Selasa, 10 Maret 2009

MUtiARA dALaM kEgELaPAn

LAYLAT AL-QADR
Surah Al-Qadr adalah surah ke-97 menurut urutannya di dalam Mushaf. Ia ditempatkan sesudah surah Iqra'. Para ulama Al-Quran menyatakan bahwa ia turun jauh sesudah turunnya surah Iqra'. Bahkan, sebagian diantara mereka, menyatakan bahwa surah Al-Qadr turun setelah Nabi Muhammad saw. berhijrah ke Madinah.
Penempatan dan perurutan surah dalam Al-Quran dilakukan langsung atas perintah Allah SWT, dan dari perurutannya ditemukan keserasian-keserasian yang mengagumkan.
Kalau dalam surah Iqra', Nabi saw. diperintahkan (demikian pula kaum Muslim) untuk membaca dan yang dibaca itu antara lain adalah Al-Quran, maka wajarlah jika surah sesudahnya --yakni surah Al-Qadr ini-- berbicara tentang turunnya Al-Quran dan kemuliaan malam yang terpilih sebagai malam Nuzul Al-Qur'an (turunnya Al-Quran).
Bulan Ramadhan memiliki sekian banyak keistimewaan. Salah satu di antaranya adalah Laylat Al-Qadr -- satu malam yang oleh Al-Quran dinamai "lebih baik daripada seribu bulan".
Tetapi, apa dan bagaimana malam itu? Apakah ia terjadi sekali saja yakni pada malam ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu atau terjadi setiap bulan Ramadhan sepanjang sejarah? Bagaimana kedatangannya, apakah setiap orang yang menantinya pasti akan mendapatkannya? Benarkah ada tanda-tanda fisik material yang menyertai kehadirannya (seperti membekunya air, heningnya malam dan menunduknya pepohonan, dan sebagainya)? Masih banyak lagi pertanyaan yang dapat dan sering muncul berkaitan dengan malam Al-Qadr itu.
Yang pasti, dan ini harus diimani oleh setiap Muslim berdasarkan pernyataan Al-Quran, bahwa "Ada suatu malam yang bernama Laylat Al-Qadr" (QS 97:1) dan bahwa malam itu adalah "malam yang penuh berkah di mana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaan" (QS 44:3).
Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena Kitab Suci menginformasikan bahwa ia diturunkan oleh Allah pada bulan Ramadhan (QS 2:185) serta pada malam Al-Qadr (QS 97:1). Malam tersebut adalah malam mulia, tidak mudah diketahui betapa besar kemuliaannya. Ini diisyaratkan oleh adanya "pertanyaan" dalam bentuk pengagungan, yaitu Wa ma adraka ma laylat Al-Qadr.
Tiga belas kali kalimat ma adraka terulang dalam Al-Quran. Sepuluh di antaranya mempertanyakan tentang kehebatan yang terkait dengan hari kemudian, seperti Ma adraka ma Yawm Al-Fashl, ... Al-Haqqah .. 'illiyyun, dan sebagainya. Kesemuanya itu merupakan hal yang tidak mudah dijangkau oleh akal pikiran manusia, kalau enggan berkata mustahil dijangkaunya. Dari ketiga belas kali ma adraka itu terdapat tiga kali yang mengatakan: Ma adraka ma al-thariq, Ma adraka ma al-aqabah, dan Ma adraka ma laylat al-qadr.
Kalau dilihat pemakaian Al-Quran tentang hal-hal yang menjadi objek pertanyaan, maka kesemuanya adalah hal-hal yang sangat hebat dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal pikiran manusia. Hal ini tentunya termasuk Laylat Al-Qadr yang menjadi pokok bahasan kita, kali ini.
Walaupun demikian, sementara ulama membedakan antara pertanyaan ma adraka dan ma yudrika yang juga digunakan oleh Al-Quran dalam tiga ayat.
Wa ma yudrika la 'alla al-sa'ata takunu qariba (Al-Ahzab: 63)
Wa ma yudrika la'alla al-sa'ata qarib ... (Al-Syura:17)
Wa ma yudrika la allahu yazzakka (Abasa: 3).
Dua hal yang dipertanyakan dengan wa ma yudrika adalah pertama menyangkut waktu kedatangan hari kiamat dan kedua apa yang berkaitan dengan kesucian jiwa manusia.
