Minggu, 07 Juni 2009

Fiqih Pembaharu

DR. Muhammad al-Tijani al-Samawi bercerita tentang kisah fanatisme di kota Qafsah, Tunisia. Seorang alim besar di kota itu mengecam orang-orang yang menjamak shalat Zhuhur dan Ashar. “Mereka membawa agama baru yang bukan agama Muhammad saw. Mereka menyalahi al-Qur’an yang menyatakan bahwa shalat itu bagi kaum Mukmin kewajiban yang ditetapkan waktunya.” Seusai shalat, seorang pemuda menanyakan lagi perihal shalat jamak. Ia berkata bahwa itu termasuk salah satu bid’ah orang Syi’ah. Tetapi shalat jamak ini terdapat dalam kitab hadits shahih Bukhari dan Muslim, kata pemuda itu. “Tidak benar,” kata sang imam. Pemuda itu mengeluarkan kedua kitab shahih tersebut dan memintanya membaca hadits-hadits tentang shalat jamak. Ketika ia membacanya, hadirin tercengang mendengarnya. Ia mengembalikan kedua kitab itu sambil berkata, “Ini khusus untuk Rasulullah saw. Bila engkau sudah menjadi Rasul Allah bolehlah engkau melakukannya.” Pemuda itu bermaksud menunjukkan bahwa Ibn Abbas, Anas ibn Malik dan banyak sahabat lainnya melakukan shalat jamak (bukan karena bepergian), tetapi ia mengurungkan maksudnya.

Di Afghanistan seorang mushalli memberi isyarat dengan telunjuknya dan menggerak-gerakkannya. Kawan shalat di sampingnya memukulnya dengan keras sehingga telunjuk itu patah. Ketika ditanya mengapa itu terjadi, ia menjawab bahwa menggerakkan telunjuk dalam tasyahud adalah haram. Apa dalilnya? Dalilnya terdapat dalam Kitab fiqh al-Syaikh al-Kaydani.

Kedua peristiwa di atas terjadi dalam rentang waktu cukup lama -menurut sebagian penulis dari abad VI Hijrah sampai abad XIII. Sebuah rentang waktu yang oleh para Tarikh Tasyri’ disebut sebagai zaman stagnasi pemikiran fiqh (’ashr al-rukud).

Al-Ustadz al-Zarqa melukiskan situasi umum pada waktu itu: Pada zaman tersebut pemikiran fiqh mengalami kemunduran, dimulai kemandegan dan diakhiri kebekuan, walau selama masa itu muncul juga beberapa ulama fiqh dan ushul yang cemerlang. Pada zaman inilah pemikiran taqlid mutlak dominan. Pemikiran bergeser dari upaya mencari sebab-sebab dan maksud syara’ dalam memahami hukum, ke upaya menghapal yang sia-sia dan merasa cukup dengan menerima apa yang telah tertulis dalam kitab-kitab madzhab tanpa penelitian. Dengan begitu, menghilanglah kegiatan yang dulu merupakan gerakan takhrij, tarjih, dan tanzhim dalam madzhab fiqh. Peminat fiqh hanya mempelajari kitab yang ditulis seorang faqih tertentu di antara tokoh-tokoh madzhabnya. Ia tidak melihat kepada syari’at dan fiqh kecuali melalui tulisan dalam kitab itu, sesudah sebelumnya mempelajari al-Qur’an, al-Sunnah, pokok-pokok dan maksud-maksud syara’.

Pasal ini akan memperlihatkan karakteristik zaman ini dari segi karya-karya ilmiah yang lahir waktu itu dan dari segi kecenderungan pemikiran. Kita akan mengakhiri dengan melacak sebab-sebab timbulnya stagnasi pemikiran ini.

Karakteristik Zaman Stagnasi: Tradisi Mensyarah Kitab

Setelah keempat imam madzhab ahl al-Sunnah meninggal dunia, fiqh memasuki zaman tadwin (kodifikasi). Berbagai ilmu Islam dibukukan dan tidak disampaikan secara lisan lagi. Penafsiran al-Qur’an, hadits, ilmu ushul al-fiqh, dan fiqh para imam madzhab disusun dalam buku. Dalam penafsiran al-Qur’an misalnya, para ulama menghimpun hadits-hadits Nabi saw, baik yang lemah maupun yang kuat, serta menghimpun penafsiran para sahabat, tabi’in, dan para mujtahid. Mereka menulis buku-buku yang lebih merupakan ensiklopedia atau kamus dari pada analisis ilmiah. Pada masa inilah berkembang al-tafsir bi al-ma’tsur. Hadits-hadits dibukukan dalam bentuk al-jawami’, al-masanid, al-ma’ajim, al-mustadrakat dan sebagainya. Bersamaan dengan itu, dibukukan pula riwayat para perawi hadits, ilmu jarh wa ta’dil dan riwayat para sahabat. Para pengikut membukukan fatwa-fatwa dan hasil ijthad para mujtahid tersebut.

