Minggu, 07 Juni 2009

Fiqih Tabi'in

Sejak zaman sahabat (dan ini diakui para sahabat sendiri) telah terjadi perubahan-perubahan dalam syari’at Islam. Suatu ketika seorang tabi’in, Al-Musayyab memuji Al-Barra bin ‘Azib: “Beruntunglah Anda. Anda menjadi sahabat Rasulullah saw. Anda berbaiat kepadanya di bawah pohon.” Al-Barra menjawab, Hai anak saudaraku, engkau tidak tahu hal-hal baru yang kami adakan sepeninggal Rasulullah. [42] Kata ma ahdatsna (apa-apa yang kami adakan) menunjukkan pada perbuatan bid’ah yang dilakukan para sahabat Nabi. Diriwayatkan bahwa pada hari kiamat ada rombongan manusia yang pernah menyertai Nabi diusir dari al-haudh (telaga). Nabi saw: “Ya Rabbi, mereka sahabatku. Dikatakan kepadanya: Engkau tak tahu apa-apa yang mereka ada-adakan sepeninggal kamu. [43]

Bid’ah-bid’ah ini telah mengubah sunnah Rasulullah saw. Sebagian sahabat mulai mengeluhkan terjadinya perubahan ini. Imam Malik meriwayatkan dari pamannya Abu Suhail bin Malik, dari bapaknya (seorang sahabat). Ia berkata: Aku tidak mengenal lagi apa-apa yang aku lihat dilakukan “orang” kecuali panggilan shalat. Al-Zarqani mengomentari hadits ini: Yang dimaksud “orang” adalah sahabat. Adzan tetap seperti dulu. Tidak berubah, tidak berganti. Ada pun shalat, waktunya telah diakhirkan, dan perbuatan yang lain telah berubah. [44] Imam Syafi’i meriwayatkan dari Wahab bin Kaysan. Ia melihat Ibn Zubair memulai shalatnya sebelum khutbah, kemudian berkata: Semua sunnah Rasulullah saw sudah diubah, sampai shalat pun. [45] Kata Al-Zuhri: Aku menemui Anas bin Malik di Damaskus. Ia sedang menangis. “Mengapa Anda menangis,” tanya Al-Zuhri. Anas menjawab, “Aku sudah tidak mengenal lagi apa yang aku lihat, kecuali shalat. Ini pun sudah dilalaikan orang”. [46] Al-Hasan al-Bashri menegaskan: “Seandainya sahabat-sahabat Rasulullah saw lewat, mereka tidak mengenal kamu (yang kamu amalkan) kecuali kiblat kamu”. [47] ‘Umran bin al Husain pernah shalat di belakang Ali. Ia memegang tangan Muthrif bin Abd Allah dan berkata: Ia telah shalat seperti shalatnya Muhammad saw. Ia mengingatkan aku pada Shalat Muhammad saw. [48]

Jadi pada zaman sahabat pun, sunnah Nabi sudah banyak diubah. Salah satu sebab utama perubahan adalah campur tangan penguasa. Karena pertimbangan politik, Bani Umayyah telah mengubah sunnah Nabi, khususnya yang dijalankan secara setia oleh Ali dan para pengikutnya. Ibn ‘Abbas berdoa: Ya Allah, laknatlah mereka. Mereka meninggalkan sunnah karena benci kepada Ali. [49] Contohnya, menjaharkan basmalah, sebagai upaya menghapus jejak Ali. [50] Contoh yang lain adalah sujud di atas tanah, yang menjadi tradisi Rasulullah saw dan para sahabat Nabi seperti Abu Bakar, Ibn Mas’ud, Ibn ‘Umar, Jabir ibn Abdullah dan lain-lain. Dalam perkembangannya, sujud di atas kain menjadi syi’ar Ahl al-Sunnah; sedangkan sujud di atas tanah dianggap musyrik dan dihitung sebagai perbuatan zindiq”. [51]

Contoh-contoh di atas menunjukkan bagaimana campur tangan kekuasaan politik membentuk fiqh. Karena fiqh lebih banyak didasarkan pada al-hadits, penguasa politik kemudian melakukan manipulasi hadits dengan motif politik. Fiqh Tab’in, selain mengambil hadits sebagai sumber hukum, juga mengambil ijtihad para sahabat. Sebab itu, kita juga akan mengupas kemusykilan ijtihad sahabat. Karena pendapat-pendapat para sahabat terbagi dua –yang berpusat pada al-hadits dan al-ra’y– kita akan membicarakan juga tradisi fiqh al-atsar dan fiqh al-ra’y. Secara keseluruhan, kita lebih banyak menelaah ushul ketimbang fiqh. Hal ini disebabkan ushul adalah sandaran para tabi’in; dan karenanya secara singkat ia disebut Fiqh al-ushul. Sebelum membahas itu semua, marilah kita lihat sedikit latar belakang fiqh tabi’in.

Apa Yang Dimaksud Dengan Fiqh Tabi’in

Setelah Nabi Muhammad saw meninggal dunia, orang-orang Islam bertanya pada sahabat dalam urusan hukum-hukum agama. Tidak semua sahabat menjawab pertanyaan mereka; dan mereka pun tidak bertanya pada semua sahabat. Sebagian sahabat sedikit sekali memberi fatwa, mungkin karena ketidaktahuan, kehati-hatian, atau lagi-lagi pertimbangan politis. Sebagian lagi banyak sekali memberi fatwa, mungkin karena pengetahuan mereka, atau karena posisinya memungkinkan untuk itu.