Secara gamblang, Al-Quran --demikian pula Al-Sunnah-- menyatakan bahwa Nabi saw. tidak mengetahui kapan datangnya hari kiamat, dan tidak pula mengetahui tentang yang gaib. Ini berarti bahwa ma yudrika digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal yang tidak mungkin diketahui walaupun oleh Nabi saw. sendiri. Sedangkan wa ma adraka, walaupun berupa pertanyaan, namun pada akhirnya Allah SWT menyampaikannya kepada Nabi saw., sehingga informasi lanjutan dapat diperoleh dari beliau.
Itu semua berarti bahwa persoalan Laylat Al-Qadr harus dirujuk kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw., karena di sanalah dapat diperoleh informasinya.
Kembali kepada pertanyaan semula, bagaimana tentang malam itu? Apa arti malam Al-Qadr dan mengapa malam itu dinamai demikian? Di sini ditemukan berbagai jawaban.
Kata qadr sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti:
1. Penetapan dan pengaturan sehingga Laylat Al-Qadr dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Pendapat ini dikuatkan oleh penganutnya dengan firman Allah pada surah 44:3 yang disebut di atas. Ada ulama yang memahami penetapan itu dalam batas setahun. Al-Quran yang turun pada malam Laylat Al-Qadr diartikan bahwa pada malam itu Allah SWT mengatur dan menetapkan khiththah dan strategi bagi Nabi-Nya, Muhammad saw., guna mengajak manusia kepada agama yang benar yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia, baik sebagai individu maupun kelompok.
2. Kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia yang tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Kata qadr yang berarti mulia ditemukan dalam ayat ke-91 surah Al-An'am yang berbicara tentang kaum musyrik: Ma qadaru Allaha haqqa qadrihi idz qalu ma anzala Allahu 'ala basyarin min syay'i (Mereka itu tidak memuliakan Allah sebagaimana kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia).
3. Sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surah Al-Qadr: Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Kata qadr yang berarti sempit digunakan oleh Al-Quran antara lain dalam ayat ke-26 surah Al-Ra'd: Allah yabsuthu al-rizqa liman yasya' wa yaqdiru (Allah melapangkan rezeki bagi yang dikehendaki dan mempersempitnya [bagi yang dikehendaki-Nya]).
Ketiga arti tersebut, pada hakikatnya, dapat menjadi benar, karena bukankah malam tersebut adalah malam mulia, yang bila dapat diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan? Namun demikian, sebelum melanjutkan pembahasan tentang hakikat dan hikmah Laylat Al-Qadr, terlebih dahulu akan dijawab pertanyaan tentang kehadirannya, apakah setiap tahun atau hanya sekali, yakni ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu.
Dari Al-Quran kita menemukan penjelasan bahwa wahyu-wahyu Allah itu diturunkan pada Laylat Al-Qadr, tetapi karena umat sepakat mempercayai bahwa Al-Quran telah sempurna dan tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad saw., maka atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam mulia itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang diperoleh oleh malam tersebut adalah karena ia terpilih menjadi waktu turunnya Al-Quran. Pakar hadis, Ibnu Hajar, menyebutkan satu riwayat dari penganut paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda bahwa malam qadr sudah tidak akan datang lagi.
Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama dengan berpegang pada teks ayat Al-Quran serta sekian banyak teks hadis yang menunjukkan bahwa Laylat Al-Qadr terjadi pada setiap bulan Ramadha.n. Bahkan, Rasul saw. menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwa menyambut malam mulia itu secara khusus pada malam-malam gazal setelah berlalu dua puluh hari Ramadhan.
Memang, turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu terjadi pada malam Laylat Al-Qadr, tetapi itu bukan berarti bahwa malam mulia itu hadir pada saat itu saja. Ini juga berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Quran ketika itu turun, tetapi karena adanya faktor intern pada malam itu sendiri. Pendapat tersebut dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata kerja mudhari' (present tense) pada ayat, Tanazzal al-mala'ikat wa al-ruh, kata Tanazzal adalah bentuk yang mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa datang.
Nah, apakah bila ia hadir, ia akan menemui setiap orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu? Tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Namun, dugaan itu --hemat penulis-- keliru, karena itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak. Di sisi lain, ini berarti bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik material, sedangkan riwayat-riwayat demikian tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Dan seandainya, sekali lagi seandainya, ada tanda-tanda fisik material, maka itu pun tidak akan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Laylat Al-Qadr tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Tamu agung yang berkunjung ke satu tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di tempat itu mendambakannya. Bukankah ada orang yang sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya? Demikian juga dengan Laylat Al-Qadr. Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya. Dan itu pula sebabnya Rasul saw. menganjurkan sekaligus mempraktekkan i'tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan.
Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Laylat Al-Qadr datang menemui seseorang, ketika itu malam kehadirannya menjadi saat qadr --dalam arti, saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya pada masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak, dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbit fajar kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian. (Perhatikan kembali makna-makna Al-Qadr yang dikemukakan di atas!).
Syaikh Muhammad 'Abduh pernah menjelaskan pandangan Imam Al-Ghazali tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia. Abduh memberikan ilustrasi berikut:
"Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua macam bisikan, yaitu bisikan baik dan buruk. Manusia seringkali merasakan pertarungan antara keduanya, seakan apa yang terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan ke satu sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang itu menolak, atau yang ini berkata lakukan dan yang itu mencegah, demikian halnya sampai pada akhirnya sidang memutuskan sesuatu.
Yang membisikkan kebaikan adalah malaikat, sedangkan yang membisikkan keburukan adalah setan atau paling tidak penyebab adanya bisikan tersebut adalah malaikat atau setan. Nah, turunnya malaikat, pada malam Laylat Al-Qadr, menemui orang yang mempersiapkan diri menyambutnya berarti bahwa ia akan selalu disertai oleh malaikat sehingga jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Jiwanya akan selalu merasakan salam (rasa aman dan damai) yang tidak terbatas sampai fajar malam Laylat Al-Qadr, tetapi sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian kelak."
Di atas telah dikemukakan bahwa Nabi saw., menganjurkan sambil mengamalkan i 'tikaf di masjid dalam rangka perenungan dan penyucian jiwa. Masjid adalah tempat suci, tempat segala aktivitas kebajikan bermula. Di masjid, seseorang diharapkan merenung tentang diri dan masyarakatnya. Juga, di masjid, seseorang dapat menghindar dari hiruk-pikuk yang menyesakkan jiwa dan pikiran guna memperoleh tambahan pengetahuan dan pengayaan iman. Itulah sebabnya ketika melakukan i'tikaf, seseorang dianjurkan untuk memperbanyak doa dan bacaan Al-Quran, atau bahkan bacaan-bacaan lain yang dapat memperkaya iman dan ketakwaan.
Malam Al-Qadr, yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang diri beliau dan masyarakat. Ketika jiwa beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah Al-Ruh (Jibril) membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga terjadilah perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat manusia.
Dalam rangka menyambut kehadiran Laylat Al-Qadr itu yang beliau ajarkan kepada umatnya, antara lain, adalah melakukan i'tikaf. Walaupun i'tikaf dapat dilakukan kapan saja dan dalam waktu berapa lama saja --bahkan dalam pandangan Imam Syafi'i, walaupun hanya sesaat selama dibarengi oleh niat yang suci-- namun, Nabi saw. selalu melakukannya pada sepuluh hari dan malam terakhir bulan puasa. Di sanalah beliau bertadarus dan merenung sambil berdoa.
Salah satu doa yang paling sering beliau baca dan hayati maknanya adalah: Rabbana atina fi al-dunya hasanah, wa fi al-akhirah hasanah wa qina 'adzab al-nar (Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka). Doa ini bukan sekadar berarti permohonan untuk memperoleh kebajikan dunia dan kebajikan akhirat, tetapi lebih-lebih lagi bertujuan untuk memantapkan langkah dalam berupaya meraih kebajikan yang dimaksud, karena doa mengandung arti permohonan yang disertai usaha. Permohonan itu juga berarti upaya untuk menjadikan kebajikan dan kebahagiaan yang diperoleh dalam kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas dampaknya di dunia, tetapi berlanjut hingga hari kemudian kelak.
Kalau yang demikian itu diraih oleh manusia, maka jelaslah ia telah memperoleh kemuliaan dunia dan akhirat. Karena itu, tidak heran jika kita mendengar jawaban Rasul saw. yang menunjuk kepada doa tersebut, ketika istri beliau 'A'isyah menanyakan doa apa yang harus dibaca jika ia merasakan kehadiran Laylat-Al-Qadr?