Gerakan tadwin, di satu sisi menyimpan khazanah ilmu para ulama; tapi di sisi lain menyebabkan para ulama merasa cukup dengan apa yang telah tersedia. Mereka tak merasa perlu melakukan penelitian ulang. Perlahan-lahan berkembanglah tradisi membuat syarah (komentar) dan matan. Maksudnya untuk memudahkan pembaca memahami kitab-kitab rujukan. Mereka menjelaskan kata-kata atau kalimat-kalimat secara sematik, atau menambahkan penjelasan dengan mengutip ucapan para ulama lain. Tidak jarang syarah suatu kitab disyarahi dan disyarahi lagi. Untuk Shahih al-Bukhari, sepanjang saya ketahui, paling tidak ada tiga kitab syarah: Fath al-Bary, Irsyad al-Sary, Umdat al-Qary. Ada pula beberapa kitab yang mensyarah al-Muwatha susunan Imam Malik.

Pada zaman ini, juga berkembang tradisi munaqasyah madzhabiyah (diskusi madzhab). Para ulama madzhab Syafi’i menyerang tulisan para ulama madzhab Hanbali atau sebaliknya. Argumentasi dikembangkan untuk membela madzhab masing-masing. Ulama ahl al-Sunnah menulis kitab yang menyerang ajaran Syi’ah. Ulama Syi’ah membalasnya dengan menulis kitab lagi. Atau sebaliknya. Sebagai jawaban terhadap serangan ahl al-Sunnah, al-Hilly menulis Minhaj al-Karamah. Ibn Rouzbahan menulis bantahan pada Minhaj al-Karamah. Bantahan ini dibantah lagi oleh al-Mar’asyi al-Tustary. Sekarang bantahan itu sudah menjadi 19 jilid Ihqaq al-Haq, yang setiap jilidnya seukuran satu jilid Encyclopedia Britannica. Ibn Taymiyah menulis Minhaj al-Sunnah untuk menolak Minhaj al-Karamah. Al-Amini menulis 11 jilid al-Ghadir hanya untuk membuktikan keshahihan hadits Ghadir Khum, yang didhaifkan Ibn Taymiyah. Polemik antar madzhab ini bukanlah sesuatu yang jelek dan telah berlangsung sejak zaman para imam madzhab. Imam Syafi’i, misalnya, melakukan kritik terhadap beberapa pendapat Muhammad ibn al-Hasan al-Syaybany. Tapi pada zaman kemandegan, munaqasyah madzhabiyah telah menjadi benih yang menyuburkan fanatisme madzhab. Setiap madzhab membela pahamnya dengan tidak lagi mengindahkan adab diskusi ilmiah. Sikap ini ditunjukkan jelas oleh al-Syaykh Abu al-Hasan Abdullah al-Karkhy ketika ia berkata, “setiap ayat atau hadits yang bertentangan dengan apa yang ditetapkan madzhab kami, harus dita’wilkan atau dimansukhkan.

Fanatisme Madzhab

Asad Haydar menyebut tahun 645 Hijrah sebagai tahun ditetapkannya empat mazhab sebagai madzhab yang diakui khilafah Islam waktu itu. Para ulama dari keempat madzhab diundang ke istana. Walau begitu, gejala fanatisme madzhab dapat dilacak sejak abad IV Hijrah. Seperti telah disampaikan pada tulisan terdahulu, kekuasaan sangat berperan dalam menyuburkan fanatisme madzhab.

