli bait), Al-Syura 23 (tentang keharusan mencintai ahli waris). Di antara hadist-hadits tentang hal yang sama adalah hadits Tsaqalain: Aku tinggalkan bagimu dua hal, yang jika kamu berpegang teguh, kamu tidak akan sesat selama-lamanya Kitab Allah den Ahli Baitku (hadits-hadits yang semakna dengan ini diriwayatkan oleh Shaih Muslim dalam Kitab Fadhail al-Shahabat”, Musnad Ahmad 4:366, Al-Baihaqi 2:148, Shahih al-Turmudzi 2:308, Mustadrak al-Shahihain 3:109, Kanz al-’Umal 1:47 dan lain-lain). dan hadits: “Ahli baitku adalah tempat yang aman dari ikhtilaf bagi umatku” (Mustadrak al-Shahihain 3:348), bukan tempatnya di sini menuliskan semua riwayat yang dijadikan dalil oleh kelompok pertama. Gubahan syair dari Al-Amini al-Inhaqi dari Syiria, dalam Limadza Ikhtartu Madzhab Ahl al-Bait, menyimpulkan dalil-dalil itu.

21). Lihat Dr. Musa Towana, Al-Ijtihad, hal. 39-40.

22). Shaih al-Bukhari, “Kitab al-’Ilam”, 1:22. Lihat juga Shahih Bukhari, “Kitab al-Jihad”, dan Kitab al-Jizyah”, Shahih Muslim Bab “Tark al-Wasyiyyah” Musnad Ahmad, hadits NO. 1935. Thabaqat ibn Sa’ad 2:244, Tarikh Thabari 3:193.

23). Tadzkirat al-Huffazh, 1:5; Kanz al-’Ummal, 1:174.

24). Tadzkirat al-Huffazh, tarjamah Abu Bakr, 1:2-3.

25). Al-Thabaqat al-Kubra, 11:257; Tarikh al-Khulafa, 138.

26). Al-Thabaqat al-Kubra, 7:188.

27). Tadzkirat al-Huffadz, 1:7, tarjamah ‘Umar

28). Al-Thabaqat al-Kubra, 7:447.

29). Lihat “Kontroversi sekitar Ijtihad ‘Umar r.a”, dalam Iqbal Abdurrauf Saimima, ed., Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988, hal. 50.

30. Al-Jawharah al-Nayyirah; dikutip lagi dari al-Nash wa al-Ijtihad, Qum Abu Mujtaba, 10404 H; hal. 44. Riwayat pelarangan bagian muallaf, lihat Tafsir al-Manar 10:297; Al-Durr al-Mantsur 3:252.

31). Tarikh al-Thabari 3:234; Tarikh Ibn Katsir 6:319; Al-Kamil ibn al-Katsir 2:146, Il-Ishabah 2:322.

32). Kitab al-Kharraj 24-25; Sunan al-nasai 2:179; Tafsir al-Thabari 10:6; Ahkam al-Qur’an dari Al-Jahshash 3:60 62; Sunan al-Baihaqi 6:342-343.

33). Al-Muwaththa’, 2:10; al-Baihaqi 7:164; Ahkam al-Qur’an dari Al-Jahshash 2:168; Al-Muhalla’ 9:622; Tafsir al-Zamahsyari 1:359; Tafsir al-Qurthubi 6:117; Taisir al-Khazim 1:356; Al-Durr al-Mautsir 2:136; Tafsir al-Syawkani 1:418.

34). Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ 1:282 dari Urwah: Rasulullah shalat dua rakaat di Mina pada shalat-shalat yang empat rakaat. Abu Bakar shalat di Mina dua rakaat. Umar shalat di Mina dua rakaat. Usman mula-mula shalat dua rakaat, tetapi kemudian meng-itmam-kannya. Lihat juga Shahih al-Bukhari 2:154, Sunan al-Muslim 2:260, Musnad Ahmad 2:148 Sunan al-Baihaqi 3:126.

36). Shahih al-Bukhari 3:69; Shahih al-Turmudzi 1:68, Sunan Abu Dawud 1:171; Sunan Ibnu Majah 1:348; Sunan al-Nasai 3:100, Kitab al-Umm 1:173, Sunan al-Baihaqi 1:429, 3:192, 205.

37). Shahih al-Bukhari 3:69; Shahih al-Muslim 1:349; Musnad Ahmad 1:61,95; Sunan al-Nasai 5:148, 152; Sunan al-Baihaqi 1:472; Mustadrak al-hakim 1:472; Tasyir al-Wushul 1:282.

37).Shahih Muslim 1:142; Shahih al-Bukhari 1:109.

38). Ibn Hazm dalam Al-Muhalla 5:227; juga Al-Baladzuri dalam al-Anshab 5:26.

39). Ibn Hajar, Fath al-Bari 2:361; lihat Al-Syawkani dalam Al-Awthar 3:374. Ibn Hajar memberikan komentar. “Utsman melihat kemaslahatan jamaah supaya dapat mengejar shalat, sedangkan Marwan supaya orang mendengarkan khutbahnya.”

40). Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Bandung: Pustaka, 1983, hal. 26 menulis: Kami telah menyatakan: (1) bahwa sunnah dari kaum muslim di masa lampau secara konsepsional dan kurang lebih secara garis besarnya berhubungan erat dengan sunnah Nabi dan pendapat yang menyatakan bahwa praktek-praktek muslim di masa lampau terpisah dari konsep sunnah Nabi adalah salah sekali; (2) bahwa meskipun demikian, kandungan yang khusus dan aktual dari sunnah kaum muslim di masa lampau tersebut sebagian besarnya adalah produk dari kaum muslim sendiri; (3) bahwa unsur kreatif dari kandungan ini adalah ijtihad personal yang mengalami kristalisasi menjadi ijma’ berdasarkan petunjuk pokok dari sunnah nabi yang tidak dianggap sebagai sesuatu yang sangat bersifat spesifik; (4) bahwa kandungan sunnah atau sunnah dengan pengertian sebagai praktek yang disepakati secara bersama adalah identik dengan ijma’.

41). Syibli Nu’mani, Umar Yang Agung, Bandung: Pustaka, 1404, hal. 532.

42). Abu Zahrah, Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyah, Dar Al-Fikr Al-Araby, tt., hal. 267.

43). Shahih Bukhari, “Bab Ghazwat Al-Hudaibiyah,” Kitab Al-Maghazi, hadits ke 4170; Fath al-bari 7:449-450; 2:401.

44). Shahih Bukhari, “Bab I: Al-Hawah”, Kitab Al-Riqaq. Lihat Fath al-Bari, 11:463-476; Shahih Muslim, “Bab Itsbat”, Kitab Al-Fadhail.

45). Syarh Al-Muwaththa’, 1:221; Tanwir Al-Hawalik, 1:93-94.

46). Al-Imam Al-Syafi’i, Al-Umm, 1:208.

47). Jami’ Bayan Al-’Ilm, 2:244; lihat juga Dhuha Al-Islam, 1:365; Turmudzi 3:302.

48). Jami’Bayan Al-’ Ilm, 2:244.

49). Ansab Al-Asyraf, 2:180. Lihat juga Sunan al-Baihaqi 2:68; Kanz al-’Ummal, 8:143.

50). Catatan kaki pada hamisy kitab Sunan Al-Nasai, 5:263.

51). Tafsir Al-Nisabury, pada hamisy kitab Tafsir Al Thabari, 1:79.

52). Lihat Ali Al-Hamady, Al-Sujud ‘ala al-A’rdh, Dar Al Tarqib, 1978, hal. 14. Kitab ini menunjukkan, berdasarkan hadit-hadits yang diriwayatkan Ahl Sunnah bahwa disamping Rasulullah saw, sahabat-sahabat seperti Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Jabir bin Abdillah dan lain-lain melarang sujud selain di atas tanah. Tidak mungkin kita menurunkan semua hadits itu di sini Cukuplah kita kutip hadits Muslim dari Khabab bin Al-Arat, “Kami mengeluoh kepada Rasulullah tentang udara yang sangat panas sehingga tanah menjadi sangat panas pada dahi-dahi kami. Tetapi, Nabi saw tidak mengizinkan kami (sujud selain di atas tanah). Ibn Al-Atsir, ketika menjelaskan hadits ini, dalam Al-Nihayah, berkata, “Para fuqaha menyebut peristiwa ini berkenaan dengan sujud. Waktu itu para sahabat meletakkan ujung baju mereka dilarang ketika akan sujud untuk menghindarkan panas yang sangat; tetapi mereka dilarang berbuat begitu. Ketika mereka mengadukan apa yang mereka alami, Nabi saw mengizinkan mereka sujud di atas pakaian mereka itu.

53). Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, hal. 257.

54). Shahih Al-Bukhari, 3:124, “Bab Walladzi Qala li Walidaihi”, Fath Al-Bari, 10:197-198. Lihat juga biografi Al-Haban bin Al-’Ash pada Al-’Isti’ab, Usud Al-Ghabab, Al-Ishabah, Mustadrak Al-Hakim, 4:481, Tarikh Ibn Katsir, 8:889; lihat juga biografi Abdurrahman bin Abi Bakr dalam Ibn Asakir, Tarikh Dimasq.

55). Tafsir Al-Thabari, 19:72-75; Ibn Katsir, Al-Bidayah wa Al-Nihayah, 3:40.

56). Ibn Katsir, ibid., 7:214

57). Kata Al-Dzhabi dalam Tadzkirat Al-Huffadz, 698-701.

58). Shahih Muslim, bab “Man La Ha’arahun Naby”, Kitab Al-Birr wa Al-Shilah.

59). Al-Sirah Al-Nabawiyyah, Beirut, Dar Ihya’ Al-Turats Al-’Arabiy, juz I.


Sumber : tuban.wordpress.com

Fiqih Pembaharu

DR. Muhammad al-Tijani al-Samawi bercerita tentang kisah fanatisme di kota Qafsah, Tunisia. Seorang alim besar di kota itu mengecam orang-orang yang menjamak shalat Zhuhur dan Ashar. “Mereka membawa agama baru yang bukan agama Muhammad saw. Mereka menyalahi al-Qur’an yang menyatakan bahwa shalat itu bagi kaum Mukmin kewajiban yang ditetapkan waktunya.” Seusai shalat, seorang pemuda menanyakan lagi perihal shalat jamak. Ia berkata bahwa itu termasuk salah satu bid’ah orang Syi’ah. Tetapi shalat jamak ini terdapat dalam kitab hadits shahih Bukhari dan Muslim, kata pemuda itu. “Tidak benar,” kata sang imam. Pemuda itu mengeluarkan kedua kitab shahih tersebut dan memintanya membaca hadits-hadits tentang shalat jamak. Ketika ia membacanya, hadirin tercengang mendengarnya. Ia mengembalikan kedua kitab itu sambil berkata, “Ini khusus untuk Rasulullah saw. Bila engkau sudah menjadi Rasul Allah bolehlah engkau melakukannya.” Pemuda itu bermaksud menunjukkan bahwa Ibn Abbas, Anas ibn Malik dan banyak sahabat lainnya melakukan shalat jamak (bukan karena bepergian), tetapi ia mengurungkan maksudnya.