WajHu TafSir

METODE TAFSIR TEMATIK

Disepakati oleh para ulama, kecuali beberapa gelintir di antara mereka, bahwa mukjizat utama Al-Quran yang diperhadapkan kepada masyarakat yang ditemui Rasul adalah dari segi bahasa dan sastranya yang mengungguli sastra bahasa yang dikenal masyarakat Arab ketika itu. Hal ini mempunyai pengaruh yang tidak kecil terhadap metode penafsiran Al-Quran. Jika kita telusuri tafsir-tafsir Al-Quran sejak masa Muhammad bin Jarir Al-Thabari (251-310 H) sampai kepada masa Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), kita akan menemui ciri utama yang menghimpun kitab-kitab tafsir tersebut adalah analisis redaksi. Agaknya hal ini merupakan salah satu usaha untuk meletakkan dasar-dasar ilmiah bagi pemahaman umat Islam terhadap kemukjizatan tersebut, setelah ketinggian nilai sastranya tidak lagi dipahami secara instink-fitri (alamiah) oleh orang-orang Arab sekalipun. Ini akhirnya menimbulkan pendapat bahwa redaksi Al-Quran bukanlah sesuatu yang luar biasa, seperti teori Al-Shirfah108 yang dikemukakan oleh Al-Nazam (w. 835 H). Tetapi harus diakui bahwa usaha-usaha ulama untuk menafsirkan Al-Quran dengan metode analisis-redaksi tersebut, bahkan dengan metode komparasi yang kemudian dikembangkan Abu Bakar Al-Baqillani (w. 403 H) dalam rangka kemukjizatannya, juga tidak dapat bertahan lama setelah semakin mundurnya penguasaan sastra dan kaidah-kaidah bahasa orang Arab sendiri.

Beberapa Problem Tafsir

Setelah Tafsir Al-Thabari, dapat dikatakan bahwa kitab-kitab tafsir sesudahnya memiliki corak tertentu yang dirasakan bahwa penulisnya "memaksakan sesuatu terhadap Al-Quran".109 Kalau hal tersebut bukan suatu paham akidah, fiqih, atau tasawuf, maka paling tidak salah satu aliran kaidah bahasa. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada Tafsir Al-Kasysyaf karya Al-Zamakhsyari (467-538 H), atau Anwar Al-Tanzil karya Al-Baidhawi (w. 791 H), atau Ruh Al-Ma'ani karya Al-Alusi (w. 1270 H), atau Al-Bahr Al-Muhith karya Abu Hayyan (w. 745 H), dan sebagainya. Cara-cara yang mereka tempuh itu menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Quran, yang tadinya dipahami secara mudah, menjadi semacam disiplin ilmu yang sukar untuk dicerna. Hal ini dikarenakan kitab-kitab tafsir itu berisikan pembahasan-pembahasan yang mendalam, namun gersang dari petunjuk-petunjuk yang menyentuh jiwa serta menalarkan akal.
Metode yang selama ini digunakan para mufasir sejak masa kodifikasi Tafsir, yang oleh sementara ahli diduga dimulai oleh Al-Farra' (w. 207 H), sampai tahun 1960 adalah menafsirkan Al-Quran ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam mush-haf. Bentuk demikian menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Quran terpisah-pisah dan tidak disodorkan kepada pembacanya secara menyeluruh. Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H/1210 M) misalnya, walaupun menyadari betapa pentingnya korelasi antara ayat, dan dia mengajak para mufasir untuk mencurahkan perhatian kepada hal itu, namun dia sendiri dalam kedua kitab tafsirnya tidak menyinggung banyak tentangnya. Karena perhatiannya tercurah kepada pembahasan-pembahasan filsafat (teologi) dan ilmu falak.
Pembahasan masalah seperti ini mencapai puncaknya di bawah usaha Ibrahim bin 'Umar Al-Biqa'i (809-885 H). Tetapi korelasi di sini ternyata menyangkut sistematika penyusunan ayat dan surat Al-Quran sesuai dengan urutan-urutannya dalam mush-haf, bukan dari segi korelasi ayat-ayatnya yang membahas masalah-masalah yang sama dan terkadang bagian-bagiannya terpencar dalam sekian surat. Di lain segi, maksud pembahasan Al-Biqa'i ini adalah untuk menjelaskan kemukjizatan Al-Quran dari segi sistematika penyusunan ayat-ayat dan surat-suratnya, serta sebab pemilihan suatu redaksi terhadap redaksi lainnya,110 bukan untuk menggambarkan segi-segi petunjuk Al-Quran yang dapat dipetik dan dimanfaatkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Al-Syathibi menjelaskan bahwa satu surat, walaupun dapat mengandung banyak masalah, namun masalah-masalah tersebut berkaitan antara satu dengan lainnya. Sehingga seseorang hendaknya jangan hanya mengarahkan pandangan pada awal surat, tetapi hendaknya memperhatikan pula akhir surat, atau sebaliknya. Karena bila tidak demikian, akan terabaikan maksud ayat-ayat yang diturunkan itu.