Untuk mempertahankan keunggulan madzhabnya, para pengikutnya meriwayatkan mitos di sekitar para imam madzhabnya. Kadang-kadang riwayat-riwayatnya dinisbahkan pada Nabi Muhammad saw. Konon Nabi Muhammad saw pernah berkata: “Semua nabi bangga denganku dan aku bangga dengan Abu Hanifah. Siapa yang mencintai Abu Hanifah ia mencintaiku, siapa yang membenci Abu Hanifah ia membenciku. Di antara karamah Abu Hanifah ialah bergurunya Nabi Khidr kepadanya. Ia belajar pada Abu Hanifah setiap waktu Subuh selama lima puluh tahun. Ketika Abu Hanifah wafat, Nabi Khidir mohon agar ia diizinkan tetap berguru padanya di alam kubur, supaya ia dapat mengajarkan syari’at Islam secara lengkap. Allah mengizinkannya. Ia kemudian menyelesaikan kuliah dari Abu Hanifah selama 25 tahun lagi. Diriwayatkan oleh para pengikut Maliki bahwa pada paham Imam Malik sudah tertulis Malik Hujatullah di bumi. Tentang Imam Syafi’i, katanya, Rasul Allah saw bersabda: “Ya Allah berilah petunjuk pada suku Quraiysy, karena seorang alimnya akan memenuhi seluruh bumi dengan ilmunya.” Orang alim itu adalah Imam Syafi’i. Mengenai Imam Ahmad bin Hanbal Abdullah al-Sajastany berkata: “Aku pernah melihat Rasul Allah saw dalam mimpi. Aku bertanya: “Ya Rasul Allah, siapakah yang engkau tinggalkan, yang patut kami ikuti di zaman kami?” Rasul Allah saw menjawab: “Aku tinggalkan bagimu Ahmad bin Hanbal.”

Dengan berbagai “keutamaannya” itulah, pengikutnya mensakralkan fatwa para mujtahid. Fatwa mujtahid lebih didulukan dari ayat al-Qur’an dan al-Sunnah. Al-Fakhr al-Razy menceritakan pengalamannya ketika ia menafsirkan: afala yatadabbarun al-Qur’an. Aku pernah menyaksikan sekelompok faqih yang taklid, memandangku dengan heran bila aku bacakan ayat-ayat al-Qur’an tentang beberapa masalah yang bertentangan dengan madzhab mereka. Mereka tidak mau menerimanya bahkan tidak mau menelitinya. Mereka heran bagaimana mungkin mengamalkan zhahirnya ayat-ayat itu, padahal ulama dari madzhab mereka terdahulu tidak pernah mengamalkannya.

Abu Sulayman al-Khaththaby mengisahkan suasana zaman itu: Saya lihat ahli ilmu dewasa itu terbagi menjadi dua kelompok: pendukung hadits dan atsar dan ahli fiqh dan fikir. Padahal keduanya sama-sama dibutuhkan dan tidak bisa ditinggalkan dalam menuju cita-cita kehidupan. Itu karena hadits bagaikan fondasi, sedangkan fiqh bagaikan bangunannya. Setiap bangunan yang fondasinya tidak kokoh, maka akan cepat roboh. Setiap fondasi tanpa bangunan, maka akan sunyi dan lekas rusak. Saya lihat kedua kelompok ini saling berdekatan tempat tinggalnya dan sebetulnya saling membutuhkan. Namun, karena rasa harga diri mereka yang sangat tajam, keduanya menjadi ikhwan yang saling berjauhan: mereka tak menampakkan sikap saling membantu dan menolong di jalan yang hak.

Kedua kelompok itu, pertama, kelompok ahli hadits dan atsar rata-rata berambisi dalam periwayatan, pengumpulan sanad, dan pemisahan hadit-hadits gharib dan syadz –hadits-hadits yang kebanyakan mawadhu’ dan maqlub. Mereka tidak memelihara matannya, tidak memahami maknanya, tidak menggali rahasianya, dan tidak mengungkapkan kandungan fiqhnya.

Kadang-kadang mereka mencela para fuqaha, mencacad mereka dan menuduhnya menyalahi sunnah. Mereka tidak sadar bahwa kadar keilmuannya sendiri sangat dangkal dan mereka berdosa melemparkan kata-kata kotor pada para fuqaha.

Sedangkan kelompok kedua, yakni ahli fiqh dan fikir, kebanyakan tidak memilih-milih hadits, kecuali sebagian kecil. Mereka hampir tidak bisa membedakan hadits yang shahih dan hadits yang dhaif, yang bagus dan yang buruk. Mereka tidak mempedulikan hadits-hadits yang dikuasai dan yang digunakan untuk mempertahankan argumentasinya di hadapan lawan bila hadits-hadits tersebut telah sesuai dengan madzhab yang mereka ikuti dan pendapat yang mereka yakini. Mereka sepakat menerima hadits dhaif dan munqathi’ bila telah masyhur di kalangan mereka dan telah membibir dalam percakapan mereka, walau tidak didukung satu dalil pun atau tidak meyakinkan. Yang demikian adalah suatu kesesatan dan penipuan ra’yu.

Apabila diriwayatkan pada mereka hasil ijtihad para tokoh madzhab mereka atau para ahli dari aliran mereka, mereka segera mencari kepercayaan umat terhadapnya, namun mereka tidak ikut bertanggungjawab.