Di Afghanistan seorang mushalli memberi isyarat dengan telunjuknya dan menggerak-gerakkannya. Kawan shalat di sampingnya memukulnya dengan keras sehingga telunjuk itu patah. Ketika ditanya mengapa itu terjadi, ia menjawab bahwa menggerakkan telunjuk dalam tasyahud adalah haram. Apa dalilnya? Dalilnya terdapat dalam Kitab fiqh al-Syaikh al-Kaydani.

Kedua peristiwa di atas terjadi dalam rentang waktu cukup lama -menurut sebagian penulis dari abad VI Hijrah sampai abad XIII. Sebuah rentang waktu yang oleh para Tarikh Tasyri’ disebut sebagai zaman stagnasi pemikiran fiqh (’ashr al-rukud).

Al-Ustadz al-Zarqa melukiskan situasi umum pada waktu itu: Pada zaman tersebut pemikiran fiqh mengalami kemunduran, dimulai kemandegan dan diakhiri kebekuan, walau selama masa itu muncul juga beberapa ulama fiqh dan ushul yang cemerlang. Pada zaman inilah pemikiran taqlid mutlak dominan. Pemikiran bergeser dari upaya mencari sebab-sebab dan maksud syara’ dalam memahami hukum, ke upaya menghapal yang sia-sia dan merasa cukup dengan menerima apa yang telah tertulis dalam kitab-kitab madzhab tanpa penelitian. Dengan begitu, menghilanglah kegiatan yang dulu merupakan gerakan takhrij, tarjih, dan tanzhim dalam madzhab fiqh. Peminat fiqh hanya mempelajari kitab yang ditulis seorang faqih tertentu di antara tokoh-tokoh madzhabnya. Ia tidak melihat kepada syari’at dan fiqh kecuali melalui tulisan dalam kitab itu, sesudah sebelumnya mempelajari al-Qur’an, al-Sunnah, pokok-pokok dan maksud-maksud syara’.

Pasal ini akan memperlihatkan karakteristik zaman ini dari segi karya-karya ilmiah yang lahir waktu itu dan dari segi kecenderungan pemikiran. Kita akan mengakhiri dengan melacak sebab-sebab timbulnya stagnasi pemikiran ini.

Karakteristik Zaman Stagnasi: Tradisi Mensyarah Kitab

Setelah keempat imam madzhab ahl al-Sunnah meninggal dunia, fiqh memasuki zaman tadwin (kodifikasi). Berbagai ilmu Islam dibukukan dan tidak disampaikan secara lisan lagi. Penafsiran al-Qur’an, hadits, ilmu ushul al-fiqh, dan fiqh para imam madzhab disusun dalam buku. Dalam penafsiran al-Qur’an misalnya, para ulama menghimpun hadits-hadits Nabi saw, baik yang lemah maupun yang kuat, serta menghimpun penafsiran para sahabat, tabi’in, dan para mujtahid. Mereka menulis buku-buku yang lebih merupakan ensiklopedia atau kamus dari pada analisis ilmiah. Pada masa inilah berkembang al-tafsir bi al-ma’tsur. Hadits-hadits dibukukan dalam bentuk al-jawami’, al-masanid, al-ma’ajim, al-mustadrakat dan sebagainya. Bersamaan dengan itu, dibukukan pula riwayat para perawi hadits, ilmu jarh wa ta’dil dan riwayat para sahabat. Para pengikut membukukan fatwa-fatwa dan hasil ijthad para mujtahid tersebut.

Gerakan tadwin, di satu sisi menyimpan khazanah ilmu para ulama; tapi di sisi lain menyebabkan para ulama merasa cukup dengan apa yang telah tersedia. Mereka tak merasa perlu melakukan penelitian ulang. Perlahan-lahan berkembanglah tradisi membuat syarah (komentar) dan matan. Maksudnya untuk memudahkan pembaca memahami kitab-kitab rujukan. Mereka menjelaskan kata-kata atau kalimat-kalimat secara sematik, atau menambahkan penjelasan dengan mengutip ucapan para ulama lain. Tidak jarang syarah suatu kitab disyarahi dan disyarahi lagi. Untuk Shahih al-Bukhari, sepanjang saya ketahui, paling tidak ada tiga kitab syarah: Fath al-Bary, Irsyad al-Sary, Umdat al-Qary. Ada pula beberapa kitab yang mensyarah al-Muwatha susunan Imam Malik.

Pada zaman ini, juga berkembang tradisi munaqasyah madzhabiyah (diskusi madzhab). Para ulama madzhab Syafi’i menyerang tulisan para ulama madzhab Hanbali atau sebaliknya. Argumentasi dikembangkan untuk membela madzhab masing-masing. Ulama ahl al-Sunnah menulis kitab yang menyerang ajaran Syi’ah. Ulama Syi’ah membalasnya dengan menulis kitab lagi. Atau sebaliknya. Sebagai jawaban terhadap serangan ahl al-Sunnah, al-Hilly menulis Minhaj al-Karamah. Ibn Rouzbahan menulis bantahan pada Minhaj al-Karamah. Bantahan ini dibantah lagi oleh al-Mar’asyi al-Tustary. Sekarang bantahan itu sudah menjadi 19 jilid Ihqaq al-Haq, yang setiap jilidnya seukuran satu jilid Encyclopedia Britannica. Ibn Taymiyah menulis Minhaj al-Sunnah untuk menolak Minhaj al-Karamah. Al-Amini menulis 11 jilid al-Ghadir hanya untuk membuktikan keshahihan hadits Ghadir Khum, yang didhaifkan Ibn Taymiyah. Polemik antar madzhab ini bukanlah sesuatu yang jelek dan telah berlangsung sejak zaman para imam madzhab. Imam Syafi’i, misalnya, melakukan kritik terhadap beberapa pendapat Muhammad ibn al-Hasan al-Syaybany. Tapi pada zaman kemandegan, munaqasyah madzhabiyah telah menjadi benih yang menyuburkan fanatisme madzhab. Setiap madzhab membela pahamnya dengan tidak lagi mengindahkan adab diskusi ilmiah. Sikap ini ditunjukkan jelas oleh al-Syaykh Abu al-Hasan Abdullah al-Karkhy ketika ia berkata, “setiap ayat atau hadits yang bertentangan dengan apa yang ditetapkan madzhab kami, harus dita’wilkan atau dimansukhkan.

Fanatisme Madzhab

Asad Haydar menyebut tahun 645 Hijrah sebagai tahun ditetapkannya empat mazhab sebagai madzhab yang diakui khilafah Islam waktu itu. Para ulama dari keempat madzhab diundang ke istana. Walau begitu, gejala fanatisme madzhab dapat dilacak sejak abad IV Hijrah. Seperti telah disampaikan pada tulisan terdahulu, kekuasaan sangat berperan dalam menyuburkan fanatisme madzhab.

Untuk mempertahankan keunggulan madzhabnya, para pengikutnya meriwayatkan mitos di sekitar para imam madzhabnya. Kadang-kadang riwayat-riwayatnya dinisbahkan pada Nabi Muhammad saw. Konon Nabi Muhammad saw pernah berkata: “Semua nabi bangga denganku dan aku bangga dengan Abu Hanifah. Siapa yang mencintai Abu Hanifah ia mencintaiku, siapa yang membenci Abu Hanifah ia membenciku. Di antara karamah Abu Hanifah ialah bergurunya Nabi Khidr kepadanya. Ia belajar pada Abu Hanifah setiap waktu Subuh selama lima puluh tahun. Ketika Abu Hanifah wafat, Nabi Khidir mohon agar ia diizinkan tetap berguru padanya di alam kubur, supaya ia dapat mengajarkan syari’at Islam secara lengkap. Allah mengizinkannya. Ia kemudian menyelesaikan kuliah dari Abu Hanifah selama 25 tahun lagi. Diriwayatkan oleh para pengikut Maliki bahwa pada paham Imam Malik sudah tertulis Malik Hujatullah di bumi. Tentang Imam Syafi’i, katanya, Rasul Allah saw bersabda: “Ya Allah berilah petunjuk pada suku Quraiysy, karena seorang alimnya akan memenuhi seluruh bumi dengan ilmunya.” Orang alim itu adalah Imam Syafi’i. Mengenai Imam Ahmad bin Hanbal Abdullah al-Sajastany berkata: “Aku pernah melihat Rasul Allah saw dalam mimpi. Aku bertanya: “Ya Rasul Allah, siapakah yang engkau tinggalkan, yang patut kami ikuti di zaman kami?” Rasul Allah saw menjawab: “Aku tinggalkan bagimu Ahmad bin Hanbal.”

Dengan berbagai “keutamaannya” itulah, pengikutnya mensakralkan fatwa para mujtahid. Fatwa mujtahid lebih didulukan dari ayat al-Qur’an dan al-Sunnah. Al-Fakhr al-Razy menceritakan pengalamannya ketika ia menafsirkan: afala yatadabbarun al-Qur’an. Aku pernah menyaksikan sekelompok faqih yang taklid, memandangku dengan heran bila aku bacakan ayat-ayat al-Qur’an tentang beberapa masalah yang bertentangan dengan madzhab mereka. Mereka tidak mau menerimanya bahkan tidak mau menelitinya. Mereka heran bagaimana mungkin mengamalkan zhahirnya ayat-ayat itu, padahal ulama dari madzhab mereka terdahulu tidak pernah mengamalkannya.

Abu Sulayman al-Khaththaby mengisahkan suasana zaman itu: Saya lihat ahli ilmu dewasa itu terbagi menjadi dua kelompok: pendukung hadits dan atsar dan ahli fiqh dan fikir. Padahal keduanya sama-sama dibutuhkan dan tidak bisa ditinggalkan dalam menuju cita-cita kehidupan. Itu karena hadits bagaikan fondasi, sedangkan fiqh bagaikan bangunannya. Setiap bangunan yang fondasinya tidak kokoh, maka akan cepat roboh. Setiap fondasi tanpa bangunan, maka akan sunyi dan lekas rusak. Saya lihat kedua kelompok ini saling berdekatan tempat tinggalnya dan sebetulnya saling membutuhkan. Namun, karena rasa harga diri mereka yang sangat tajam, keduanya menjadi ikhwan yang saling berjauhan: mereka tak menampakkan sikap saling membantu dan menolong di jalan yang hak.

Kedua kelompok itu, pertama, kelompok ahli hadits dan atsar rata-rata berambisi dalam periwayatan, pengumpulan sanad, dan pemisahan hadit-hadits gharib dan syadz –hadits-hadits yang kebanyakan mawadhu’ dan maqlub. Mereka tidak memelihara matannya, tidak memahami maknanya, tidak menggali rahasianya, dan tidak mengungkapkan kandungan fiqhnya.

Kadang-kadang mereka mencela para fuqaha, mencacad mereka dan menuduhnya menyalahi sunnah. Mereka tidak sadar bahwa kadar keilmuannya sendiri sangat dangkal dan mereka berdosa melemparkan kata-kata kotor pada para fuqaha.