Menarik untuk dicatat, bahwa dalam khazanah fiqh ahl al-Sunnah para khalifah sedikit sekali memberi fatwa atau meriwayatkan al-hadits. Abu Bakar meriwayatkan hanya 142 hadits, Umar 537 hadits, Utsman 146 hadits, Ali 586 hadits. Jika semua hadits mereka disatukan hanya berjumlah 1411 hadits, kurang dari 27% hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah (Abu Huraiah meriwayatkan 5374 hadits).

Karena itu, para tabi’in, yakni mereka yang berguru pada sahabat, umumnya bukanlah murid al-Khulafa al-Rasyidin. Dalam pada itu, ketika kekuasaan Islam meluas, hanya sedikit para sahabat yang meninggalkan Madinah. Dalam kaitan ini, Abu Zahrah menulis: [52]

Sebenarnya, sebelum Dinasti Umayyah berkuasa, tidak banyak, bahkan sedikit sekali sahabat yang keluar dari Madinah. Umar bin Khatab menahan para sahabat senior di Madinah dan melarang mereka meninggalkan kota itu. Pertama, ‘Umar ingin mengambil manfaat dari pendapat mereka. Kedua, ia mempertimbangkan alasan-alasan, baik secara politik maupun administratif dalam pemerintahan. Baru ketika Utsman memerintah, mereka diizinkan keluar. Yang keluar kebanyakan bukan fuqaha. Juga bukan sahabat senior, kecuali yang diizinkan keluar oleh Umar, seperti Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari, dan lain-lain. Sahabat yang terkenal punya banyak murid adalah Ibn Mas’ud di Iraq, Abdullah ibn ‘Umar serta ayahnya Al-Faroq, Zaid ibn Tsabit dan lain-lain di Madinah.

Kebanyakan, menurut Abu Zahrah, murid-murid sahabat itu para mawali (non Arab). Fiqh tabi’in, karena itu, umumnya fiqh mawali. Dari sahabat, para tabi’in mengumpulkan dua hal: Hadits-hadits Nabi saw dan pendapat-pendapat para sahabat (aqwal al-shahabat). Bila ada masalah baru yang tidak terdapat pada kedua hal tersebut, mereka melakukan ijtihad seperti atau dengan metode yang dilakukan para sahabat. Banyak diantara tabi’in yang mencapai faqahah (kefaqihan) begitu rupa sehingga sahabat (sic!) berguru pada mereka. Qabus ibn Abi Zhabiyan berkata: Aku tanya ayahku, mengapa Anda tinggalkan sahabat dan mendatangi ‘Alqamah. Ayahku menjawab Aku menemukan sahabat-sahabat Nabi bertanya kepada ‘Alqamah dan meminta fatwanya. Ka’ab al-Ahbar sering dimintai fatwa oleh Ibn Abbas, Abu Hurairah, dan Abdullah ibn Amr. ‘Alqamah dan Ka’ab keduanya tabi’in.

Ada tujuh orang faqih tabi’in yang terkenal (al-fuqaha al-sab’ah): Sa’id ibn Musayyab (wafat 93 H), ‘Urwah ibn al-Zubair (wafat 94 H), Abu Bakar ibn ‘Abid (wafat 94 H), Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar (Wafat 108 H), Abidullah ibn Abdillah (wafat 99 H), Sulayman ibn Yasar (wafat 100 H) dan Kharijah ibn Zaid ibn Tsabit (wafat?). Di samping mereka ada ‘Atha ibn Abi Rabah, Ibrahim al-Nakh’i, Al-Syu’bi, Hamad ibn Abu Sulayman Salim mawla Ibn Umar, dan ‘Ikrimah mawla Ibn Abbas.

Bukti-Bukti Manipulasi Hadits

Di sini tidak ditunjukkan manipulasi hadits kecuali seperti tampak pada kitab-kitab hadits yang ada sekarang. Dari situ paling tidak kita melihat petunjuk (indikator) manipulasi hadits pada zaman tabi’in. Contoh-contoh yang diberikan di sini difokuskan pada manipulasi yang diduga beralasan politis. Ada beberapa cara manipulasi hadits, antara lain sebagai berikut.

Pertama, membuang sebagian isi hadits dan menggantinya dengan kata-kata yang tidak jelas. Ketika Marwan menjadi Gubernur Mu’awiyah di Hijaz, ia meminta rakyat untuk membaiat Yazid. Abd al-Rahman ibn Abu Bakar memprotes Marwan sambil berkata. “Kalian menginginkan kekuasaan ini seperti kekuasaan Heraclius!”. Marwan marah dan menyuruh orang menangkap Abd al-Rahman. Ia lari ke kamar ‘Aisyah ra, saudaranya. Marwan berkata: Ayat al-Qur’an: alladzi qala liwalidaihi uffin lakum turun tentang Abd al-Rahman. ‘Aisyah menolak asbab al-nuzul ini. Shahih Bukhari menghilangkan ucapan Abd al-Rahman dengan mengatakan faqaala ‘Abd al-Rahman ibn ‘Abi Bakar syai’an (Abd al-Rahman mengatakan sesuatu). [53] Dengan cara itu, kecaman kepada Mu’awiyah dan Marwan tidak diketahui. Kehormatan Khalifah dan Gubernurnya terpelihara. Dalam tarikhnya, al-Thabari meriwayatkan ucapan Nabi saw tentang Ali: “Inilah washihu dan khalifahku untuk kamu”. Kata-kata ini dalam Tafsir al-Thabari dan Ibn Katsir diganti dengan: wa kadza wa kadza (demikianlah-demikianlah). Tentu saja kata “washi”dan “khalifah” mempunyai konotasi yang sangat jelas. [54]