"Tidak dibenarkan seseorang hanya memperhatikan bagian-bagian dari satu pembicaraan, kecuali pada saat ia bermaksud untuk memahami arti lahiriah dari satu kosakata menurut tinjauan etimologis, bukan maksud si pembicara. Kalau arti tersebut tidak dipahaminya, maka ia harus segera memperhatikan seluruh pembicaraan dari awal hingga akhir," demikian kata Al-Syathibi.111
Pada bulan Januari 1960, Syaikh Al-Azhar, Mahmud Syaltut, menerbitkan Tafsirnya, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim. Di situ beliau menafsirkan Al-Quran bukan ayat demi ayat, tetapi dengan jalan membahas surat demi surat atau bagian suatu surat, dengan menjelaskan tujuan-tujuan utama serta petunjuk-petunjuk yang dapat dipetik darinya. Walaupun ide tentang kesatuan dan isi petunjuk surat demi surat telah pernah dilontarkan oleh Al-Syathibi (w. 1388 M), tapi perwujudan ide itu dalam satu kitab Tafsir baru dimulai oleh Mahmud Syaltut. Metode ini, walaupun telah banyak menghindari kekurangan-kekurangan metode lama, masih menjadikan pembahasan mengenai petunjuk Al-Quran secara terpisah-pisah, karena tidak kurang satu petunjuk yang saling berhubungan tercantum dalam sekian banyak surat yang terpisah-pisah. Seperti dikemukakan semula bahwa pendapat seseorang tentang sesuatu masalah ditentukan oleh banyak faktor. Nah, kalau kita mengesampingkan sementara pendapat yang keliru yang tidak kurang ditemui dalam sekian banyak kitab tafsir lama, dan karena ketuaannya telah mendapat semacam pengkultusan, dan kita melihat pendapat-pendapat lainnya, maka kita temui pendapat-pendapat yang dapat diterima "pada masanya". Tetapi karena faktor yang dikemukakan di atas, maka pendapat tersebut kini sudah "out of date", dan tidak lagi dapat diterima. Misalnya, penafsiran tentang datarnya bumi, berdasarkan firman Allah pada surat Nuh ayat 19, sebelum ditemukan benua Amerika dan sebelum dibuktikan bumi kita bulat; atau penafsiran tujuh tingkat langit dengan tujuh planet yang mengitari tata surya, yang ternyata tidak hanya tujuh.
Sementara itu, berbarengan dengan perkembangan masyarakat, berbagai problem dan pandangan baru timbul dan perlu ditanggapi secara serius, yang tentunya berbeda dengan problem yang dihadapi oleh masyarakat sebelum kita. Problem dan pemecahan masalah yang dikemukakan oleh Muhammad Rasyid Ridha agaknya sudah tidak relevan dengan keadaan masa kini, atau paling tidak sudah tidak menduduki prioritas pertama dalam perhatian atau kepentingan masyarakat sekarang.
Dapat dibayangkan bagaimana kiranya jika yang disodorkan kepada masyarakat umum adalah masalah-masalah yang menjadi pembahasan ulama Tafsir pada masa sebelum Rasyid Ridha. Tidak syak lagi bahwa manusia yang dibentuk pikirannya dengan uraian-uraian tersebut adalah manusia-manusia abad lalu yang "terlambat lahir".
Metode Mawdhu'iy
Dari sini pula para ahli keislaman mengarahkan pandangan mereka kepada problem-problem baru dan berusaha untuk memberikan jawaban-jawabannya melalui petunjuk-petunjuk Al-Quran, sambil memperhatikan hasil-hasil pemikiran atau penemuan manusia, baik yang positif maupun yang negatif, sehingga bermunculanlah banyak karya ilmiah yang berbicara tentang satu topik tertentu menurut pandangan Al-Quran, misalnya Al-Insan fi Al-Quran, dan Al-Mar'ah fi Al-Quran karya Abbas Mahmud Al-Aqqad, atau Al-Riba fi Al-Quran karya Al-Maududi, dan sebagainya.
Namun karya-karya ilmiah tersebut disusun bukan sebagai pembahasan Tafsir. Di sini ulama Tafsir kemudian mendapat inspirasi baru, dari bermunculan karya-karya Tafsir yang menetapkan satu topik tertentu, dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat, dari beberapa surat, yang berbicara tentang topik tersebut, untuk kemudian dikaitkan satu dengan lainnya, sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pandangan Al-Quran. Metode ini di Mesir pertama kali dicetuskan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy, Ketua Jurusan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar sampai tahun 1981.
Beberapa dosen Tafsir di universitas tersebut telah berhasil menyusun banyak karya ilmiah dengan menggunakan metode tersebut. Antara lain Prof. Dr. Al-Husaini Abu Farhah menulis Al-Futuhat Al-Rabbaniyyah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu'i li Al-Ayat Al-Qur'aniyyah dalam dua jilid, dengan memilih banyak topik yang dibicarakan Al-Quran.