Sedangkan kelompok kedua, yakni ahli fiqh dan fikir, kebanyakan tidak memilih-milih hadits, kecuali sebagian kecil. Mereka hampir tidak bisa membedakan hadits yang shahih dan hadits yang dhaif, yang bagus dan yang buruk. Mereka tidak mempedulikan hadits-hadits yang dikuasai dan yang digunakan untuk mempertahankan argumentasinya di hadapan lawan bila hadits-hadits tersebut telah sesuai dengan madzhab yang mereka ikuti dan pendapat yang mereka yakini. Mereka sepakat menerima hadits dhaif dan munqathi’ bila telah masyhur di kalangan mereka dan telah membibir dalam percakapan mereka, walau tidak didukung satu dalil pun atau tidak meyakinkan. Yang demikian adalah suatu kesesatan dan penipuan ra’yu.

Apabila diriwayatkan pada mereka hasil ijtihad para tokoh madzhab mereka atau para ahli dari aliran mereka, mereka segera mencari kepercayaan umat terhadapnya, namun mereka tidak ikut bertanggungjawab.

Saya lihat para pendukung Malik tidak menerima riwayat dari padanya kecuali yang melalui Abu al-Qasim (Rasul Allah), ashhab (para sahabat), dan para pendahulu yang setingkat dengan mereka. Maka pendapat yang datang dari Al-Hakam tidak memiliki keistimewaan di mata mereka. Mereka mau menerima riwayat dari padanya kecuali yang melalui Abu Yusuf, Muhammad ibn al-Hasan dan para tokoh sahabat serta murid-muridnya yang lain. Bila pendapat itu datang dari al-Hasan ibn Ziyad dan pendapatnya berbeda dengan riwayat yang melalui mereka, mereka tidak akan menerima. Begitu juga para pengikut al-Syafi’i. Mereka hanya menerima riwayat al-Muzany dan al-Raby ibn Sulayman al-Murady. Maka bila datang riwayat Harmalah, al-Jiziy dan sebagainya, mereka tak memperhatikan dan tak menganggapnya sebagai pendapat al-Syafi’i.

Demikianlah keumuman sikap setiap kelompok terhadap madzhab imam dan gurunya masing-masing.

Fanatisme madzhab bukan saja telah menghambat pemikiran, menghancurkan otak-otak cemerlang, tapi juga menimbulkan perpecahan di kalangan kaum Muslim. Dalam sejarah, telah terjadi beberapa kali, mereka saling mengkafirkan yang kemudian memuncak pada peperangan antar sesama Muslim. Sebagai contoh adalah peristiwa yang terjadi di Baghdad, 469 Hijrah.

Pada madrasah Nizhamiyah, Ibn al-Qusyayry al-Syafi’i memegang kekuasaan. Ia selalu mengecam Ahmad ibn Hanbal dan para pengikutnya sebagai penganut antropomorfisme. Dengan bantuan penguasa ia menyerang pemimpin Hanbaly, Abd al-Khaliq ibn Isa. Pengikut al-Qusyayry menutup pintu-pintu pasar madrasah Nizhamiyah. Lalu, terjadilah pertumpahan darah antara kedua golongan. Pemerintah kemudian mengumpulkan wakil kedua belah pihak dan meminta supaya mereka berdamai. Al-Qusyayry berkata: “Perdamaian macam apa yang harus ada diantara kami? Perdamaian terjadi di antara orang yang memperebutkan kekuasaan atau kerajaan. Sedangkan kaum ini menganggap kami kafir dan kami menganggap orang-orang yang aqidahnya tidak sama dengan kami juga kafir. Maka perdamaian macam apa yang bisa berlaku di antara kami.”

Penutupan Pintu Ijtihad

Walau ada pembagian ijtihad yang bermacam-macam, kita dapat mengelompokkan dua macam ijtihad: ijtihad muthlaq dan ijtihad fi al-madzhab. Pada ijtihad muthlaq, seorang mujtahid mengembangkan metode ijtihadnya secara mandiri dan mengeluarkan hukum-hukum berdasarkan metodenya itu. Yang dapat melakukan ijtihad jenis ini disebut mujtahid mustaqil (mujtahid independen). Menurut para pengikut madzhab Syafi’iy dan kebanyakan Hanafi, ijtihad mustaqil sudah tertutup. Namun sebaliknya menurut kebanyakan Hanbaly, setiap zaman tak boleh kosong dari mujtahid mustaqil. Sementara itu menurut Maliky, meski pada tiap zaman boleh saja tak ada mujtahid mustaqil, tapi tak boleh tidak harus ada mujtahid fi al-madzhab.

Demikian catatan Abu Zahrah tentang tertutupnya pintu ijtihad. Namun kenyataannya, di zaman kemandegan pintu ijtihad, yang ditutup adalah ijtihad muthlaq. Adapun ijtihad fi al-madzhab, terus berkembang. Di sini mujtahid berpegang pada metode ijtihad imam mazhabnya, tapi boleh saja menghasilkan kesimpulan furu’iyyah yang berbeda dari imam mazhabnya. Dalam hal ini, ia tentu saja masih menggunakan fatwa imam mazhabnya sebagai rujukan. Karena itu, ia disebut mujtahid muntasib, mungkin karena ia berijtihad dengan metode yang sama untuk menjawab masalah-masalah yang belum dipecahkan imam mazhabnya; atau menafsirkan yang mujmal menjelaskan yang mubham dari ucapan imam, atau mentarjih (memilih yang terkuat) pendapat imam yang bermacam-macam itu.

Sebenarnya, penutupan pintu ijtihad pada saat ini, lebih ditujukan pada ijtihad muthlaq. Walau tak diketahui secara pasti sejak kapan, penutupan pintu ijtihad terjadi karena ada anggapan bahwa tidak ada ulama yang memenuhi persyaratan seperti keempat imam itu. Sebaliknya, menurut Abu Zahrah, di kalangan Syi’ah tidak pernah dikenal tertutupnya pintu ijtihad. Sayyid Rasyid Ridha, mengikuti gurunya Syaikh Muhammad Abduh, mengecam penutupan pintu ijtihad yang mana pun: “Kita tidak menemukan manfaat apa pun dari penutupan pintu ijtihad”. Bahayanya banyak –berakibat pada terbengkalainya akal, terputusnya pengembangan ilmu dan terhalangnya kemajuan pemikiran. Kaum Muslim mundur karena meninggalkan ijtihad sehingga mereka menjadi seperti yang kita lihat sekarang ini.

Sebab-Sebab Stagnasi

DR. Muhammad Farouq al-Nabhan menyebut tiga sebab stagnasi pemikiran pada zaman ini: faktor-faktor politik, campur tangan penguasa dalam kekuasaan kehakiman dan kelemahan posisi ulama dalam menghadapi umara.

Untuk yang pertama, kita ingin menegaskan kembali bahwa madzhab berkembang karena dukungan politik. Maka ketika satu madzhab memperoleh kekuasaan, pemikiran yang bertentangan dengan madzhab itu ditindas. Jika kita membaca kitab-kitab sejarah madzhab, kita akan menemukan bagaimana seseorang yang berbeda madzhab atau berganti madzhab menghadapi berbagai cobaan. Lebih-lebih bila berbeda pendapat dengan madzhab penguasa.

Untuk sebab kedua, telah ditunjukkan bagaimana para ulama berebutan menjadi qadhi. Qadhi diangkat oleh penguasa. Qadhi tidak ingin mengambil risiko berbeda pendapat dengan madzhabnya, karena ia dapat dikucilkan oleh masyarakat, didiskreditkan ulama dan diadukan pada penguasa. Karena itu, yang paling aman adalah mengikuti pendapat para imam mazhab yang sudah dibukukan. Di sini harus dicatat: dalam sejarah, para penguasa Muslim lebih sering menindas kebebasan pendapat dari pada mengembangkannya. Di samping itu, posisi ulama yang lemah memperkuat fanatisme madzhab. Ulama sangat bergantung kepada umara. Umara tentu saja selalu berusaha mempertahankan status quo, demi “ketertiban dan keamanan”.

Dalam posisi seperti itu, kalau pun ulama berijtihad, ijtthadnya hanyalah dalam rangka memberikan legitimasi pada kebijakan penguasa. Contoh terakhir adalah pernyataan para ulama Rabithah yang mendukung kehadiran tentara Amerika di Jazirah Arab. Empat puluh tiga hari sebelum Saddam menyerbu Kuwait, para ulama dari 70 negara Islam menyatakan bahwa Saddam sebagai mujahid Islam yang taat pada Allah dan al-Qur’an. Setelah invasi, para ulama yang sama menyatakan Saddam sebagai bughat dan pemimpin dhalim. Bukankah ini ijtihad dan setiap ijtihad selalu mendapat pahala? Bila ijtihadnya salah, ia mendapat satu pahala, dan bila benar dua.

Abd al-Wahhab Khalaf menyebutkan empat faktor yang menyebabkan kemandegan. Yaitu terpecahnya kekuasaan Islam menjadi negara-negara kecil hingga umat disibukkan dengan eksistensi politik; terbaginya para mujtahid berdasarkan madrasah tempat mereka belajar; menyebarnya ulama mutathaffilin (ulama yang memberi fatwa berdasarkan petunjuk Bapak); dan menyebarnya penyakit akhlak seperti hasud dan egoisme di kalangan ulama.

Fiqh Ditelaah Kembali: Fiqh Kaum Pembaru

“Yahya memberitakan kepadaku dari Malik dari Ibn Syihab. Ia ditanya tentang menyusui orang dewasa. Ia berkata: ‘Urwah bin Zubair mengabarkan kepadaku bahwa Hudzaifah bin ‘Utbah bin Rabi’ah –salah seorang sahabat Nabi saw yang ikut menyaksikan perang Badar– telah mengangkat Salim sebagai anaknya. Sehingga ia disebut Salim mawla Abu Hudzaifah, sebagaimana Rasulullah saw mengangkat Zaid ibn Haritsah sebagai anak. Abu Hudzaifah menikahkan Salim –yang dipandang sebagai anaknya itu– dengan anak saudara perempuannya Fathimah bint al-Walid bin ‘Utbah bin Rabi’ah. Waktu itu ia termasuk wanita muhajirat yang awal dan gadis Quraysy yang utama. Ketika Allah menurunkan ayat dalam Kitab-Nya tentang Zaid ibn Haritsah –panggillah mereka dengan nama bapak-bapak mereka. Itu lebih adil di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka mereka adalah saudaramu dalam agama dan mawla-mawla kamu –maka dikembalikanlah setiap orang di antara mereka itu kepada bapaknya. Bila tidak diketahui bapaknya, dikembalikan kepada mawlanya. Sahlan binti Suhail –istri Hudzaifah dari Bani Amir– datang menemui Rasulullah saw dan berkata: “Ya Rasul Allah, kami menganggap anak kepada Salim. Ia sering masuk ke rumahku dan aku dalam keadaan fudhul (memakai busana rumah yang tidak menutup aurat). Kami hanya mempunyai rumah satu, bagaimana menurut Anda? Rasulullah saw. berkata kepadanya: “Susukanlah dia lima kali susuan sehingga ia menjadi muhrim dengan susunya”. Setelah itu ia memandangnya sebagai anak susuan. Aisyah mengambil cara ini bila ada laki-laki yang ingin masuk ke rumahnya. Ia menyuruh saudaranya, Umu Kultsum binti Abu Bakar al-Shiddiq dan anak-anak perempuan saudaranya untuk menyusukan laki-laki yang ingin masuk ke rumahnya. Istri-istri Nabi saw yang lain menolak untuk mengizinkan laki-laki masuk ke rumah dengan susuan seperti itu. (Malik, Al-Muwatha 2: 115-116)

Contoh lain: “Seorang A’raby meminum minuman ‘Umar. (Ia mabuk) dan ‘Umar menetapkan hukum cambuk baginya. Orang A’raby itu berkata: Aku minum dari minumanmu. ‘Umar meminta minumannya itu, lalu mencampurkan air ke dalamnya, kemudian meminumnya. Ia berkata: Siapa yang ragu untuk meminumnya, campurkan air ke dalamnya. Ibrahim al-Nakhti meriwayatkan hadits yang sama dari ‘Umar dan berkata: ‘Umar meminumnya setelah mencambuk orang A’raby itu. (Al-Jashash, Ahkam al-Qur’an 2:565).