Kedua, membuang seluruh berita tentang sahabat dengan petunjuk adanya penghilangan itu. Muhammad ibn Abu Bakar menulis surat kepada Mu’awiyah menjelaskan keutamaan Ali sebagai washi Nabi saw. Mu’awiyah pun mengakuinya. Isi surat ini secara lengkap dimuat dalam Kitab Shiffin dari Nashr bin Mazahim (wafat 212 H) dan Muruj al-Dzahab tulisan al-Mas’udi (wafat 246 H). Al-Thabari (wafat 310 H) melaporkan peristiwa itu dengan menunjuk kedua kitab di atas sebagai sumber. Tetapi ia membuang semua isi surat itu dengan alasan “supaya orang banyak tidak resah mendengarkannya.” Ibn Atsir dalam Al-Bidayah wa al-Nihayah juga menghilangkan kedua surat itu dengan mengemukakan alasan yang sama. [55]

Ketiga, memberikan makna lain (ta’wil) pada hadits. Al-Dzahabi ketika meriwayatkan biografi Al-Nasai menulis, ketika al-Nasai diminta meriwayatkan keutamaan Mu’awiyah, ia berkata, “hadits apa yang harus aku keluarkan kecuali ucapan Nabi, semoga Allah tidak mengenyangkan perut Mu’awiyah”. Kata Al-Dzahabi: Barangkali yang dimaksudkan dengan keutamaan Mu’awiyah ini adalah ucapan Nabi saw: Ya Allah, siapa yang aku laknat atau aku kecam, jadikanlah laknat dan kecaman itu kesucian dan rahmat baginya. [56] Bagaimana mungkin laknat Nabi menjadi kesucian dan rahmat; tetapi Bukhari dan Muslim memang meriwayatkan hadits ini. [57] Al-Thabrani dalam Majma’ al-Zawaid meriwayatkan ucapan Rasulullah saw kepada Salman bahwa Ali adalah washi-nya. Al-Thabrani memberi komentar: Ia menjadikan washi untuk keluarganya, bukan untuk Khalifah.

Keempat, membuang sebagian isi hadits tanpa menyebutkan petunjuk ke situ atau alasan. Ibn Hisyam mendasarkan tarikhnya pada tarikh Ibn Ishaq. “Tetapi aku tinggalkan sebagian riwayat Ibn Ishaq yang jelek bila disebut orang”, kata Ibn Hisyam dalam pengantarnya. Di antara yang dibuang itu adalah kisah “wa andzir ‘asyirataka al-aqrabin”. Dalam Ibn Ishaq diriwayatkan Nabi saw berkata; “Inilah saudaraku, washiku, dan khalifahku untuk kamu.” [58] Belakangan ini Muhammad Husayn Haykal, dalam Hayat Muhammad melakukan hal yang sama. Pada bukunya, cetakan pertama, ia mengutip ucapan Nabi: Siapa yang akan membantuku dalam urusan ini supaya menjadi saudaraku, washiku dan Khalifahku untuk kamu. Pada Hayat Muhammad, cetakan kedua (Tahun 1354), ucapan Nabi saw ini dihilangkan sama sekali.

Kelima, melarang penulisan hadits Nabi saw. Berkenaan dengan ini bagian “Fiqh al-Khulafa’ al-Rasyidin” di atas. Beberapa tabi’in juga melarang penulisan hadits.

Keenam, mendha’ifkan hadits-hadits yang mengurangi kehormatan penguasa atau yang menunjang keutamaan lawan. Ibn Katsir mendha’ifkan riwayat Nabi tentang Ali sebagai Washi. Ia menganggap riwayat itu sebagai dusta, yang dibuat-buat oleh orang Syi’ah, atau orang-orang yang bodoh dalam ilmu hadits. [69] Ia lupa bahwa hadits ini diriwayatkan dari banyak sahabat Nabi oleh Imam Ahmad, Al-Thabari, Al-Thabrani, Abu Nu’aim al-Isbahani, Ibnu ‘Asakir dan lain-lain. Al-Syu’bi meriwayatkan hadits dari Al-Harits al-Hamdani. Ia berkata: menyampaikan padaku Al-Harits, salah seorang pendusta. Ibn Abd al-Barr mengomentari ucapan al-Syu’bi: Ia tidak menjelaskan apa alasan dusta untuk Al-Harits. Ia membenci Al-Harits karena kecintaannya yang berlebihan pada Ali dan mengutamakan Ali di atas sahabat yang lain. Karena itu, wallahu a’lam, Al-Syu’bi mendustakan Al-Harits; Al-Syuibi mengutamakan Abu Bakar, dan bahwa Abu Bakar adalah orang yang pertama masuk Islam.

Lahirnya Madzhab-madzhab Fiqh

Ketika al-Manshur baru saja diangkat menjadi khalifah, ia mengundang Malik ibn Anas, Ibn Sam’an dan Ibn Abi Dzuaib. Ia dikawal para prajurit dengan pedang-pedang terhunus. Setelah berbicara panjang, Khalifah bertanya. “Bagaimana pendapat kalian tentang diriku? Apakah aku pemimpin adil atau zalim?” Malik bin Anas berkata: “Ya Amiral Mu’minin, aku tawassul padamu dengan Allah swt dan aku meminta tolong padamu dengan Muhammad saw dan dengan kekeluargaanmu padanya, maafkanlah aku untuk tidak berbicara.” “Aku maafkan Anda”, kata al-Manshur.