Saya lihat para pendukung Malik tidak menerima riwayat dari padanya kecuali yang melalui Abu al-Qasim (Rasul Allah), ashhab (para sahabat), dan para pendahulu yang setingkat dengan mereka. Maka pendapat yang datang dari Al-Hakam tidak memiliki keistimewaan di mata mereka. Mereka mau menerima riwayat dari padanya kecuali yang melalui Abu Yusuf, Muhammad ibn al-Hasan dan para tokoh sahabat serta murid-muridnya yang lain. Bila pendapat itu datang dari al-Hasan ibn Ziyad dan pendapatnya berbeda dengan riwayat yang melalui mereka, mereka tidak akan menerima. Begitu juga para pengikut al-Syafi’i. Mereka hanya menerima riwayat al-Muzany dan al-Raby ibn Sulayman al-Murady. Maka bila datang riwayat Harmalah, al-Jiziy dan sebagainya, mereka tak memperhatikan dan tak menganggapnya sebagai pendapat al-Syafi’i.

Demikianlah keumuman sikap setiap kelompok terhadap madzhab imam dan gurunya masing-masing.

Fanatisme madzhab bukan saja telah menghambat pemikiran, menghancurkan otak-otak cemerlang, tapi juga menimbulkan perpecahan di kalangan kaum Muslim. Dalam sejarah, telah terjadi beberapa kali, mereka saling mengkafirkan yang kemudian memuncak pada peperangan antar sesama Muslim. Sebagai contoh adalah peristiwa yang terjadi di Baghdad, 469 Hijrah.

Pada madrasah Nizhamiyah, Ibn al-Qusyayry al-Syafi’i memegang kekuasaan. Ia selalu mengecam Ahmad ibn Hanbal dan para pengikutnya sebagai penganut antropomorfisme. Dengan bantuan penguasa ia menyerang pemimpin Hanbaly, Abd al-Khaliq ibn Isa. Pengikut al-Qusyayry menutup pintu-pintu pasar madrasah Nizhamiyah. Lalu, terjadilah pertumpahan darah antara kedua golongan. Pemerintah kemudian mengumpulkan wakil kedua belah pihak dan meminta supaya mereka berdamai. Al-Qusyayry berkata: “Perdamaian macam apa yang harus ada diantara kami? Perdamaian terjadi di antara orang yang memperebutkan kekuasaan atau kerajaan. Sedangkan kaum ini menganggap kami kafir dan kami menganggap orang-orang yang aqidahnya tidak sama dengan kami juga kafir. Maka perdamaian macam apa yang bisa berlaku di antara kami.”

Penutupan Pintu Ijtihad

Walau ada pembagian ijtihad yang bermacam-macam, kita dapat mengelompokkan dua macam ijtihad: ijtihad muthlaq dan ijtihad fi al-madzhab. Pada ijtihad muthlaq, seorang mujtahid mengembangkan metode ijtihadnya secara mandiri dan mengeluarkan hukum-hukum berdasarkan metodenya itu. Yang dapat melakukan ijtihad jenis ini disebut mujtahid mustaqil (mujtahid independen). Menurut para pengikut madzhab Syafi’iy dan kebanyakan Hanafi, ijtihad mustaqil sudah tertutup. Namun sebaliknya menurut kebanyakan Hanbaly, setiap zaman tak boleh kosong dari mujtahid mustaqil. Sementara itu menurut Maliky, meski pada tiap zaman boleh saja tak ada mujtahid mustaqil, tapi tak boleh tidak harus ada mujtahid fi al-madzhab.

Demikian catatan Abu Zahrah tentang tertutupnya pintu ijtihad. Namun kenyataannya, di zaman kemandegan pintu ijtihad, yang ditutup adalah ijtihad muthlaq. Adapun ijtihad fi al-madzhab, terus berkembang. Di sini mujtahid berpegang pada metode ijtihad imam mazhabnya, tapi boleh saja menghasilkan kesimpulan furu’iyyah yang berbeda dari imam mazhabnya. Dalam hal ini, ia tentu saja masih menggunakan fatwa imam mazhabnya sebagai rujukan. Karena itu, ia disebut mujtahid muntasib, mungkin karena ia berijtihad dengan metode yang sama untuk menjawab masalah-masalah yang belum dipecahkan imam mazhabnya; atau menafsirkan yang mujmal menjelaskan yang mubham dari ucapan imam, atau mentarjih (memilih yang terkuat) pendapat imam yang bermacam-macam itu.