Dua peristiwa di atas diambil dari kitab-kitab yang menjadi rujukan dalam menjawab masalah-masalah fiqhiyah. Dari peristiwa yang pertama para faqih menyimpulkan beberapa hukum: (1) Batas susuan yang menyebabkan seorang haram dinikahi adalah lima kali susuan; (2) Tidak boleh laki-laki yang bukan muhrim memasuki rumah seorang perempuan, kecuali bila laki-laki itu saudara sepesusuan; (3) Dianjurkan menyusukan orang yang sudah dewasa supaya ia halal masuk ke rumah seorang perempuan.

Kesimpulan terakhir ini telah disepakati fuqaha. Mereka mempersoalkan cara menyusukan itu. Bagaimana mungkin Nabi saw menghalalkan sesuatu dengan tindakan yang haram? (Bukankah bersentuhan dengan perempuan yang bukan muhrim itu haram, apalagi menyusu kepadanya?). Mungkinkah ini hanya fiqhnya ‘Aisyah. Bukankah istri-istri Nabi saw yang lain menolaknya? Bukankah pada kitab hadits yang sama Umar ibn Khatab dan Abdullah ibn Mas’ud hanya membenarkan susuan pada waktu kecil saja?

Peristiwa yang kedua dijadikan dalil oleh sebagian pengikut madzhab Hanafi untuk menghalalkan minuman keras (khususnya Nabi) bila dicampur dengan air. Tentu saja fuqaha mazhab-mazhab yang lain menolaknya. Dengan merujuk pada hadits yang mengharamkan minuman keras –baik sedikit maupun banyak mereka telah membenarkan halalnya minuman keras karena dicampur air. Yang kemudian menjadi persoalan adalah tindakan ‘Umar. Apakah perilaku ‘Umar dapat dijadikan model dalam pengambilan kesimpulan hukum? Apakah pendapat para sahabat dapat dijadikan hujjah dalam agama? Apakah tindakan ‘Umar itu suatu preseden bolehnya meninggalkan nash-nash syari’at bila kondisi berubah?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan problema yang dihadapi para pembaru Islam ketika mereka menelaah kembali fiqh yang ada. Yang dipersoalkan bukan hanya penafsiran nash-nash tetapi juga metode pengambilan keputusan. Dalam istilah fiqh, yang harus ditinjau bukan saja al-adillat al-syar’iyat, tetapi juga ushul al-fiqh. Dari fenomena tersebut, ternyata “Kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah” tidak segampang seperti yang dibayangkan.

Slogan yang di Indonesia didengungkan kaum modernis ini, sebetulnya hanyalah salah satu aliran peninjauan kembali fiqh, setelah orang merasa perlu membuka kembali pintu ijtihad. Aliran tersebut sebenarnya adalah skripturalisme, yaitu aliran yang berpegang kepada teks-teks syari’at secara kaku. Arkoun menyebut aliran ini logosentrisme yang ia gambarkan sebagai berikut:

Di samping aliran ini ada aliran yang sangat menekankan rasio (akal), yaitu liberalisme. Aliran ini tak lagi terikat dengan bunyi teks, tapi berusaha menangkap menurutnya, makna hakiki dari teks. Makna ini dianggap sebagai ruh ajaran Islam, tema umum Islam, maqashid syar’iyah dan sebagainya. Skripturalisme dan liberalisme keduanya berusaha mendobrak kebekuan pemikiran Islam; sekaligus merupakan fiqh baru yang dapat menjawab masalah-masalah baru akibat perubahan masyarakat. Berbagai upaya rekonstruksi fiqh di dunia Islam sekarang ini berangkat dari kedua aliran tersebut. Karena itu, dalam upaya menelaah kembali fiqh, kita harus memulai dengan menyorot kedua aliran ini secara kritis dibahas skriptularisme.

Latar Belakang Skripturalisme

Seperti diketahui dalam fiqh tabi’in, ada dua aliran besar dalam fiqh Islam: ahl al-Ra’y dan ahl al-Hadits. Yang pertama menekankan rasio dalam pengambilan keputusan. Yang kedua berdasarkan fiqh pada hadits walaupun lemah dan menolak penggunaan rasio. Mazhab-mazhab fiqh terletak di antara kedua ekstrim itu. Yang paling dekat dengan ahl al-ra’y adalah madzhab Hanafi; dan yang paling dekat dengan ahl al-hadits adalah mazhab Hanbali.

Imam Ahmad ibn Hanbal, yang mengumpulkan ribuan hadits dalam musnadnya, memang lebih terkenal sebagai ahli hadits dari pada ahli fiqh. Ibn Qutaybah memasukkan Ahmad di antara muhadditsin dan Ibn Jarir al-Thabari menolak Ahmad sebagai ahli fiqh. Semuanya terjadi karena Ahmad mendasarkan mazhabnya pada hadits Rasulullah saw (meski lemah), fatwa para sahabat, dan menolak qiyas kecuali dalam keadaan terpaksa. Jadi fiqhnya selalu merujuk pada nash-nash al-Qur’an atau hadits.

Karena itu, tugas ahli fiqh hanyalah mencari nash yang relevan. Pada Ibn Hazm, dan terutama sekali pada Daud al-Zhahiri, kesetiaan pada teks sangat ekstrem. Mereka menolak ta’wil dan menerima hadits secara harfiyah. Ibn Taymiyah memperkuat gerakan anti rasionalisme ini dengan menolak setiap penggunaan logika dalam khazanah ilmu-ilmu Islam dan sekaligus menolak praktek-praktek yang tidak ada dasarnya dalam teks al-Qur’an dan hadits. The Encyclopedia of Islam menyebut Ibn Taymiyah sebagai the bitter enemy of innovations.

Paham Ibn Taymiyah dihidupkan kembali oleh Muhammad ibn Abd al-Wahab lima abad kemudian. Seperti Ibn Taymiyah, ia mencela kaum mutakallim, filsuf dan sufi. Dalam kalimat W.C. Smith, Muhammad ibn Abd al-Wahab menolak “the corruption and laxity of the contemporary decline, the introvert warmth and other wordly pety of the mystic way, …the alien intellectualism not only of philosophy but also theology” (Smith, 1968:42).

Raja Malik ibn Abd al-Aziz, ketika menyampaikan khutbahnya di Makkah tahun 1355, berkata: “Madzhab kami mengikuti dalil, bila ada; bila tidak ada, dan yang ada hanya ijtihad, kami mengikuti ijtihad Ahmad ibn Hanbal: (Mughniyah, 1987:95). Paham ini, yang kemudian menjadi paham resmi Arab Saudi, mempengaruhi banyak aliran pembaharuan di seluruh dunia. Mereka melihat masa Salaf sebagai model, dan kembali kepada al-Qur’an dan hadits sebagai satu-satunya jalan untuk memecahkan segala persoalan Islam.

Kegagalan Skripturalisme

Keyakinan bahwa kesetiaan pada teks al-Qur’an dan hadits cukup untuk memecahkan persoalan ternyata hanya simplikasi. Pada saat yang sama, menurut Fazlur Rahman, “since the leaders of these movements were interested in negating some of the influences of the medieval school of islamic thought and law, they inevitably took a negative attitude toward the intellectual and spiritual developments that had taken place in the intervening centuries” (Rahman, 1981:26).

Ada beberara kegagalan skripturalisme. Pertama, dalam aqidah. Karena skriptualisme menerima teks-teks al-Qur’an dan hadits dengan apa adanya, mereka menetapkan keharusan percaya bahwa Ia turun ke langit dunia, mengobrol dengan ahli surga, duduk di atas ‘arasy, tertawa dan sebagainya. Dengan menolak ta’wil, mereka telah mematikan telaah filosofis. Filsafat bukan saja dijauhi, tetapi juga dikafirkan. Wacana teologi menjadi gersang.

Kedua, skriptualisme menyingkirkan pengalaman mistikal dari kehidupan beragama. Kaum sufi, yang mencoba menangkap makna batiniyah dari nash-nash, dianggap sesat. Praktek-praktek keagamaan yang tidak secara spesifik ditunjukkan dalam nash, dianggap bid’ah. Selanjutnya, yang disebut bid’ah adalah apa saja yang tidak merujuk pada dalil yang telah dipilihnya. Qunut pada shalat Subuh, membaca dzikir bersama, membaca shalawat kepada Nabi saw, mengucapkan doa yang tidak ma’tsur, –dan di Indonesia– menyelenggarakan upacara tahlilan dan marhabanan dianggap tidak mengikuti sunnah Rasulullah saw (dalam bahasa orang awam, tidak ada contohnya dari Nabi saw). Padahal, saya kira, bukan tidak mengikuti sunnah, tetapi tidak berdasarkan dalil yang disetujui mereka. Tidak ada maksud saya –dan bukan tempatnya di sini– untuk merinci dalil-dalil orang-orang yang mempraktekkan upacara-upacara agama tersebut. Dengan menyingkirkan mistisisme, kaum skripturalis telah menghilangkan pengalaman beragama (religious experiences) yang emosional. Para pengikutnya tidak lagi “menikmati” agama dan sebagian mengalami ketidakpuasan rohaniah.

Ketiga, skripturalisme, karena menolak wacana intelektual, mudah mendorong orang ke arah fanatisme. Madzhab yang lain akan dianggap menyimpang dari al-Qur’an dan sunnah. Dalam skala makroskopis, paham ini melahirkan orang-orang yang wawasannya sempit, tapi merasa faqih. Pada tahap institusional, orang-orang awam tidak merasa perlu lagi dengan kehadiran fuqaha. Bukankah segala persoalan dapat diselesaikan dengan merujuk pada dalil-dalil al-Qur’an dan hadits. Muncullah para “mujtahid” yang tidak berkualifikasi. Mereka membentuk kelompok-kelompok, yang memuncak pada fragmentasi umat.

Keempat, skripturalisme terbukti tidak menjawab berbagai masalah kontemporer. Salah satu contoh adalah perbincangan tentang zakat profesi atau pekerjaan-pekerjaan yang tidak diwajibkan zakat padanya. Sebagian di antara mereka akhirnya menggunakan qiyas juga, tetapi tanpa aturan yang konsisten. Sebagian kaum modernis di Indonesia, yang menolak qiyas, menggunakannya dalam menjelaskan zakat profesi. Ada yang mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat pertanian; zakat emas dan perak; dan zakat perdagangan.