Kemudian ia melirik kepada Ibn Sam’an: “Bagaimana pendapat kamu?” Kata Ibn Sam’an: “Anda, demi Allah, orang yang paling baik. Demi Allah, ya Amir al-Mu’minin, Anda berhaji ke Baitullah; Anda perangi musuh; Anda berikan keamanan di jalan; Anda lindungi orang yang lemah supaya tidak dimakan yang kuat. Andalah tonggak agama, orang terbaik, dan umat teradil.”

Kemudian al-Manshur melirik Ibn Abi Dzuaib. “Atas nama Allah bagaimana pendapatmu tentang diriku?” Yang ditanya menjawab, “Menurut pendapatku, Anda manusia terjahat, demi Allah. Anda merampas harta Allah, RasulNya, dan bagian keluarga Rasul, anak yatim, dan orang miskin. Anda hancurkan yang lemah, Anda persulit orang yang kuat. Anda tahan harta mereka. Apa alasanmu di hadapan Allah nanti?”

“Celaka kamu, tidakkah kamu lihat apa yang ada dihadapanmu?” kata al-Manshur. “Benar, aku lihat pedang dan itu berarti kematian. Bagiku sama saja apakah mati itu dipercepat atau diperlambat.”

Peristiwa di atas, yang dikisahkan Ibn Qutaybah, menunjukkan posisi Malik ibn Anas dibandingkan ulama yang sezaman dengannya. Ibn Abi Dzuaib, nama lengkapnya Abu al-Harit Muhammad ibn Abd al-Rahman ibn al-Mughirah ibn Dzuaib al-’Amiri, adalah seorang alim yang terkenal faqih dan wara. Menurut al-Dahlawi, di samping Malik, Ibn Dzuaib adalah orang yang membukukan hadits di Madinah. Tapi, namanya hampir tidak pernah disebut dalam buku-buku tarikh. Ia lebih berani, dan boleh jadi lebih faqih dari Malik. Namun sekarang hampir tidak ada orang yang mengenalnya.

Sejarah memang hanya memihak yang menang. Fame bestows no favors upon the losers. Malik bin Anas kelak terkenal sebagai pendiri madzhab Maliki, dengan para pengikut yang tersebar di berbagai bagian dunia Islam. Ibn Dzuaib, tentu saja tidak dikenal. Imam Malik menjadi terkemuka setelah al-Manshur memberikan segala kehormatan kepadanya. Ketika naik haji, al-Manshur berkata kepada Malik: “Saya punya rencana untuk memperbanyak kitab yang kau susun ini, yaitu saya salin, dan kepada setiap wilayah kaum Muslim saya kirim satu naskah, serta saya instruksikan agar mereka mengamalkan isinya sehingga mereka tidak mengambil yang lain.” Begitu pula, ketika Harun al-Rasyid berkuasa, ia bermusyawarah dengan Malik untuk menggantungkan al-Muwaththa pada Ka’bah dan memerintahkan orang untuk beramal menurut Kitab itu. Walau Malik menolak rencana kedua khalifah itu, kita tahu bahwa Malik didukung para penguasa.

Masih sezaman dengan Malik dan bahkan Malik pernah berguru kepadanya, adalah faqih dari keluarga Rasulullah saw, Ja’far al-Shadiq. Ia pun hampir tidak dikenal kecuali pada kalangan pengikutnya saja. Malik berkata tentang Ja’far: “Aku pernah berguru pada Ja’far bin Muhammad beberapa waktu. Aku tidak pernah melihatnya kecuali dalam salah satu di antara tiga keadaan: sedang shalat, sedang puasa, atau sedang membaca al-Qur’an. Tidak pernah aku lihat ia meriwayatkan hadits dari Rasulullah kecuali dalam keadaan suci. Ia tak bicara sesuatu yang tak manfaat, dan ia termasuk ulama yang taat beribadah, zuhud, yang hanya takut kepada Allah saja.” Sifat terakhir ini justru menyebabkan Ja’far tidak disenangi penguasa. Fiqhnya “dicurigai” dan para pengamalnya dianiaya.

Seperti akan kita uraikan nanti, sebetulnya banyak madzhab muncul, tetapi karena tidak didukung penguasa, madzhab-madzhab itu akhirnya hilang dari catatan sejarah. Dalam tulisan ini kita akan mencatat beberapa orang tokoh madzhab yang terlupakan. Tapi sebelum itu, kita akan meninjau latar belakang historis dari tumbuhnya madzhab-madzhab fiqh. Pada akhir bagian ini kita akan membicarakan “pokok dan tokoh” madzhab yang masih memiliki banyak pengikut sampai sekarang.

Sejarah Pembentukan Madzhab

Kelima Madzhab yang akan kita bicarakan –Ja’fari, Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali– tumbuh pada zaman kekuasaan dinasti Abbasiyah. Pada zaman sebelum itu, bila orang berbicara tentang madzhab, maka yang dimaksud adalah madzhab di kalangan sahabat Nabi: Madzhab Umar, Aisyah, Ibn Umar, Ibn Abbas, Ali dan sebagainya. Para sahabat dapat dikelompokkan dalam dua besar. Yaitu ahl al-Bayt dan para pengikutnya, juga para sahabat di luar ahl al-Bayt. Ali dan kedua puteranya, Abu Dzarr, Miqdad, ‘Ammar bin Yasir, Hudzaifah, Abu Rafi Mawla Rasulullah, Ummi Salamah, dan sebagainya, masuk kelompok pertama. Sedangkan Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah, Abu Hurairah dan lain-lain masuk kelompok kedua.