Dalam menghimpun ayat-ayat yang ditafsirkannya secara mawdhu'i (tematik) itu, Al-Husaini tidak mencantumkan seluruh ayat dari seluruh surat, walaupun seringkali menyebutkan jumlah ayat-ayatnya dengan memberikan beberapa contoh, sebagaimana tidak juga dikemukakannya perincian ayat-ayat yang turun pada periode Makkah sambil membedakannya dengan periode Madinah, sehingga terasa bahwa apa yang ditempuhnya itu masih mengandung beberapa kelemahan.
Pada tahun 1977, Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawiy, yang juga menjabat guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, menerbitkan buku Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu'i dengan mengemukakan secara terinci langkah-langkah yang hendaknya ditempuh untuk menerapkan metode mawdhu'iy. Langkah-langkah tersebut adalah:

(a) Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik);
(b) Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut;
(c) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzul-nya;
(d) Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing;
(e) Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (outline);
(f) Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan;
(g) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang 'am (umum) dan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.112

Penulis mempunyai beberapa catatan dalam rangka pengembangan metode tafsir Mawdhu'iy dan langkah-langkah yang diusulkan di atas. Antara lain:
(1) Penetapan masalah yang dibahas
Walaupun metode ini dapat menampung semua persoalan yang diajukan, terlepas apakah jawabannya ada atau tidak, namun untuk menghindari kesan keterikatan yang dihasilkan oleh metode tahliliy akibat pembahasan-pembahasannya terlalu bersifat sangat teoretis, maka akan lebih baik bila permasalahan yang dibahas itu diprioritaskan pada persoalan yang menyentuh masyarakat dan dirasakan langsung oleh mereka.
Ini berarti, mufasir Mawdhu'iy diharapkan agar terlebih dahulu mempelajari problem-problem masyarakat, atau ganjalan-ganjalan pemikiran yang dirasakan sangat membutuhkan jawaban Al-Quran, misalnya petunjuk Al-Quran menyangkut kemiskinan, keterbelakangan, penyakit dan sebagainya. Dengan demikian, corak dan metode penafsiran semacam ini memberi jawaban terhadap problem masyarakat tertentu di lokasi tertentu dan tidak harus memberi jawaban terhadap mereka yang hidup sesudah generasinya, atau yang tinggal di luar wilayahnya.
(2) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya
Yaitu hanya dibutuhkan dalam upaya mengetahui perkembangan petunjuk Al-Quran menyangkut persoalan yang dibahas, apalagi bagi mereka yang berpendapat ada nasikh dan mansukh dalam Al-Quran. Bagi mereka yang bermaksud menguraikan satu kisah, atau kejadian, maka runtutan yang dibutuhkan adalah runtutan kronologis peristiwa.
(3) Kosakata ayat dengan merujuk kepada penggunaan Al-Quran
Walaupun metode ini tidak mengharuskan uraian tentang pengertian kosakata, namun kesempurnaannya dapat dicapai apabila sejak dini sang mufasir berusaha memahami arti kosakata ayat dengan merujuk kepada penggunaan Al-Quran sendiri. Hal ini dapat dinilai sebagai pengembangan dari tafsir bi al-ma'tsur, yang pada hakikatnya merupakan benih awal dari metode mawdhu'iy.
Pengamatan terhadap pengertian kosakata, demikian juga pesan-pesan yang dikandung oleh satu ayat, hendaknya diarahkan antara lain kepada bentuk dan timbangan kata yang digunakan, subjek dan objeknya, serta konteks pembicaraannya. Bentuk kata dan kedudukan i'rab, misalnya, mempunyai makna tersendiri. Bentuk ism memberi kesan kemantapan, fi'l mengandung arti pergerakan, bentuk rafa' menunjukkan subjek atau upaya, nashb yang menjadi objek dapat mengandung arti ketiadaan upaya, sedang al-jar memberi kesan keterkaitan dalam keikutan.113
Untuk menetapkan masalah yang akan dibahas, beberapa kitab dapat menjadi rujukan, antara lain Tafshil Ayat Al-Qur'an karya sekelompok orientalis dan yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abdul Baqiy. Demikian pula Kitab Al-Hayat karya Muhammad Reza Hakimi dan kawan-kawan, atau juga dapat ditempuh dengan menggunakan Al-Mu'jam Al-Mufahras Ii Alfazh Al-Qur'an karya Muhammad Fuad 'Abdul Baqiy, dengan memperhatikan kosakata dan sinonimnya yang berhubungan dengan suatu masalah yang dibahas itu.