Terakhir, kelima, skripturalisme tidak dapat menyelesaikan kemusykilan-kemusykilan yang terjadi ketika melakukan istidlal (memberikan dalil-dalil hukum) dari nash-nash. Al-masail al-lafzhiyah –seperti makna lughawi, makna ‘urfi (kebiasaan), makna haqiqi dan majazi, makna ‘am dan khash dan sebagainya; mukhtalaf al-hadits; penentuan keshahihan hadits; qawaid ushul al-fiqh dan masalah-masalah lain yang berkaitan dengan penafsiran nash tidak mendapat perhatian.

Akibat kegagalan skripturalisme tersebut, orang tidak memberikan solusi terhadap segala kemusykilan ini. Tulisan ini hanya ingin mengingatkan kita akan pentingnya penilaian kritis terhadap pendekatan pada fiqh. Kritik terhadap skripturalisme sama sekali tidak dimaksudkan untuk membela liberalisme. Pada gilirannya, liberalisme juga sangat rentan terhadap berbagai problem. Melalui studi kritis terhadap keduanya, kita dapat merumuskan kaidah-kaidah baru dalam menegakkan fiqh yang lebih relevan dan signifikan. []


Sumber : tuban.wordpress.com

Fiqih Tabi'in

Sejak zaman sahabat (dan ini diakui para sahabat sendiri) telah terjadi perubahan-perubahan dalam syari’at Islam. Suatu ketika seorang tabi’in, Al-Musayyab memuji Al-Barra bin ‘Azib: “Beruntunglah Anda. Anda menjadi sahabat Rasulullah saw. Anda berbaiat kepadanya di bawah pohon.” Al-Barra menjawab, Hai anak saudaraku, engkau tidak tahu hal-hal baru yang kami adakan sepeninggal Rasulullah. [42] Kata ma ahdatsna (apa-apa yang kami adakan) menunjukkan pada perbuatan bid’ah yang dilakukan para sahabat Nabi. Diriwayatkan bahwa pada hari kiamat ada rombongan manusia yang pernah menyertai Nabi diusir dari al-haudh (telaga). Nabi saw: “Ya Rabbi, mereka sahabatku. Dikatakan kepadanya: Engkau tak tahu apa-apa yang mereka ada-adakan sepeninggal kamu. [43]

Bid’ah-bid’ah ini telah mengubah sunnah Rasulullah saw. Sebagian sahabat mulai mengeluhkan terjadinya perubahan ini. Imam Malik meriwayatkan dari pamannya Abu Suhail bin Malik, dari bapaknya (seorang sahabat). Ia berkata: Aku tidak mengenal lagi apa-apa yang aku lihat dilakukan “orang” kecuali panggilan shalat. Al-Zarqani mengomentari hadits ini: Yang dimaksud “orang” adalah sahabat. Adzan tetap seperti dulu. Tidak berubah, tidak berganti. Ada pun shalat, waktunya telah diakhirkan, dan perbuatan yang lain telah berubah. [44] Imam Syafi’i meriwayatkan dari Wahab bin Kaysan. Ia melihat Ibn Zubair memulai shalatnya sebelum khutbah, kemudian berkata: Semua sunnah Rasulullah saw sudah diubah, sampai shalat pun. [45] Kata Al-Zuhri: Aku menemui Anas bin Malik di Damaskus. Ia sedang menangis. “Mengapa Anda menangis,” tanya Al-Zuhri. Anas menjawab, “Aku sudah tidak mengenal lagi apa yang aku lihat, kecuali shalat. Ini pun sudah dilalaikan orang”. [46] Al-Hasan al-Bashri menegaskan: “Seandainya sahabat-sahabat Rasulullah saw lewat, mereka tidak mengenal kamu (yang kamu amalkan) kecuali kiblat kamu”. [47] ‘Umran bin al Husain pernah shalat di belakang Ali. Ia memegang tangan Muthrif bin Abd Allah dan berkata: Ia telah shalat seperti shalatnya Muhammad saw. Ia mengingatkan aku pada Shalat Muhammad saw. [48]

Jadi pada zaman sahabat pun, sunnah Nabi sudah banyak diubah. Salah satu sebab utama perubahan adalah campur tangan penguasa. Karena pertimbangan politik, Bani Umayyah telah mengubah sunnah Nabi, khususnya yang dijalankan secara setia oleh Ali dan para pengikutnya. Ibn ‘Abbas berdoa: Ya Allah, laknatlah mereka. Mereka meninggalkan sunnah karena benci kepada Ali. [49] Contohnya, menjaharkan basmalah, sebagai upaya menghapus jejak Ali. [50] Contoh yang lain adalah sujud di atas tanah, yang menjadi tradisi Rasulullah saw dan para sahabat Nabi seperti Abu Bakar, Ibn Mas’ud, Ibn ‘Umar, Jabir ibn Abdullah dan lain-lain. Dalam perkembangannya, sujud di atas kain menjadi syi’ar Ahl al-Sunnah; sedangkan sujud di atas tanah dianggap musyrik dan dihitung sebagai perbuatan zindiq”. [51]

Contoh-contoh di atas menunjukkan bagaimana campur tangan kekuasaan politik membentuk fiqh. Karena fiqh lebih banyak didasarkan pada al-hadits, penguasa politik kemudian melakukan manipulasi hadits dengan motif politik. Fiqh Tab’in, selain mengambil hadits sebagai sumber hukum, juga mengambil ijtihad para sahabat. Sebab itu, kita juga akan mengupas kemusykilan ijtihad sahabat. Karena pendapat-pendapat para sahabat terbagi dua –yang berpusat pada al-hadits dan al-ra’y– kita akan membicarakan juga tradisi fiqh al-atsar dan fiqh al-ra’y. Secara keseluruhan, kita lebih banyak menelaah ushul ketimbang fiqh. Hal ini disebabkan ushul adalah sandaran para tabi’in; dan karenanya secara singkat ia disebut Fiqh al-ushul. Sebelum membahas itu semua, marilah kita lihat sedikit latar belakang fiqh tabi’in.

Apa Yang Dimaksud Dengan Fiqh Tabi’in

Setelah Nabi Muhammad saw meninggal dunia, orang-orang Islam bertanya pada sahabat dalam urusan hukum-hukum agama. Tidak semua sahabat menjawab pertanyaan mereka; dan mereka pun tidak bertanya pada semua sahabat. Sebagian sahabat sedikit sekali memberi fatwa, mungkin karena ketidaktahuan, kehati-hatian, atau lagi-lagi pertimbangan politis. Sebagian lagi banyak sekali memberi fatwa, mungkin karena pengetahuan mereka, atau karena posisinya memungkinkan untuk itu.

Menarik untuk dicatat, bahwa dalam khazanah fiqh ahl al-Sunnah para khalifah sedikit sekali memberi fatwa atau meriwayatkan al-hadits. Abu Bakar meriwayatkan hanya 142 hadits, Umar 537 hadits, Utsman 146 hadits, Ali 586 hadits. Jika semua hadits mereka disatukan hanya berjumlah 1411 hadits, kurang dari 27% hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah (Abu Huraiah meriwayatkan 5374 hadits).

Karena itu, para tabi’in, yakni mereka yang berguru pada sahabat, umumnya bukanlah murid al-Khulafa al-Rasyidin. Dalam pada itu, ketika kekuasaan Islam meluas, hanya sedikit para sahabat yang meninggalkan Madinah. Dalam kaitan ini, Abu Zahrah menulis: [52]

Sebenarnya, sebelum Dinasti Umayyah berkuasa, tidak banyak, bahkan sedikit sekali sahabat yang keluar dari Madinah. Umar bin Khatab menahan para sahabat senior di Madinah dan melarang mereka meninggalkan kota itu. Pertama, ‘Umar ingin mengambil manfaat dari pendapat mereka. Kedua, ia mempertimbangkan alasan-alasan, baik secara politik maupun administratif dalam pemerintahan. Baru ketika Utsman memerintah, mereka diizinkan keluar. Yang keluar kebanyakan bukan fuqaha. Juga bukan sahabat senior, kecuali yang diizinkan keluar oleh Umar, seperti Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari, dan lain-lain. Sahabat yang terkenal punya banyak murid adalah Ibn Mas’ud di Iraq, Abdullah ibn ‘Umar serta ayahnya Al-Faroq, Zaid ibn Tsabit dan lain-lain di Madinah.

Kebanyakan, menurut Abu Zahrah, murid-murid sahabat itu para mawali (non Arab). Fiqh tabi’in, karena itu, umumnya fiqh mawali. Dari sahabat, para tabi’in mengumpulkan dua hal: Hadits-hadits Nabi saw dan pendapat-pendapat para sahabat (aqwal al-shahabat). Bila ada masalah baru yang tidak terdapat pada kedua hal tersebut, mereka melakukan ijtihad seperti atau dengan metode yang dilakukan para sahabat. Banyak diantara tabi’in yang mencapai faqahah (kefaqihan) begitu rupa sehingga sahabat (sic!) berguru pada mereka. Qabus ibn Abi Zhabiyan berkata: Aku tanya ayahku, mengapa Anda tinggalkan sahabat dan mendatangi ‘Alqamah. Ayahku menjawab Aku menemukan sahabat-sahabat Nabi bertanya kepada ‘Alqamah dan meminta fatwanya. Ka’ab al-Ahbar sering dimintai fatwa oleh Ibn Abbas, Abu Hurairah, dan Abdullah ibn Amr. ‘Alqamah dan Ka’ab keduanya tabi’in.

Ada tujuh orang faqih tabi’in yang terkenal (al-fuqaha al-sab’ah): Sa’id ibn Musayyab (wafat 93 H), ‘Urwah ibn al-Zubair (wafat 94 H), Abu Bakar ibn ‘Abid (wafat 94 H), Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar (Wafat 108 H), Abidullah ibn Abdillah (wafat 99 H), Sulayman ibn Yasar (wafat 100 H) dan Kharijah ibn Zaid ibn Tsabit (wafat?). Di samping mereka ada ‘Atha ibn Abi Rabah, Ibrahim al-Nakh’i, Al-Syu’bi, Hamad ibn Abu Sulayman Salim mawla Ibn Umar, dan ‘Ikrimah mawla Ibn Abbas.

Bukti-Bukti Manipulasi Hadits

Di sini tidak ditunjukkan manipulasi hadits kecuali seperti tampak pada kitab-kitab hadits yang ada sekarang. Dari situ paling tidak kita melihat petunjuk (indikator) manipulasi hadits pada zaman tabi’in. Contoh-contoh yang diberikan di sini difokuskan pada manipulasi yang diduga beralasan politis. Ada beberapa cara manipulasi hadits, antara lain sebagai berikut.