Sebenarnya, penutupan pintu ijtihad pada saat ini, lebih ditujukan pada ijtihad muthlaq. Walau tak diketahui secara pasti sejak kapan, penutupan pintu ijtihad terjadi karena ada anggapan bahwa tidak ada ulama yang memenuhi persyaratan seperti keempat imam itu. Sebaliknya, menurut Abu Zahrah, di kalangan Syi’ah tidak pernah dikenal tertutupnya pintu ijtihad. Sayyid Rasyid Ridha, mengikuti gurunya Syaikh Muhammad Abduh, mengecam penutupan pintu ijtihad yang mana pun: “Kita tidak menemukan manfaat apa pun dari penutupan pintu ijtihad”. Bahayanya banyak –berakibat pada terbengkalainya akal, terputusnya pengembangan ilmu dan terhalangnya kemajuan pemikiran. Kaum Muslim mundur karena meninggalkan ijtihad sehingga mereka menjadi seperti yang kita lihat sekarang ini.

Sebab-Sebab Stagnasi

DR. Muhammad Farouq al-Nabhan menyebut tiga sebab stagnasi pemikiran pada zaman ini: faktor-faktor politik, campur tangan penguasa dalam kekuasaan kehakiman dan kelemahan posisi ulama dalam menghadapi umara.

Untuk yang pertama, kita ingin menegaskan kembali bahwa madzhab berkembang karena dukungan politik. Maka ketika satu madzhab memperoleh kekuasaan, pemikiran yang bertentangan dengan madzhab itu ditindas. Jika kita membaca kitab-kitab sejarah madzhab, kita akan menemukan bagaimana seseorang yang berbeda madzhab atau berganti madzhab menghadapi berbagai cobaan. Lebih-lebih bila berbeda pendapat dengan madzhab penguasa.

Untuk sebab kedua, telah ditunjukkan bagaimana para ulama berebutan menjadi qadhi. Qadhi diangkat oleh penguasa. Qadhi tidak ingin mengambil risiko berbeda pendapat dengan madzhabnya, karena ia dapat dikucilkan oleh masyarakat, didiskreditkan ulama dan diadukan pada penguasa. Karena itu, yang paling aman adalah mengikuti pendapat para imam mazhab yang sudah dibukukan. Di sini harus dicatat: dalam sejarah, para penguasa Muslim lebih sering menindas kebebasan pendapat dari pada mengembangkannya. Di samping itu, posisi ulama yang lemah memperkuat fanatisme madzhab. Ulama sangat bergantung kepada umara. Umara tentu saja selalu berusaha mempertahankan status quo, demi “ketertiban dan keamanan”.

Dalam posisi seperti itu, kalau pun ulama berijtihad, ijtthadnya hanyalah dalam rangka memberikan legitimasi pada kebijakan penguasa. Contoh terakhir adalah pernyataan para ulama Rabithah yang mendukung kehadiran tentara Amerika di Jazirah Arab. Empat puluh tiga hari sebelum Saddam menyerbu Kuwait, para ulama dari 70 negara Islam menyatakan bahwa Saddam sebagai mujahid Islam yang taat pada Allah dan al-Qur’an. Setelah invasi, para ulama yang sama menyatakan Saddam sebagai bughat dan pemimpin dhalim. Bukankah ini ijtihad dan setiap ijtihad selalu mendapat pahala? Bila ijtihadnya salah, ia mendapat satu pahala, dan bila benar dua.

Abd al-Wahhab Khalaf menyebutkan empat faktor yang menyebabkan kemandegan. Yaitu terpecahnya kekuasaan Islam menjadi negara-negara kecil hingga umat disibukkan dengan eksistensi politik; terbaginya para mujtahid berdasarkan madrasah tempat mereka belajar; menyebarnya ulama mutathaffilin (ulama yang memberi fatwa berdasarkan petunjuk Bapak); dan menyebarnya penyakit akhlak seperti hasud dan egoisme di kalangan ulama.