(4) Azbab al-Nuzul
Perlu digarisbawahi bahwa, walaupun dalam langkah-langkah tersebut tidak dikemukakan menyangkut sebab nuzul, namun tentunya hal ini tidak dapat diabaikan, karena sebab nuzul mempunyai peranan yang sangat besar dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Hanya saja hal ini tidak dicantumkan di sana karena ia tidak harus dicantumkan dalam uraian, tetapi harus dipertimbangkan ketika memahami arti ayat-ayatnya masing-masing. Bahkan hubungan antara ayat yang biasanya dicantumkan dalam kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode analisis, tidak pula harus dicantumkan dalam pembahasan, selama ia tidak mempengaruhi pengertian yang akan ditonjolkan.
Dapat digarisbawahi pula bahwa langkah-langkah yang dijelaskan di atas menempatkan penyusunan "pembahasan dalam satu kerangka yang sempurna" pada tahap yang kelima agar kerangka tersebut tersusun atas dasar bahan-bahan yang telah diperoleh dari langkah-langkah sebelumnya. Hal ini untuk menghindari sedapat mungkin pra-konsepsi yang mungkin dapat mempengaruhi mufasir dalam penafsirannya.
Dengan tersusunnya langkah-langkah tersebut, bahkan dengan penerapan yang dicontohkan oleh Al-Farmawiy dalam karyanya dengan menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan: (a) pemeliharaan anak yatim dalam Al-Quran; (b) arti ummiyatAl-Arab (kebuta-hurufan orang Arab) dalam Al-Quran; (c) etika meminta izin dalam Al-Quran; dan (d) menundukkan mata dan memelihara alat kelamin dalam Al-Quran, maka lahirlah bentuk kedua dari metode tafsir mawdhu'iy. Bentuk pertama, ialah penafsiran menyangkut satu surat dalam Al-Quran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan khusus, serta hubungan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya, sehingga kesemua persoalan tersebut kait-mengait bagaikan satu persoalan saja, sebagaimana ditempuh oleh Mahmud Syaltut dalam kitab Tafsirnya.
Kedua, menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas masalah tertentu dari berbagai surat Al-Quran, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok pembahasannya.
Keistimewaan Metode Mawdhu'iy
Beberapa keistimewaan metode ini antara lain, (a) menghindari problem atau kelemahan metode lain yang digambarkan dalam uraian di atas; (b) menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan Al-Quran; (c) kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami. Hal ini disebabkan karena ia membawa pembaca kepada petunjuk Al-Quran tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu. Juga dengan metode ini, dapat dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh Al-Quran bukan bersifat teoretis semata-mata dan atau tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu ia dapat membawa kita kepada pendapat Al-Quran tentang berbagai problem hidup disertai dengan jawaban jawabannya. Ia dapat memperjelas kembali fungsi Al-Quran sebagai Kitab Suci. Dan terakhir dapat membuktikan keistimewaan Al-Quran. Selain itu, (d) metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam Al-Quran. Ia sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Perbedaan Metode Mawdhu'iy dengan Metode Analisis
Yang dimaksud dengan metode analisis adalah "penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Quran dari sekian banyak seginya yang ditempuh oleh mufasir dengan menjelaskan ayat demi ayat sesuai urutannya di dalam mush-haf melalui penafsiran kosakata, penjelasan sebab nuzul, munasabah, serta kandungan ayat-ayat tersebut sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir itu".
Metode tersebut jelas berbeda dengan metode Mawdhu'iy yang telah digambarkan langkah-langkahnya di atas. Perbedaan itu antara lain, pertama, mufasir mawdhu'iy, dalam penafsirannya, tidak terikat dengan susunan. ayat dalam mush-haf, tetapi lebih terikat dengan urutan masa turunnya ayat atau kronologi kejadian, sedang mufasir analisis memperhatikan susunan sebagaimana tercantum dalam mush-haf.
Kedua, mufasir Mawdhu'i tidak membahas segala segi permasalahan yang dikandung oleh satu ayat, tapi hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan atau judul yang ditetapkannya.114 Sementara para mufasir analisis berusaha untuk berbicara menyangkut segala sesuatu yang ditemukannya dalam setiap ayat. Dengan demikian mufasir Mawdhu'i, dalam pembahasannya, tidak mencantumkan arti kosakata, sebab nuzul, munasabah ayat dari segi sistematika perurutan, kecuali dalam batas-batas yang dibutuhkan oleh pokok bahasannya. Mufasir analisis berbuat sebaliknya.