Murtadha al-’Askary menyebut dua madzhab awal ini sebagai Madrasah al-Khulafa dan Madrasah Ahl al-Bayt. Kedua madrasah ini berbeda dalam menafsirkan al-Qur’an, memandang sunnah Rasulullah, dan melakukan istinbath hukum. Pada zaman kekuasaan dinasti Umawiyyah, madrasah al-Khulafa bercabang lagi ke dalam dua cabang besar: Madrasah al-Hadits dan Madrasah al-Ra’y. Yang pertama, berpusat di Madinah, melandaskan fiqhnya pada al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijtihad para sahabat, dan sedapat mungkin menghindari ra’yu dalam menetapkan hukum. Yang kedua, berpusat di Iraq, sedikit menggunakan hadits dan lebih banyak berpijak pada penalaran rasional dengan melihat sebab hukum (illat) dan tujuan syara’ (maqashid syar’iyyah).

Sementara itu, Madrasah ahl al-Bayt tumbuh “di bawah tanah” mengikuti para imam mereka. Karena tekanan dan penindasan, mereka mengembangkan esoterisme dan disimulasi untuk memelihara fiqh mereka. Ibn Qutaybah dalam Kitab al-Ikhtilaf menceritakan bagaimana raja-raja Umawiyyat berusaha menghapuskan tradisi ahl al-Bayt dengan mengutuk Ali bin Abi Thalib di mimbar-mimbar, membunuh para pengikut setianya, dan mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan ahl al-Bayt. Tidak jarang sunnah Rasulullah yang sahih ditinggalkan karena sunnah itu dipertahankan dengan teguh oleh para pengikut ahl al-Bayt.

Ibn Taymiyyah menulis perihal tasyabbuh dengan syiah: “Dari sinilah para fuqaha berpendapat untuk meninggalkan al-mustahabbat (yang sunat) bila sudah menjadi syiar orang-orang Syi’ah. Karena walaupun meninggalkannya tidak wajib menampakkannya berarti menyerupai (tasyabbuh) mereka, sehingga sunni tidak berbeda dengan syi’ah. Kemaslahatan berbeda dengan mereka dalam rangka menjauhi dan menentang mereka lebih besar dari kemaslahatan mengamalkan yang musthab itu.” Salah satu contoh sunnah yang dijauhi orang adalah tasthih seperti diceritakan oleh Muhamamd bin ‘Abd al-Rahma yang berkata: “Yang sunnah dalam membuat kubur adalah meratakan permukaan kubur (tasthith). Inilah yang paling kuat menurut madzhab Syaf’i. “Tapi Abu Hanifah dan Ahmad berkata: “Menaikkan permukaan kubur (tasnim) lebih baik, karena tasthih sudah menjadi syi’ar sy’iah.”

Pada periode Umawiyyah, madrasah-madrasah itu tidak melahirkan pemikiran-pemikiran madzhab. Dr. Muhammad Farouq al-Nabhan menjelaskan sebab-sebab berikut: a) Hubungan yang buruk antara ulama dan khulafa. Banyak tokoh sahabat dan tabi’in yang menganggap daulat Umawiyyah ditegakkan di atas dasar yang batil. Para khalifah banyak melakukan hal-hal yang melanggar sunnah Rasulullah saw b) Terputusnya hubungan antara pusat khilafah dengan pusat ilmiah. Waktu itu, pusat pemerintahan berada di Syam, sedangkan pusat-pusat ilmiah berada di Iraq dan Hijaz; c) Politik diskriminasi yang mengistimewakan orang Arab di atas orang bukan Arab. Dinasti Umawiyah memisahkan Arab dan mawali. Kebijakan ini menyebabkan timbulnya rasa tidak senang pada para mawali –yang justru lebih banyak pada daerah kekuasaan Islam. Banyak di antara mereka adalah para sarjana dalam berbagai disiplin ilmu.

Karena itu pada permulaan pemerintahannya, Dinasti Abbasiyah disambut dengan penuh antusias baik oleh mawali maupun pengikut ahl al-Bayt. Di antara mawali itu adalah Abu Hanafi dan di antara imam ahl al-Bayt adalah Ja’far bin Muhammad. Keduanya mengembangkan ajaran mereka pada zaman Abbasiyah.

Imam-Imam Madzhab Yang Terlupakan

Sudah disebutkan di muka, bahwa madzhab-madzhab besar yang kita kenal sekarang –kecuali mazhab Ja’fari– membesar karena dukungan penguasa. Madzhab Hanafi mulai berkembang ketika Abu Yusuf, murid Abu Hanifah, diangkat menjadi qadhi dalam pemerintahan tiga khalifah Abbasiyah: al-Mahdi, al-Hadi, dan al-Rasyid. Al-Kharaj adalah Kitab yang disusun atas permintaan al-Rasyid. Kitab ini adalah rujukan utama madzhab Hanafi.

Madzhab Maliki berkembang di khilafah Timur atas dukungan al-Manshur dan di khilafah Barat atas dukungan Yahya bin Yahya ketika diangkat menjadi qadhi oleh para khalifah Andalusia. Di Afrika, al-Mu’iz Badis mewajibkan seluruh penduduk untuk mengikuti madzhab Maliki. Madzhab Syafi’i membesar di Mesir ketika Shalahuddin al-Ayyubi merebut negeri itu. Madzhab Hanbali menjadi kuat pada masa pemerintahan al-Mutawakkil. Waktu itu al-Mutawakkil tidak mengangkat seorang qadhi kecuali dengan persetujuan Imam Ahmad ibn Hanbal.