Fiqh Ditelaah Kembali: Fiqh Kaum Pembaru

“Yahya memberitakan kepadaku dari Malik dari Ibn Syihab. Ia ditanya tentang menyusui orang dewasa. Ia berkata: ‘Urwah bin Zubair mengabarkan kepadaku bahwa Hudzaifah bin ‘Utbah bin Rabi’ah –salah seorang sahabat Nabi saw yang ikut menyaksikan perang Badar– telah mengangkat Salim sebagai anaknya. Sehingga ia disebut Salim mawla Abu Hudzaifah, sebagaimana Rasulullah saw mengangkat Zaid ibn Haritsah sebagai anak. Abu Hudzaifah menikahkan Salim –yang dipandang sebagai anaknya itu– dengan anak saudara perempuannya Fathimah bint al-Walid bin ‘Utbah bin Rabi’ah. Waktu itu ia termasuk wanita muhajirat yang awal dan gadis Quraysy yang utama. Ketika Allah menurunkan ayat dalam Kitab-Nya tentang Zaid ibn Haritsah –panggillah mereka dengan nama bapak-bapak mereka. Itu lebih adil di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka mereka adalah saudaramu dalam agama dan mawla-mawla kamu –maka dikembalikanlah setiap orang di antara mereka itu kepada bapaknya. Bila tidak diketahui bapaknya, dikembalikan kepada mawlanya. Sahlan binti Suhail –istri Hudzaifah dari Bani Amir– datang menemui Rasulullah saw dan berkata: “Ya Rasul Allah, kami menganggap anak kepada Salim. Ia sering masuk ke rumahku dan aku dalam keadaan fudhul (memakai busana rumah yang tidak menutup aurat). Kami hanya mempunyai rumah satu, bagaimana menurut Anda? Rasulullah saw. berkata kepadanya: “Susukanlah dia lima kali susuan sehingga ia menjadi muhrim dengan susunya”. Setelah itu ia memandangnya sebagai anak susuan. Aisyah mengambil cara ini bila ada laki-laki yang ingin masuk ke rumahnya. Ia menyuruh saudaranya, Umu Kultsum binti Abu Bakar al-Shiddiq dan anak-anak perempuan saudaranya untuk menyusukan laki-laki yang ingin masuk ke rumahnya. Istri-istri Nabi saw yang lain menolak untuk mengizinkan laki-laki masuk ke rumah dengan susuan seperti itu. (Malik, Al-Muwatha 2: 115-116)

Contoh lain: “Seorang A’raby meminum minuman ‘Umar. (Ia mabuk) dan ‘Umar menetapkan hukum cambuk baginya. Orang A’raby itu berkata: Aku minum dari minumanmu. ‘Umar meminta minumannya itu, lalu mencampurkan air ke dalamnya, kemudian meminumnya. Ia berkata: Siapa yang ragu untuk meminumnya, campurkan air ke dalamnya. Ibrahim al-Nakhti meriwayatkan hadits yang sama dari ‘Umar dan berkata: ‘Umar meminumnya setelah mencambuk orang A’raby itu. (Al-Jashash, Ahkam al-Qur’an 2:565).

Dua peristiwa di atas diambil dari kitab-kitab yang menjadi rujukan dalam menjawab masalah-masalah fiqhiyah. Dari peristiwa yang pertama para faqih menyimpulkan beberapa hukum: (1) Batas susuan yang menyebabkan seorang haram dinikahi adalah lima kali susuan; (2) Tidak boleh laki-laki yang bukan muhrim memasuki rumah seorang perempuan, kecuali bila laki-laki itu saudara sepesusuan; (3) Dianjurkan menyusukan orang yang sudah dewasa supaya ia halal masuk ke rumah seorang perempuan.

Kesimpulan terakhir ini telah disepakati fuqaha. Mereka mempersoalkan cara menyusukan itu. Bagaimana mungkin Nabi saw menghalalkan sesuatu dengan tindakan yang haram? (Bukankah bersentuhan dengan perempuan yang bukan muhrim itu haram, apalagi menyusu kepadanya?). Mungkinkah ini hanya fiqhnya ‘Aisyah. Bukankah istri-istri Nabi saw yang lain menolaknya? Bukankah pada kitab hadits yang sama Umar ibn Khatab dan Abdullah ibn Mas’ud hanya membenarkan susuan pada waktu kecil saja?

Peristiwa yang kedua dijadikan dalil oleh sebagian pengikut madzhab Hanafi untuk menghalalkan minuman keras (khususnya Nabi) bila dicampur dengan air. Tentu saja fuqaha mazhab-mazhab yang lain menolaknya. Dengan merujuk pada hadits yang mengharamkan minuman keras –baik sedikit maupun banyak mereka telah membenarkan halalnya minuman keras karena dicampur air. Yang kemudian menjadi persoalan adalah tindakan ‘Umar. Apakah perilaku ‘Umar dapat dijadikan model dalam pengambilan kesimpulan hukum? Apakah pendapat para sahabat dapat dijadikan hujjah dalam agama? Apakah tindakan ‘Umar itu suatu preseden bolehnya meninggalkan nash-nash syari’at bila kondisi berubah?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan problema yang dihadapi para pembaru Islam ketika mereka menelaah kembali fiqh yang ada. Yang dipersoalkan bukan hanya penafsiran nash-nash tetapi juga metode pengambilan keputusan. Dalam istilah fiqh, yang harus ditinjau bukan saja al-adillat al-syar’iyat, tetapi juga ushul al-fiqh. Dari fenomena tersebut, ternyata “Kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah” tidak segampang seperti yang dibayangkan.