Pertama, membuang sebagian isi hadits dan menggantinya dengan kata-kata yang tidak jelas. Ketika Marwan menjadi Gubernur Mu’awiyah di Hijaz, ia meminta rakyat untuk membaiat Yazid. Abd al-Rahman ibn Abu Bakar memprotes Marwan sambil berkata. “Kalian menginginkan kekuasaan ini seperti kekuasaan Heraclius!”. Marwan marah dan menyuruh orang menangkap Abd al-Rahman. Ia lari ke kamar ‘Aisyah ra, saudaranya. Marwan berkata: Ayat al-Qur’an: alladzi qala liwalidaihi uffin lakum turun tentang Abd al-Rahman. ‘Aisyah menolak asbab al-nuzul ini. Shahih Bukhari menghilangkan ucapan Abd al-Rahman dengan mengatakan faqaala ‘Abd al-Rahman ibn ‘Abi Bakar syai’an (Abd al-Rahman mengatakan sesuatu). [53] Dengan cara itu, kecaman kepada Mu’awiyah dan Marwan tidak diketahui. Kehormatan Khalifah dan Gubernurnya terpelihara. Dalam tarikhnya, al-Thabari meriwayatkan ucapan Nabi saw tentang Ali: “Inilah washihu dan khalifahku untuk kamu”. Kata-kata ini dalam Tafsir al-Thabari dan Ibn Katsir diganti dengan: wa kadza wa kadza (demikianlah-demikianlah). Tentu saja kata “washi”dan “khalifah” mempunyai konotasi yang sangat jelas. [54]

Kedua, membuang seluruh berita tentang sahabat dengan petunjuk adanya penghilangan itu. Muhammad ibn Abu Bakar menulis surat kepada Mu’awiyah menjelaskan keutamaan Ali sebagai washi Nabi saw. Mu’awiyah pun mengakuinya. Isi surat ini secara lengkap dimuat dalam Kitab Shiffin dari Nashr bin Mazahim (wafat 212 H) dan Muruj al-Dzahab tulisan al-Mas’udi (wafat 246 H). Al-Thabari (wafat 310 H) melaporkan peristiwa itu dengan menunjuk kedua kitab di atas sebagai sumber. Tetapi ia membuang semua isi surat itu dengan alasan “supaya orang banyak tidak resah mendengarkannya.” Ibn Atsir dalam Al-Bidayah wa al-Nihayah juga menghilangkan kedua surat itu dengan mengemukakan alasan yang sama. [55]

Ketiga, memberikan makna lain (ta’wil) pada hadits. Al-Dzahabi ketika meriwayatkan biografi Al-Nasai menulis, ketika al-Nasai diminta meriwayatkan keutamaan Mu’awiyah, ia berkata, “hadits apa yang harus aku keluarkan kecuali ucapan Nabi, semoga Allah tidak mengenyangkan perut Mu’awiyah”. Kata Al-Dzahabi: Barangkali yang dimaksudkan dengan keutamaan Mu’awiyah ini adalah ucapan Nabi saw: Ya Allah, siapa yang aku laknat atau aku kecam, jadikanlah laknat dan kecaman itu kesucian dan rahmat baginya. [56] Bagaimana mungkin laknat Nabi menjadi kesucian dan rahmat; tetapi Bukhari dan Muslim memang meriwayatkan hadits ini. [57] Al-Thabrani dalam Majma’ al-Zawaid meriwayatkan ucapan Rasulullah saw kepada Salman bahwa Ali adalah washi-nya. Al-Thabrani memberi komentar: Ia menjadikan washi untuk keluarganya, bukan untuk Khalifah.

Keempat, membuang sebagian isi hadits tanpa menyebutkan petunjuk ke situ atau alasan. Ibn Hisyam mendasarkan tarikhnya pada tarikh Ibn Ishaq. “Tetapi aku tinggalkan sebagian riwayat Ibn Ishaq yang jelek bila disebut orang”, kata Ibn Hisyam dalam pengantarnya. Di antara yang dibuang itu adalah kisah “wa andzir ‘asyirataka al-aqrabin”. Dalam Ibn Ishaq diriwayatkan Nabi saw berkata; “Inilah saudaraku, washiku, dan khalifahku untuk kamu.” [58] Belakangan ini Muhammad Husayn Haykal, dalam Hayat Muhammad melakukan hal yang sama. Pada bukunya, cetakan pertama, ia mengutip ucapan Nabi: Siapa yang akan membantuku dalam urusan ini supaya menjadi saudaraku, washiku dan Khalifahku untuk kamu. Pada Hayat Muhammad, cetakan kedua (Tahun 1354), ucapan Nabi saw ini dihilangkan sama sekali.

Kelima, melarang penulisan hadits Nabi saw. Berkenaan dengan ini bagian “Fiqh al-Khulafa’ al-Rasyidin” di atas. Beberapa tabi’in juga melarang penulisan hadits.

Keenam, mendha’ifkan hadits-hadits yang mengurangi kehormatan penguasa atau yang menunjang keutamaan lawan. Ibn Katsir mendha’ifkan riwayat Nabi tentang Ali sebagai Washi. Ia menganggap riwayat itu sebagai dusta, yang dibuat-buat oleh orang Syi’ah, atau orang-orang yang bodoh dalam ilmu hadits. [69] Ia lupa bahwa hadits ini diriwayatkan dari banyak sahabat Nabi oleh Imam Ahmad, Al-Thabari, Al-Thabrani, Abu Nu’aim al-Isbahani, Ibnu ‘Asakir dan lain-lain. Al-Syu’bi meriwayatkan hadits dari Al-Harits al-Hamdani. Ia berkata: menyampaikan padaku Al-Harits, salah seorang pendusta. Ibn Abd al-Barr mengomentari ucapan al-Syu’bi: Ia tidak menjelaskan apa alasan dusta untuk Al-Harits. Ia membenci Al-Harits karena kecintaannya yang berlebihan pada Ali dan mengutamakan Ali di atas sahabat yang lain. Karena itu, wallahu a’lam, Al-Syu’bi mendustakan Al-Harits; Al-Syuibi mengutamakan Abu Bakar, dan bahwa Abu Bakar adalah orang yang pertama masuk Islam.

Lahirnya Madzhab-madzhab Fiqh

Ketika al-Manshur baru saja diangkat menjadi khalifah, ia mengundang Malik ibn Anas, Ibn Sam’an dan Ibn Abi Dzuaib. Ia dikawal para prajurit dengan pedang-pedang terhunus. Setelah berbicara panjang, Khalifah bertanya. “Bagaimana pendapat kalian tentang diriku? Apakah aku pemimpin adil atau zalim?” Malik bin Anas berkata: “Ya Amiral Mu’minin, aku tawassul padamu dengan Allah swt dan aku meminta tolong padamu dengan Muhammad saw dan dengan kekeluargaanmu padanya, maafkanlah aku untuk tidak berbicara.” “Aku maafkan Anda”, kata al-Manshur.

Kemudian ia melirik kepada Ibn Sam’an: “Bagaimana pendapat kamu?” Kata Ibn Sam’an: “Anda, demi Allah, orang yang paling baik. Demi Allah, ya Amir al-Mu’minin, Anda berhaji ke Baitullah; Anda perangi musuh; Anda berikan keamanan di jalan; Anda lindungi orang yang lemah supaya tidak dimakan yang kuat. Andalah tonggak agama, orang terbaik, dan umat teradil.”

Kemudian al-Manshur melirik Ibn Abi Dzuaib. “Atas nama Allah bagaimana pendapatmu tentang diriku?” Yang ditanya menjawab, “Menurut pendapatku, Anda manusia terjahat, demi Allah. Anda merampas harta Allah, RasulNya, dan bagian keluarga Rasul, anak yatim, dan orang miskin. Anda hancurkan yang lemah, Anda persulit orang yang kuat. Anda tahan harta mereka. Apa alasanmu di hadapan Allah nanti?”

“Celaka kamu, tidakkah kamu lihat apa yang ada dihadapanmu?” kata al-Manshur. “Benar, aku lihat pedang dan itu berarti kematian. Bagiku sama saja apakah mati itu dipercepat atau diperlambat.”

Peristiwa di atas, yang dikisahkan Ibn Qutaybah, menunjukkan posisi Malik ibn Anas dibandingkan ulama yang sezaman dengannya. Ibn Abi Dzuaib, nama lengkapnya Abu al-Harit Muhammad ibn Abd al-Rahman ibn al-Mughirah ibn Dzuaib al-’Amiri, adalah seorang alim yang terkenal faqih dan wara. Menurut al-Dahlawi, di samping Malik, Ibn Dzuaib adalah orang yang membukukan hadits di Madinah. Tapi, namanya hampir tidak pernah disebut dalam buku-buku tarikh. Ia lebih berani, dan boleh jadi lebih faqih dari Malik. Namun sekarang hampir tidak ada orang yang mengenalnya.

Sejarah memang hanya memihak yang menang. Fame bestows no favors upon the losers. Malik bin Anas kelak terkenal sebagai pendiri madzhab Maliki, dengan para pengikut yang tersebar di berbagai bagian dunia Islam. Ibn Dzuaib, tentu saja tidak dikenal. Imam Malik menjadi terkemuka setelah al-Manshur memberikan segala kehormatan kepadanya. Ketika naik haji, al-Manshur berkata kepada Malik: “Saya punya rencana untuk memperbanyak kitab yang kau susun ini, yaitu saya salin, dan kepada setiap wilayah kaum Muslim saya kirim satu naskah, serta saya instruksikan agar mereka mengamalkan isinya sehingga mereka tidak mengambil yang lain.” Begitu pula, ketika Harun al-Rasyid berkuasa, ia bermusyawarah dengan Malik untuk menggantungkan al-Muwaththa pada Ka’bah dan memerintahkan orang untuk beramal menurut Kitab itu. Walau Malik menolak rencana kedua khalifah itu, kita tahu bahwa Malik didukung para penguasa.

Masih sezaman dengan Malik dan bahkan Malik pernah berguru kepadanya, adalah faqih dari keluarga Rasulullah saw, Ja’far al-Shadiq. Ia pun hampir tidak dikenal kecuali pada kalangan pengikutnya saja. Malik berkata tentang Ja’far: “Aku pernah berguru pada Ja’far bin Muhammad beberapa waktu. Aku tidak pernah melihatnya kecuali dalam salah satu di antara tiga keadaan: sedang shalat, sedang puasa, atau sedang membaca al-Qur’an. Tidak pernah aku lihat ia meriwayatkan hadits dari Rasulullah kecuali dalam keadaan suci. Ia tak bicara sesuatu yang tak manfaat, dan ia termasuk ulama yang taat beribadah, zuhud, yang hanya takut kepada Allah saja.” Sifat terakhir ini justru menyebabkan Ja’far tidak disenangi penguasa. Fiqhnya “dicurigai” dan para pengamalnya dianiaya.

Seperti akan kita uraikan nanti, sebetulnya banyak madzhab muncul, tetapi karena tidak didukung penguasa, madzhab-madzhab itu akhirnya hilang dari catatan sejarah. Dalam tulisan ini kita akan mencatat beberapa orang tokoh madzhab yang terlupakan. Tapi sebelum itu, kita akan meninjau latar belakang historis dari tumbuhnya madzhab-madzhab fiqh. Pada akhir bagian ini kita akan membicarakan “pokok dan tokoh” madzhab yang masih memiliki banyak pengikut sampai sekarang.