Dalam menyimpulkan semua ini, Syah Wali al-Dahlawi menulis: “Bila pengikut suatu madzhab menjadi masyhur dan diberi wewenang untuk menetapkan keputusan hukum dan memberikan fatwa, dan tulisan mereka terkenal di masyarakat, lalu orang mempelajari madzhab itu terang-terangan. Dengan begitu, tersebarlah madzhabnya di seluruh penjuru bumi. Bila para pengikut madzhab itu lemah dan tidak memperoleh posisi sebagai hakim dan tidak berwewenang memberi fatwa, maka orang tak ingin mempelajari madzhabnya. Lalu madzhab itu pun hilang setelah beberapa lama.”

Beberapa madzhab yang hilang itu secara singkat diuraikan sebagai berikut:

1). Madzhab al-Tsawri. Tokoh madzhab ini adalah Abu Abd Allah Sufyan bin Masruq al-Tsawry. Lahir di Kufah tahun 65 H dan wafat di Bashrah tahun 161 H. Imam Ahmad menyebutnya sebagai seorang faqih, ketika Ahmad menyebut dirinya hanya sebagai ahli hadits. Ia berguru pada Ja’far al-Shadiq dan meriwayatkan banyak hadits. Ayahnya termasuk perawi hadits yang di-tsiqat-kan Ibn Ma’in. Berkali-kali al-Manshur mau membunuhnya, tetapi ia berhasil lolos. Ketika ia diminta menjadi qadhi, ia melarikan diri dan meninggal di tempat pelarian. Pahamnya diikuti orang sampai abad IV Hijrah;

2). Madzhab Ibn ‘Uyaiynah. Nama lengkapnya Abu Muhammad Sufyan ibn ‘Uyaiynah wafat tahun 198 H. Ia mengambil ilmu dari Imam Ja’far, al-Zuhry, Ibn Dinar, Abu Ishaq dan lain-lain. Di antara yang mengambil riwayat dari padanya adalah Syafi’i. Ia memberi komentar: “Seandainya tidak ada Malik dan Ibn ‘Uyaiynah, hilanglah ilmu Hijaz. Madzhabnya diamalkan orang sampai abad IV, tetapi setelah itu hilang karena tidak ada dukungan penguasa.

3). Madzhab al-Awza’iy. Pendirinya Abd al-Rahman bin Amr al-Awza’iy adalah imam penduduk Syam. Ia sangat dekat dengan Bani Umayyah dan juga Bani Abbas. Madzhabnya tersisihkan hanya ketika Muhammad bin Utsman dijadikan qadhi di Damaskus dan memutuskan hukum menurut Madzhab Syafi’i Ketika Malik ditanya tentang siapa di antara yang empat (Abu Hanifah, al-Awza’iy, Malik dan al-Tsawry) yang paling benar? Malik berkata: “Al-Awza’iy.” Mazhabnya diamalkan orang sampai tahun 302 H;

4). Madzhab al-Thabary. Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Khalid ibn Ghalib al-Thabary lahir di Thabaristan 224 H dan wafat di Baghdad 310 H. Ia termasuk mujtahid ahl al sunnah yang tidak bertaklid kepada siapa pun. Kata Ibn Khuzaymah: Ia hafal dan paham al-Qur’an; mengetahui betul makna al-Qur’an. Ia faqih, mengetahui sunnah dan jalan-jalannya; dapat membedakan yang sahih dan yang lemah, yang nasikh dan yang mansukh dan paham akan pendapat para sahabat. Tidak diketahui sampai kapan madzhabnya diikuti orang.

5). Madzhab al-Zhahiry. Abu Sulayman Dawud ibn ‘Ali dilahirkan di Kufah tahun 202 H dan hidup di Baghdad sampai tahun 270 H. Madzhabnya berkembang sampai abad VII. Salah seorang muridnya yang masyhur adalah Ibn Hazm. Ia diberi gelar al-Zhahiry karena berpegang secara harfiah pada teks-teks nash. Ia berkembang di daerah Maroko, ketika Ya’qub ibn Yusuf ibn Abd al-Mu’min meninggalkan mazhab Maliki dan mengumumkan perpindahannya ke madzhab al-Zhahiry.

Inilah sebagian di antara tokoh-tokoh madzhab yang tidak lagi dianut secara resmi sekarang ini. Berikut adalah para pemuka madzhab yang terkenal. Karena riwayat hidup mereka sudah disebutkan di atas –kecuali Imam Ja’far– di sini hanya disebutkan beberapa catatan kecil saja. Pokok-pokok pikirannya dalam fiqh akan kita perkenalkan secara singkat.

Imam Ja’far Ibn Muhammad Al-Shadiq (82-140 H)

Ja’far ibn Muhammad ibn Ali ibn Husain (ibn Ali) ibn Fathimah binti Rasulullah saw lahir di Madinah tahun 82 H pada masa pemerintah Abd al-Malik ibn Marwan. Selama lima belas tahun ia tinggal bersama kakeknya, Ali Zainal Abidin keturunan Rasul yang selamat dari pembantaian di Karbela. Setelah Ali wafat, ia diasuh oleh ayahnya Muhammad al-Baqir dan hidup bersama selama sembilan belas tahun.