Slogan yang di Indonesia didengungkan kaum modernis ini, sebetulnya hanyalah salah satu aliran peninjauan kembali fiqh, setelah orang merasa perlu membuka kembali pintu ijtihad. Aliran tersebut sebenarnya adalah skripturalisme, yaitu aliran yang berpegang kepada teks-teks syari’at secara kaku. Arkoun menyebut aliran ini logosentrisme yang ia gambarkan sebagai berikut:

Di samping aliran ini ada aliran yang sangat menekankan rasio (akal), yaitu liberalisme. Aliran ini tak lagi terikat dengan bunyi teks, tapi berusaha menangkap menurutnya, makna hakiki dari teks. Makna ini dianggap sebagai ruh ajaran Islam, tema umum Islam, maqashid syar’iyah dan sebagainya. Skripturalisme dan liberalisme keduanya berusaha mendobrak kebekuan pemikiran Islam; sekaligus merupakan fiqh baru yang dapat menjawab masalah-masalah baru akibat perubahan masyarakat. Berbagai upaya rekonstruksi fiqh di dunia Islam sekarang ini berangkat dari kedua aliran tersebut. Karena itu, dalam upaya menelaah kembali fiqh, kita harus memulai dengan menyorot kedua aliran ini secara kritis dibahas skriptularisme.

Latar Belakang Skripturalisme

Seperti diketahui dalam fiqh tabi’in, ada dua aliran besar dalam fiqh Islam: ahl al-Ra’y dan ahl al-Hadits. Yang pertama menekankan rasio dalam pengambilan keputusan. Yang kedua berdasarkan fiqh pada hadits walaupun lemah dan menolak penggunaan rasio. Mazhab-mazhab fiqh terletak di antara kedua ekstrim itu. Yang paling dekat dengan ahl al-ra’y adalah madzhab Hanafi; dan yang paling dekat dengan ahl al-hadits adalah mazhab Hanbali.

Imam Ahmad ibn Hanbal, yang mengumpulkan ribuan hadits dalam musnadnya, memang lebih terkenal sebagai ahli hadits dari pada ahli fiqh. Ibn Qutaybah memasukkan Ahmad di antara muhadditsin dan Ibn Jarir al-Thabari menolak Ahmad sebagai ahli fiqh. Semuanya terjadi karena Ahmad mendasarkan mazhabnya pada hadits Rasulullah saw (meski lemah), fatwa para sahabat, dan menolak qiyas kecuali dalam keadaan terpaksa. Jadi fiqhnya selalu merujuk pada nash-nash al-Qur’an atau hadits.

Karena itu, tugas ahli fiqh hanyalah mencari nash yang relevan. Pada Ibn Hazm, dan terutama sekali pada Daud al-Zhahiri, kesetiaan pada teks sangat ekstrem. Mereka menolak ta’wil dan menerima hadits secara harfiyah. Ibn Taymiyah memperkuat gerakan anti rasionalisme ini dengan menolak setiap penggunaan logika dalam khazanah ilmu-ilmu Islam dan sekaligus menolak praktek-praktek yang tidak ada dasarnya dalam teks al-Qur’an dan hadits. The Encyclopedia of Islam menyebut Ibn Taymiyah sebagai the bitter enemy of innovations.

Paham Ibn Taymiyah dihidupkan kembali oleh Muhammad ibn Abd al-Wahab lima abad kemudian. Seperti Ibn Taymiyah, ia mencela kaum mutakallim, filsuf dan sufi. Dalam kalimat W.C. Smith, Muhammad ibn Abd al-Wahab menolak “the corruption and laxity of the contemporary decline, the introvert warmth and other wordly pety of the mystic way, …the alien intellectualism not only of philosophy but also theology” (Smith, 1968:42).

Raja Malik ibn Abd al-Aziz, ketika menyampaikan khutbahnya di Makkah tahun 1355, berkata: “Madzhab kami mengikuti dalil, bila ada; bila tidak ada, dan yang ada hanya ijtihad, kami mengikuti ijtihad Ahmad ibn Hanbal: (Mughniyah, 1987:95). Paham ini, yang kemudian menjadi paham resmi Arab Saudi, mempengaruhi banyak aliran pembaharuan di seluruh dunia. Mereka melihat masa Salaf sebagai model, dan kembali kepada al-Qur’an dan hadits sebagai satu-satunya jalan untuk memecahkan segala persoalan Islam.

Kegagalan Skripturalisme

Keyakinan bahwa kesetiaan pada teks al-Qur’an dan hadits cukup untuk memecahkan persoalan ternyata hanya simplikasi. Pada saat yang sama, menurut Fazlur Rahman, “since the leaders of these movements were interested in negating some of the influences of the medieval school of islamic thought and law, they inevitably took a negative attitude toward the intellectual and spiritual developments that had taken place in the intervening centuries” (Rahman, 1981:26).