Sejarah Pembentukan Madzhab

Kelima Madzhab yang akan kita bicarakan –Ja’fari, Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali– tumbuh pada zaman kekuasaan dinasti Abbasiyah. Pada zaman sebelum itu, bila orang berbicara tentang madzhab, maka yang dimaksud adalah madzhab di kalangan sahabat Nabi: Madzhab Umar, Aisyah, Ibn Umar, Ibn Abbas, Ali dan sebagainya. Para sahabat dapat dikelompokkan dalam dua besar. Yaitu ahl al-Bayt dan para pengikutnya, juga para sahabat di luar ahl al-Bayt. Ali dan kedua puteranya, Abu Dzarr, Miqdad, ‘Ammar bin Yasir, Hudzaifah, Abu Rafi Mawla Rasulullah, Ummi Salamah, dan sebagainya, masuk kelompok pertama. Sedangkan Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah, Abu Hurairah dan lain-lain masuk kelompok kedua.

Murtadha al-’Askary menyebut dua madzhab awal ini sebagai Madrasah al-Khulafa dan Madrasah Ahl al-Bayt. Kedua madrasah ini berbeda dalam menafsirkan al-Qur’an, memandang sunnah Rasulullah, dan melakukan istinbath hukum. Pada zaman kekuasaan dinasti Umawiyyah, madrasah al-Khulafa bercabang lagi ke dalam dua cabang besar: Madrasah al-Hadits dan Madrasah al-Ra’y. Yang pertama, berpusat di Madinah, melandaskan fiqhnya pada al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijtihad para sahabat, dan sedapat mungkin menghindari ra’yu dalam menetapkan hukum. Yang kedua, berpusat di Iraq, sedikit menggunakan hadits dan lebih banyak berpijak pada penalaran rasional dengan melihat sebab hukum (illat) dan tujuan syara’ (maqashid syar’iyyah).

Sementara itu, Madrasah ahl al-Bayt tumbuh “di bawah tanah” mengikuti para imam mereka. Karena tekanan dan penindasan, mereka mengembangkan esoterisme dan disimulasi untuk memelihara fiqh mereka. Ibn Qutaybah dalam Kitab al-Ikhtilaf menceritakan bagaimana raja-raja Umawiyyat berusaha menghapuskan tradisi ahl al-Bayt dengan mengutuk Ali bin Abi Thalib di mimbar-mimbar, membunuh para pengikut setianya, dan mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan ahl al-Bayt. Tidak jarang sunnah Rasulullah yang sahih ditinggalkan karena sunnah itu dipertahankan dengan teguh oleh para pengikut ahl al-Bayt.

Ibn Taymiyyah menulis perihal tasyabbuh dengan syiah: “Dari sinilah para fuqaha berpendapat untuk meninggalkan al-mustahabbat (yang sunat) bila sudah menjadi syiar orang-orang Syi’ah. Karena walaupun meninggalkannya tidak wajib menampakkannya berarti menyerupai (tasyabbuh) mereka, sehingga sunni tidak berbeda dengan syi’ah. Kemaslahatan berbeda dengan mereka dalam rangka menjauhi dan menentang mereka lebih besar dari kemaslahatan mengamalkan yang musthab itu.” Salah satu contoh sunnah yang dijauhi orang adalah tasthih seperti diceritakan oleh Muhamamd bin ‘Abd al-Rahma yang berkata: “Yang sunnah dalam membuat kubur adalah meratakan permukaan kubur (tasthith). Inilah yang paling kuat menurut madzhab Syaf’i. “Tapi Abu Hanifah dan Ahmad berkata: “Menaikkan permukaan kubur (tasnim) lebih baik, karena tasthih sudah menjadi syi’ar sy’iah.”

Pada periode Umawiyyah, madrasah-madrasah itu tidak melahirkan pemikiran-pemikiran madzhab. Dr. Muhammad Farouq al-Nabhan menjelaskan sebab-sebab berikut: a) Hubungan yang buruk antara ulama dan khulafa. Banyak tokoh sahabat dan tabi’in yang menganggap daulat Umawiyyah ditegakkan di atas dasar yang batil. Para khalifah banyak melakukan hal-hal yang melanggar sunnah Rasulullah saw b) Terputusnya hubungan antara pusat khilafah dengan pusat ilmiah. Waktu itu, pusat pemerintahan berada di Syam, sedangkan pusat-pusat ilmiah berada di Iraq dan Hijaz; c) Politik diskriminasi yang mengistimewakan orang Arab di atas orang bukan Arab. Dinasti Umawiyah memisahkan Arab dan mawali. Kebijakan ini menyebabkan timbulnya rasa tidak senang pada para mawali –yang justru lebih banyak pada daerah kekuasaan Islam. Banyak di antara mereka adalah para sarjana dalam berbagai disiplin ilmu.

Karena itu pada permulaan pemerintahannya, Dinasti Abbasiyah disambut dengan penuh antusias baik oleh mawali maupun pengikut ahl al-Bayt. Di antara mawali itu adalah Abu Hanafi dan di antara imam ahl al-Bayt adalah Ja’far bin Muhammad. Keduanya mengembangkan ajaran mereka pada zaman Abbasiyah.

Imam-Imam Madzhab Yang Terlupakan

Sudah disebutkan di muka, bahwa madzhab-madzhab besar yang kita kenal sekarang –kecuali mazhab Ja’fari– membesar karena dukungan penguasa. Madzhab Hanafi mulai berkembang ketika Abu Yusuf, murid Abu Hanifah, diangkat menjadi qadhi dalam pemerintahan tiga khalifah Abbasiyah: al-Mahdi, al-Hadi, dan al-Rasyid. Al-Kharaj adalah Kitab yang disusun atas permintaan al-Rasyid. Kitab ini adalah rujukan utama madzhab Hanafi.

Madzhab Maliki berkembang di khilafah Timur atas dukungan al-Manshur dan di khilafah Barat atas dukungan Yahya bin Yahya ketika diangkat menjadi qadhi oleh para khalifah Andalusia. Di Afrika, al-Mu’iz Badis mewajibkan seluruh penduduk untuk mengikuti madzhab Maliki. Madzhab Syafi’i membesar di Mesir ketika Shalahuddin al-Ayyubi merebut negeri itu. Madzhab Hanbali menjadi kuat pada masa pemerintahan al-Mutawakkil. Waktu itu al-Mutawakkil tidak mengangkat seorang qadhi kecuali dengan persetujuan Imam Ahmad ibn Hanbal.

Dalam menyimpulkan semua ini, Syah Wali al-Dahlawi menulis: “Bila pengikut suatu madzhab menjadi masyhur dan diberi wewenang untuk menetapkan keputusan hukum dan memberikan fatwa, dan tulisan mereka terkenal di masyarakat, lalu orang mempelajari madzhab itu terang-terangan. Dengan begitu, tersebarlah madzhabnya di seluruh penjuru bumi. Bila para pengikut madzhab itu lemah dan tidak memperoleh posisi sebagai hakim dan tidak berwewenang memberi fatwa, maka orang tak ingin mempelajari madzhabnya. Lalu madzhab itu pun hilang setelah beberapa lama.”

Beberapa madzhab yang hilang itu secara singkat diuraikan sebagai berikut:

1). Madzhab al-Tsawri. Tokoh madzhab ini adalah Abu Abd Allah Sufyan bin Masruq al-Tsawry. Lahir di Kufah tahun 65 H dan wafat di Bashrah tahun 161 H. Imam Ahmad menyebutnya sebagai seorang faqih, ketika Ahmad menyebut dirinya hanya sebagai ahli hadits. Ia berguru pada Ja’far al-Shadiq dan meriwayatkan banyak hadits. Ayahnya termasuk perawi hadits yang di-tsiqat-kan Ibn Ma’in. Berkali-kali al-Manshur mau membunuhnya, tetapi ia berhasil lolos. Ketika ia diminta menjadi qadhi, ia melarikan diri dan meninggal di tempat pelarian. Pahamnya diikuti orang sampai abad IV Hijrah;

2). Madzhab Ibn ‘Uyaiynah. Nama lengkapnya Abu Muhammad Sufyan ibn ‘Uyaiynah wafat tahun 198 H. Ia mengambil ilmu dari Imam Ja’far, al-Zuhry, Ibn Dinar, Abu Ishaq dan lain-lain. Di antara yang mengambil riwayat dari padanya adalah Syafi’i. Ia memberi komentar: “Seandainya tidak ada Malik dan Ibn ‘Uyaiynah, hilanglah ilmu Hijaz. Madzhabnya diamalkan orang sampai abad IV, tetapi setelah itu hilang karena tidak ada dukungan penguasa.

3). Madzhab al-Awza’iy. Pendirinya Abd al-Rahman bin Amr al-Awza’iy adalah imam penduduk Syam. Ia sangat dekat dengan Bani Umayyah dan juga Bani Abbas. Madzhabnya tersisihkan hanya ketika Muhammad bin Utsman dijadikan qadhi di Damaskus dan memutuskan hukum menurut Madzhab Syafi’i Ketika Malik ditanya tentang siapa di antara yang empat (Abu Hanifah, al-Awza’iy, Malik dan al-Tsawry) yang paling benar? Malik berkata: “Al-Awza’iy.” Mazhabnya diamalkan orang sampai tahun 302 H;

4). Madzhab al-Thabary. Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Khalid ibn Ghalib al-Thabary lahir di Thabaristan 224 H dan wafat di Baghdad 310 H. Ia termasuk mujtahid ahl al sunnah yang tidak bertaklid kepada siapa pun. Kata Ibn Khuzaymah: Ia hafal dan paham al-Qur’an; mengetahui betul makna al-Qur’an. Ia faqih, mengetahui sunnah dan jalan-jalannya; dapat membedakan yang sahih dan yang lemah, yang nasikh dan yang mansukh dan paham akan pendapat para sahabat. Tidak diketahui sampai kapan madzhabnya diikuti orang.

5). Madzhab al-Zhahiry. Abu Sulayman Dawud ibn ‘Ali dilahirkan di Kufah tahun 202 H dan hidup di Baghdad sampai tahun 270 H. Madzhabnya berkembang sampai abad VII. Salah seorang muridnya yang masyhur adalah Ibn Hazm. Ia diberi gelar al-Zhahiry karena berpegang secara harfiah pada teks-teks nash. Ia berkembang di daerah Maroko, ketika Ya’qub ibn Yusuf ibn Abd al-Mu’min meninggalkan mazhab Maliki dan mengumumkan perpindahannya ke madzhab al-Zhahiry.

Inilah sebagian di antara tokoh-tokoh madzhab yang tidak lagi dianut secara resmi sekarang ini. Berikut adalah para pemuka madzhab yang terkenal. Karena riwayat hidup mereka sudah disebutkan di atas –kecuali Imam Ja’far– di sini hanya disebutkan beberapa catatan kecil saja. Pokok-pokok pikirannya dalam fiqh akan kita perkenalkan secara singkat.