Ia sempat menyaksikan kekejaman al-Hajjaj, pemberontakan Zaid ibn Ali, dan penindasan terhadap para pengikut madrasah ahl al-Bayt. Ia juga menyaksikan naiknya al-Saffah dan al-Manshur dengan memanipulasikan kecintaan orang pada ahl al-Bayt. Ia juga menyaksikan bahwa para khalifah Abbasiyah tidak lebih baik dari para khalifah Umawiyah dalam kebenciannya kepada keluarga Rasul. Abu Zahrah menulis:

Dinasti ‘Abbasiyah selalu merasa terancam dalam kekuasaannya oleh para pengikut Ali. Kaum ‘Alawi menunjukkan nasab seperti mereka dan memiliki kekerabatan dengan Rasulullah yang tidak dimililki ‘Abbasiy. Orang-orang yang menentang mereka semuanya berasal dari ‘Alawiyyin. Mereka selalu cemas menghadapi mereka. Karena itu, bila para penguasa ‘Abbasiyah melihat ada dakwah ‘Alawi, mereka segera menghukumnya. Bila mereka melihat ada pejabat yang memuji Bani ‘Ali, mereka segera mengucilkannya atau membunuhnya. Mereka tak perduli membunuh orang tak berdosa karena dianggap mengancam pemerintahannya.

Dalam suasana seperti itulah, Imam Ja’far memusatkan perhatiannya pada penyebaran sunnah Rasulullah dan peningkatan ilmu dan akhlak kaum Muslim. Di antara murid-muridnya adalah Imam Malik, al-Tsawry, Ibn ‘Uyaiynah, Abu Hanifah, Syu’bah ibn al-Hajjaj, Fadhail ibn Iyadh, dan ribuan para perawi. Untuk mengetahui pemikiran Imam Ja’far dalam hal fiqh, kita tuliskan percakapannya dengan muridnya selama dua tahun seperti diceritakan Abu Nu’aim:

Abu Hanifah, Ibn Syabramah, dan Ibn Abi Layla menghadap Imam Ja’far. Ia menanyakan Ibn Abi Layla tentang kawannya, yang kemudian dijawab Ia orang pintar dan mengetahui agama. “Bukankah ia suka melakukan qiyas dalam urusan agama?,” tanya Ja’far. “Benar.”

Ja’far bertanya kepada Abu Hanifah: “Siapa namamu?” “Nu’man.”

“Aku tidak melihat Anda menguasai sedikit pun.” Kata Ja’far sambil mengajukan berbagai pertanyaan yang tidak bisa dijawab Abu “Hai Nu’man, ayahku memberitahukan kepadaku dari kakekku bahwa Nabi saw bersabda: Orang yang pertama menggunakan qiyas dalam agama adalah iblis. Karena ketika Allah menyuruhnya bersujud kepada Adam ia berdalih: Aku lebih baik dari dia karena aku Kau buat dari api dan ia Kau buat dari tanah. Barang siapa yang meng-qiyas dalam agama, Allah akan menyertakannya bersama iblis, karena ia mengikutinya dengan qiyas.

Manakah yang lebih besar dosanya, membunuh atau berzinah? “Membunuh.”

“Lalu, mengapa Allah hanya menuntut dua orang saksi untuk pembunuhan dan empat orang saksi untuk zinah.”

“Mana yang lebih besar kewajibannya, shalat atau shawm (puasa)?”

“Shalat”

“Mengapa wanita yang haidh harus mengqadha shawmnya tetapi tidak harus mengqadha shalatnya. Bagaimana kamu menggunakan qiyasmu. Bertaqwalah kepada Allah dan jangan melakukan qiyas dalam agama.”

Dari percakapan di atas kita melihat perbedaan pendekatan hukum di antara dua pemuka madzhab. Di antara karakteristik khas dari madzhab Ja’fari, selain menolak qiyas adalah hal-hal berikut: a) Sumber-sumber syar’iy adalah al-Qur’an, al-Sunnah dan akal. Termasuk ke dalam sunnah adalah sunnah ahl al-Bayt: yakni para imam yang ma’shum. Mereka tidak mau menjadikan hujjah hadits-hadits yang diriwayatkan para sahabat yang memusuhi ahl al-Bayt; b) Istihsan tidak boleh dipergunakan. Qiyas hanya dipergunakan bila ‘illat-nya manshush (terdapat dalam nash). Pada hal-hal yang tak terdapat ketentuan nashnya, digunakan akal berdasarkan kaidah-kaidah tertentu; c) Al-Qur’an dipandang telah lengkap menjawab seluruh persoalan agama. Tugas mujtahid adalah mengeluarkan dari al-Qur’an jawaban-jawaban umum untuk masalah-masalah yang khusus. Karena Rasulullah dan para imam adalah orang yang mengetahui rahasia-rahasia al-Qur’an, penafsiran al-Qur’an yang paling absah adalah yang berasal dari mereka.

Imam Abu Hanifah

Abu Hanifah terkenal sebagai alim yang teguh pendirian. Ia menentang setiap kezaliman. Beberapa kali ia mengkritik al-Manshur secara terbuka. Ketika Muhammad dan Ibrahim dari ahl al-Bayt memberontak, Abu Hanifah mendukungnya. Begitu pula, ketika Imam Zayd melawan penguasa, Abu Hanifah berbay’at kepadanya. Abu Zahrah, penulis biografi Abu Hanifah, menulis: “Sesungguhnya Abu Hanifah itu Syi’ah dalam kecenderungan dan pendapatnya tentang penguasa di zamannya. Yakni, ia melihat bahwa khalifah haruslah diserahkan pada keturunan Ali dari Fathimah; dan bahwa para khalifah yang sezaman dengan mereka telah merampas haknya dan karena itu mereka zalim.”