Ada beberara kegagalan skripturalisme. Pertama, dalam aqidah. Karena skriptualisme menerima teks-teks al-Qur’an dan hadits dengan apa adanya, mereka menetapkan keharusan percaya bahwa Ia turun ke langit dunia, mengobrol dengan ahli surga, duduk di atas ‘arasy, tertawa dan sebagainya. Dengan menolak ta’wil, mereka telah mematikan telaah filosofis. Filsafat bukan saja dijauhi, tetapi juga dikafirkan. Wacana teologi menjadi gersang.

Kedua, skriptualisme menyingkirkan pengalaman mistikal dari kehidupan beragama. Kaum sufi, yang mencoba menangkap makna batiniyah dari nash-nash, dianggap sesat. Praktek-praktek keagamaan yang tidak secara spesifik ditunjukkan dalam nash, dianggap bid’ah. Selanjutnya, yang disebut bid’ah adalah apa saja yang tidak merujuk pada dalil yang telah dipilihnya. Qunut pada shalat Subuh, membaca dzikir bersama, membaca shalawat kepada Nabi saw, mengucapkan doa yang tidak ma’tsur, –dan di Indonesia– menyelenggarakan upacara tahlilan dan marhabanan dianggap tidak mengikuti sunnah Rasulullah saw (dalam bahasa orang awam, tidak ada contohnya dari Nabi saw). Padahal, saya kira, bukan tidak mengikuti sunnah, tetapi tidak berdasarkan dalil yang disetujui mereka. Tidak ada maksud saya –dan bukan tempatnya di sini– untuk merinci dalil-dalil orang-orang yang mempraktekkan upacara-upacara agama tersebut. Dengan menyingkirkan mistisisme, kaum skripturalis telah menghilangkan pengalaman beragama (religious experiences) yang emosional. Para pengikutnya tidak lagi “menikmati” agama dan sebagian mengalami ketidakpuasan rohaniah.

Ketiga, skripturalisme, karena menolak wacana intelektual, mudah mendorong orang ke arah fanatisme. Madzhab yang lain akan dianggap menyimpang dari al-Qur’an dan sunnah. Dalam skala makroskopis, paham ini melahirkan orang-orang yang wawasannya sempit, tapi merasa faqih. Pada tahap institusional, orang-orang awam tidak merasa perlu lagi dengan kehadiran fuqaha. Bukankah segala persoalan dapat diselesaikan dengan merujuk pada dalil-dalil al-Qur’an dan hadits. Muncullah para “mujtahid” yang tidak berkualifikasi. Mereka membentuk kelompok-kelompok, yang memuncak pada fragmentasi umat.

Keempat, skripturalisme terbukti tidak menjawab berbagai masalah kontemporer. Salah satu contoh adalah perbincangan tentang zakat profesi atau pekerjaan-pekerjaan yang tidak diwajibkan zakat padanya. Sebagian di antara mereka akhirnya menggunakan qiyas juga, tetapi tanpa aturan yang konsisten. Sebagian kaum modernis di Indonesia, yang menolak qiyas, menggunakannya dalam menjelaskan zakat profesi. Ada yang mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat pertanian; zakat emas dan perak; dan zakat perdagangan.

Terakhir, kelima, skripturalisme tidak dapat menyelesaikan kemusykilan-kemusykilan yang terjadi ketika melakukan istidlal (memberikan dalil-dalil hukum) dari nash-nash. Al-masail al-lafzhiyah –seperti makna lughawi, makna ‘urfi (kebiasaan), makna haqiqi dan majazi, makna ‘am dan khash dan sebagainya; mukhtalaf al-hadits; penentuan keshahihan hadits; qawaid ushul al-fiqh dan masalah-masalah lain yang berkaitan dengan penafsiran nash tidak mendapat perhatian.

Akibat kegagalan skripturalisme tersebut, orang tidak memberikan solusi terhadap segala kemusykilan ini. Tulisan ini hanya ingin mengingatkan kita akan pentingnya penilaian kritis terhadap pendekatan pada fiqh. Kritik terhadap skripturalisme sama sekali tidak dimaksudkan untuk membela liberalisme. Pada gilirannya, liberalisme juga sangat rentan terhadap berbagai problem. Melalui studi kritis terhadap keduanya, kita dapat merumuskan kaidah-kaidah baru dalam menegakkan fiqh yang lebih relevan dan signifikan. []


Sumber : tuban.wordpress.com

0 Comments:

Post a Comment



Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template