Imam Ja’far Ibn Muhammad Al-Shadiq (82-140 H)

Ja’far ibn Muhammad ibn Ali ibn Husain (ibn Ali) ibn Fathimah binti Rasulullah saw lahir di Madinah tahun 82 H pada masa pemerintah Abd al-Malik ibn Marwan. Selama lima belas tahun ia tinggal bersama kakeknya, Ali Zainal Abidin keturunan Rasul yang selamat dari pembantaian di Karbela. Setelah Ali wafat, ia diasuh oleh ayahnya Muhammad al-Baqir dan hidup bersama selama sembilan belas tahun.

Ia sempat menyaksikan kekejaman al-Hajjaj, pemberontakan Zaid ibn Ali, dan penindasan terhadap para pengikut madrasah ahl al-Bayt. Ia juga menyaksikan naiknya al-Saffah dan al-Manshur dengan memanipulasikan kecintaan orang pada ahl al-Bayt. Ia juga menyaksikan bahwa para khalifah Abbasiyah tidak lebih baik dari para khalifah Umawiyah dalam kebenciannya kepada keluarga Rasul. Abu Zahrah menulis:

Dinasti ‘Abbasiyah selalu merasa terancam dalam kekuasaannya oleh para pengikut Ali. Kaum ‘Alawi menunjukkan nasab seperti mereka dan memiliki kekerabatan dengan Rasulullah yang tidak dimililki ‘Abbasiy. Orang-orang yang menentang mereka semuanya berasal dari ‘Alawiyyin. Mereka selalu cemas menghadapi mereka. Karena itu, bila para penguasa ‘Abbasiyah melihat ada dakwah ‘Alawi, mereka segera menghukumnya. Bila mereka melihat ada pejabat yang memuji Bani ‘Ali, mereka segera mengucilkannya atau membunuhnya. Mereka tak perduli membunuh orang tak berdosa karena dianggap mengancam pemerintahannya.

Dalam suasana seperti itulah, Imam Ja’far memusatkan perhatiannya pada penyebaran sunnah Rasulullah dan peningkatan ilmu dan akhlak kaum Muslim. Di antara murid-muridnya adalah Imam Malik, al-Tsawry, Ibn ‘Uyaiynah, Abu Hanifah, Syu’bah ibn al-Hajjaj, Fadhail ibn Iyadh, dan ribuan para perawi. Untuk mengetahui pemikiran Imam Ja’far dalam hal fiqh, kita tuliskan percakapannya dengan muridnya selama dua tahun seperti diceritakan Abu Nu’aim:

Abu Hanifah, Ibn Syabramah, dan Ibn Abi Layla menghadap Imam Ja’far. Ia menanyakan Ibn Abi Layla tentang kawannya, yang kemudian dijawab Ia orang pintar dan mengetahui agama. “Bukankah ia suka melakukan qiyas dalam urusan agama?,” tanya Ja’far. “Benar.”

Ja’far bertanya kepada Abu Hanifah: “Siapa namamu?” “Nu’man.”

“Aku tidak melihat Anda menguasai sedikit pun.” Kata Ja’far sambil mengajukan berbagai pertanyaan yang tidak bisa dijawab Abu “Hai Nu’man, ayahku memberitahukan kepadaku dari kakekku bahwa Nabi saw bersabda: Orang yang pertama menggunakan qiyas dalam agama adalah iblis. Karena ketika Allah menyuruhnya bersujud kepada Adam ia berdalih: Aku lebih baik dari dia karena aku Kau buat dari api dan ia Kau buat dari tanah. Barang siapa yang meng-qiyas dalam agama, Allah akan menyertakannya bersama iblis, karena ia mengikutinya dengan qiyas.

Manakah yang lebih besar dosanya, membunuh atau berzinah? “Membunuh.”

“Lalu, mengapa Allah hanya menuntut dua orang saksi untuk pembunuhan dan empat orang saksi untuk zinah.”

“Mana yang lebih besar kewajibannya, shalat atau shawm (puasa)?”

“Shalat”

“Mengapa wanita yang haidh harus mengqadha shawmnya tetapi tidak harus mengqadha shalatnya. Bagaimana kamu menggunakan qiyasmu. Bertaqwalah kepada Allah dan jangan melakukan qiyas dalam agama.”

Dari percakapan di atas kita melihat perbedaan pendekatan hukum di antara dua pemuka madzhab. Di antara karakteristik khas dari madzhab Ja’fari, selain menolak qiyas adalah hal-hal berikut: a) Sumber-sumber syar’iy adalah al-Qur’an, al-Sunnah dan akal. Termasuk ke dalam sunnah adalah sunnah ahl al-Bayt: yakni para imam yang ma’shum. Mereka tidak mau menjadikan hujjah hadits-hadits yang diriwayatkan para sahabat yang memusuhi ahl al-Bayt; b) Istihsan tidak boleh dipergunakan. Qiyas hanya dipergunakan bila ‘illat-nya manshush (terdapat dalam nash). Pada hal-hal yang tak terdapat ketentuan nashnya, digunakan akal berdasarkan kaidah-kaidah tertentu; c) Al-Qur’an dipandang telah lengkap menjawab seluruh persoalan agama. Tugas mujtahid adalah mengeluarkan dari al-Qur’an jawaban-jawaban umum untuk masalah-masalah yang khusus. Karena Rasulullah dan para imam adalah orang yang mengetahui rahasia-rahasia al-Qur’an, penafsiran al-Qur’an yang paling absah adalah yang berasal dari mereka.

Imam Abu Hanifah

Abu Hanifah terkenal sebagai alim yang teguh pendirian. Ia menentang setiap kezaliman. Beberapa kali ia mengkritik al-Manshur secara terbuka. Ketika Muhammad dan Ibrahim dari ahl al-Bayt memberontak, Abu Hanifah mendukungnya. Begitu pula, ketika Imam Zayd melawan penguasa, Abu Hanifah berbay’at kepadanya. Abu Zahrah, penulis biografi Abu Hanifah, menulis: “Sesungguhnya Abu Hanifah itu Syi’ah dalam kecenderungan dan pendapatnya tentang penguasa di zamannya. Yakni, ia melihat bahwa khalifah haruslah diserahkan pada keturunan Ali dari Fathimah; dan bahwa para khalifah yang sezaman dengan mereka telah merampas haknya dan karena itu mereka zalim.”

Sikap Abu Hanifah itu, ditambah hasutan Ibn Abi Layla, menimbulkan kemarahan Al-Manshur. Tapi karena kedudukan Abu Hanifah di masyarakat, Al-Mansur tak dapat membunuhnya tanpa alasan. Lalu ia menjebak Abu Hanifah dengan jabatan qadhi. Ketika Abu Hanifah menolaknya, ia dipenjarakan. Setiap hari, ia dicambuk sepuluh lecutan. Ia mengakhiri hidupnya, menurut satu riwayat, karena diberi makanan beracun.

Abu Hanifah meninggalkan banyak murid. Di antaranya Abu Yusuf, yang kemudian menjadi qadhi dan banyak memasukkan hadits dalam kitab-kitabnya; Muhammad ibn Hasan al-Syaybany, yang pernah berguru pada Malik dan kemudian menggabungkan madrasah hadits dengan madrasah Ra’y; dan Zafr ibn al-Hudzail, yang sangat ekstrem menggunakan qiyas.

Pokok fiqih madzhab Hanafi bersumber pada tiga hal: a) Sumber-sumber naqliyah, yang meliputi al-Qur’an, al-Sunnah, ijma, dan pendapat para sahabat. Abu Hanifah berkata, “Aku mengambil dari al-Kitab, jika aku dapatkan di dalamnya. Bila tidak, aku ambil Sunnah Rasulullah dan hadits-hadits yang sahih, yang disampaikan oleh orang-orang yang dapat dipercaya. Jika tidak aku dapatkan dalam al-Kitab dan Sunnah Rasulullah, aku mengambil pendapat para sahabat yang aku kehendaki dan meninggalkan yang tidak aku kehendaki. Aku tidak keluar dari pendapat sahabat kepada pendapat yang lain. Bila sudah sampai pada tabi’in, mereka berijtihad dan aku pun berijtihad,”, b) Sumber-sumber ijtihadiyah, yaitu dengan menggunakan qiyas dan istihsan. c) Al-A’raf, yakni adat kebiasaan yang tidak bertentangan dengan nash, terutama dalam masalah perdagangan. Abu Hanifah bahkan mengarqurkan beramal dengan ‘urif.

Imam Malik

Pada zaman kekuasaan Ja’far ibn Sulayman tahun 146 H Malik dihukum cambuk. Ia –menurut satu riwayat– mengeluarkan fatwa yang tidak dikehendaki penguasa. Setelah itu, al-Manshur merasa bersalah, di samping ingin berusaha memanfaatkan alim besar ini. Ia tidak mungkin menarik Ja’far dan tidak berhasil mengambil hati Abu Hanifah. Al-Manshur pada musim haji 153 H, meminta maaf kepada Malik atas perlakukan salah seorang penguasanya. Ia memberikan wewenang besar pada Malik untuk mengangkat dan memberhentikan para pejabat yang dipandangnya tidak mampu. Ia juga boleh menghukum mati atau memenjarakan yang dipandangnya bersalah.

Karena wewenangnya ini, Malik menjadi sangat berwibawa. Orang-orang ketakutan berada di majlisnya, karena wibawa Malik. Ketika seorang murid membantah Malik perihal penguburan rambut dan kuku, Malik memukul orang itu dan memenjarakannya Ketika seorang bertanya: “Bagaimana pendapat Anda tentang orang yang berpendapat bahwa al-Qur’an itu makhluk?.” Malik memanggil pengawalnya: “Ia zindiq, bunuh dia.” Orang itu berkata: “Bukan aku yang berkata begitu. Aku hanya melaporkan ucapan orang lain.” Malik menukas: “Tapi aku hanya mendengarnya dari kamu.”

Catatan kecil di atas menunjukkan kekuasaan Malik. Ini sangat berpengaruh pada penyebaran madzhabnya. Madzhab Maliki mendasarkan fiqhnya pada 12 pokok: a) Al-Qur’an: zhahirnya, dalil-nya, mafhum-nya dan illat-nya; b) Al-Sunnah: al-mutawatirah dan al-masyhurah. Bila zhahirnya sunnah bertentangan dengan al-Qur’an, didahulukan al-sunnah; c) Ijma’ penduduk Madinah, ijma’ secara naql. Ijma’ sebelum terbunuhnya Utsman, ijma’ mutaakhir: masing-masing dengan kekuatan hukum yang berbeda; d) Fatwa sahabat; e) Khabar Ahad dan Qiyas; f) Istihsan; g) Mashalih mursalah; h) Sadd al-Dzara’i; i) Mura’at
khilaf al-mujtahidin; j) Istishhab; k) Syar’man qablana.

Imam Syafi’i

Pokok-pokok fiqh Syafi’i ada lima: a) Al-Qur’an dan al-Sunnah; b) al-Ijma’; c) Pendapat sahabat yang tidak ada yang menentangnya; d) Ikhtilaf sahabat Nabi; e) Qiyas.

Imam Hanbali

Pokok-pokok fiqh madzhab Hanbali: a) Al-Nushush; b) Fatwa sahabat; c) Ikhtilaf sahabat; d) Hadits mursal dan dha’if; e) Qiyas. []

Sumber : tuban.wordpress.com

;;
Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template