Sikap Abu Hanifah itu, ditambah hasutan Ibn Abi Layla, menimbulkan kemarahan Al-Manshur. Tapi karena kedudukan Abu Hanifah di masyarakat, Al-Mansur tak dapat membunuhnya tanpa alasan. Lalu ia menjebak Abu Hanifah dengan jabatan qadhi. Ketika Abu Hanifah menolaknya, ia dipenjarakan. Setiap hari, ia dicambuk sepuluh lecutan. Ia mengakhiri hidupnya, menurut satu riwayat, karena diberi makanan beracun.

Abu Hanifah meninggalkan banyak murid. Di antaranya Abu Yusuf, yang kemudian menjadi qadhi dan banyak memasukkan hadits dalam kitab-kitabnya; Muhammad ibn Hasan al-Syaybany, yang pernah berguru pada Malik dan kemudian menggabungkan madrasah hadits dengan madrasah Ra’y; dan Zafr ibn al-Hudzail, yang sangat ekstrem menggunakan qiyas.

Pokok fiqih madzhab Hanafi bersumber pada tiga hal: a) Sumber-sumber naqliyah, yang meliputi al-Qur’an, al-Sunnah, ijma, dan pendapat para sahabat. Abu Hanifah berkata, “Aku mengambil dari al-Kitab, jika aku dapatkan di dalamnya. Bila tidak, aku ambil Sunnah Rasulullah dan hadits-hadits yang sahih, yang disampaikan oleh orang-orang yang dapat dipercaya. Jika tidak aku dapatkan dalam al-Kitab dan Sunnah Rasulullah, aku mengambil pendapat para sahabat yang aku kehendaki dan meninggalkan yang tidak aku kehendaki. Aku tidak keluar dari pendapat sahabat kepada pendapat yang lain. Bila sudah sampai pada tabi’in, mereka berijtihad dan aku pun berijtihad,”, b) Sumber-sumber ijtihadiyah, yaitu dengan menggunakan qiyas dan istihsan. c) Al-A’raf, yakni adat kebiasaan yang tidak bertentangan dengan nash, terutama dalam masalah perdagangan. Abu Hanifah bahkan mengarqurkan beramal dengan ‘urif.

Imam Malik

Pada zaman kekuasaan Ja’far ibn Sulayman tahun 146 H Malik dihukum cambuk. Ia –menurut satu riwayat– mengeluarkan fatwa yang tidak dikehendaki penguasa. Setelah itu, al-Manshur merasa bersalah, di samping ingin berusaha memanfaatkan alim besar ini. Ia tidak mungkin menarik Ja’far dan tidak berhasil mengambil hati Abu Hanifah. Al-Manshur pada musim haji 153 H, meminta maaf kepada Malik atas perlakukan salah seorang penguasanya. Ia memberikan wewenang besar pada Malik untuk mengangkat dan memberhentikan para pejabat yang dipandangnya tidak mampu. Ia juga boleh menghukum mati atau memenjarakan yang dipandangnya bersalah.

Karena wewenangnya ini, Malik menjadi sangat berwibawa. Orang-orang ketakutan berada di majlisnya, karena wibawa Malik. Ketika seorang murid membantah Malik perihal penguburan rambut dan kuku, Malik memukul orang itu dan memenjarakannya Ketika seorang bertanya: “Bagaimana pendapat Anda tentang orang yang berpendapat bahwa al-Qur’an itu makhluk?.” Malik memanggil pengawalnya: “Ia zindiq, bunuh dia.” Orang itu berkata: “Bukan aku yang berkata begitu. Aku hanya melaporkan ucapan orang lain.” Malik menukas: “Tapi aku hanya mendengarnya dari kamu.”

Catatan kecil di atas menunjukkan kekuasaan Malik. Ini sangat berpengaruh pada penyebaran madzhabnya. Madzhab Maliki mendasarkan fiqhnya pada 12 pokok: a) Al-Qur’an: zhahirnya, dalil-nya, mafhum-nya dan illat-nya; b) Al-Sunnah: al-mutawatirah dan al-masyhurah. Bila zhahirnya sunnah bertentangan dengan al-Qur’an, didahulukan al-sunnah; c) Ijma’ penduduk Madinah, ijma’ secara naql. Ijma’ sebelum terbunuhnya Utsman, ijma’ mutaakhir: masing-masing dengan kekuatan hukum yang berbeda; d) Fatwa sahabat; e) Khabar Ahad dan Qiyas; f) Istihsan; g) Mashalih mursalah; h) Sadd al-Dzara’i; i) Mura’at
khilaf al-mujtahidin; j) Istishhab; k) Syar’man qablana.

Imam Syafi’i

Pokok-pokok fiqh Syafi’i ada lima: a) Al-Qur’an dan al-Sunnah; b) al-Ijma’; c) Pendapat sahabat yang tidak ada yang menentangnya; d) Ikhtilaf sahabat Nabi; e) Qiyas.

Imam Hanbali

Pokok-pokok fiqh madzhab Hanbali: a) Al-Nushush; b) Fatwa sahabat; c) Ikhtilaf sahabat; d) Hadits mursal dan dha’if; e) Qiyas. []

Sumber : tuban.wordpress.com

0 Comments:

Post a Comment



Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template