Ketiga, mufasir mawdhu'i berusaha untuk menuntaskan permasalahan-permasalahan yang menjadi pokok bahasannya. Mufasir analisis biasanya hanya mengemukakan penafsiran ayat-ayat secara berdiri sendiri, sehingga persoalan yang dibahas menjadi tidak tuntas, karena ayat yang ditafsirkan seringkali ditemukan kaitannya dalam ayat lain pada bagian lain surat tersebut, atau dalam surat yang lain.
Perbedaan Metode Mawdhu'iy dengan Metode Komparasi
Yang dimaksud dengan metode komparasi adalah "membandingkan ayat-ayat Al-Quran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda, dan yang memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama. Termasuk dalam objek bahasan metode ini adalah membandingkan ayat-ayat Al-Quran dengan hadis-hadis Nabi saw., yang tampaknya bertentangan, serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran ayat-ayat Al-Quran.
Dalam metode ini, khususnya yang membandingkan antara ayat dengan ayat seperti dikemukakan di atas, sang mufasir biasanya hanya menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat atau perbedaan kasus atau masalah itu sendiri, seperti misalnya perbedaan antara:
[tulisan Arab]
dalam surat Al-An'am ayat 151, dan
[tulisan Arab]
dalam surat Al-Isra' ayat 31, atau perbedaan antara:
[tulisan Arab]
dalam surat Al-A'raf ayat 12, dengan
[tulisan Arab]
dalam surat Shad ayat 75.
Demikian juga antara Al-Anfal ayat 10 dengan Ali Imran ayat 126.
Mufasir yang menempuh metode ini, sepert misalnya Al-Khatib Al-Iskafi dalam kitabnya Durrah Al-Tanzil wa Ghurrah Al-Ta'wil, tidak mengarahkan pandangannya kepada petunjuk-petunjuk yang dikandung oleh ayat-ayat yang dibandingkannya itu, kecuali dalam rangka penjelasan sebab-sebab perbedaan redaksional. Sementara dalam metode Mawdhu'i, seorang mufasir, disamping menghimpun semua ayat yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, ia juga mencari persamaan-persamaan, serta segala petunjuk yang dikandungnya, selama berkaitan dengan pokok bahasan yang ditetapkan.
Di sini kita melihat bahwa jangkauan bahasan metode komparasi lebih sempit dari metode Mawdhu'i, karena yang pertama hanya terbatas dalam perbedaan redaksi semata-mata. Membandingkan ayat dengan hadis, yang kelihatannya bertentangan, dilakukan juga oleh ulama hadis, khususnya dalam bidang yang dinamakan mukhtalif al-hadits. Sikap ulama dalam hal ini berbeda-beda. Abu Hanifah dan penganut mazhabnya menolak sejak dini hadis yang bertentangan atau tidak sejalan dengan ayat Al-Quran. Sementara itu, Imam Malik dan penganut mazhabnya dapat menerima hadis yang tidak sejalan dengan ayat, apabila ada qarinah (pendukung bagi hadis tersebut) berupa pengalaman penduduk Madinah atau ijma' ulama. Lainnya, Imam Syafi'i, berupaya untuk mengkompromikan ayat dan hadis tersebut, khususnya jika sanad hadis tersebut sahih.
Dalam membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir menyangkut ayat Al-Quran, ada beberapa hal yang perlu mendapat sorotan:
(1) Kondisi sosial politik pada masa seorang mufasir hidup;
(2) Kecenderungannya dan latar belakang pendidikannya;
(3) Pendapat yang dikemukakannya --apakah pendapat pribadi, ataupun pengembangan pendapat sebelumnya, atau juga pengulangannya;
(4) Setelah menjelaskan hal-hal di atas, pembanding melakukan analisis untuk mengemukakan penilaiannya tentang pendapat tersebut --baik menguatkan atau melemahkan pendapat-pendapat mufasir yang diperbandingkannya.
Penutup
Sebelum mengakhiri tulisan ini, perlu digarisbawahi beberapa masalah, agar seorang yang bermaksud menempuh metode Mawdhu'i atau membaca penafsiran yang menempuh metode tersebut tidak terjerumus kedalam kesalahan atau kesalahpahaman.
Hal-hal tersebut adalah:
(1) Metode Mawdhu'i pada hakikatnya tidak atau belum mengemukakan seluruh kandungan ayat Al-Quran yang ditafsirkannya itu. Harus diingat bahwa pembahasan yang diuraikan atau ditemukan hanya menyangkut judul yang ditetapkan oleh mufasirnya, sehingga dengan demikian mufasir pun harus selalu mengingat hal ini agar ia tidak dipengaruhi oleh kandungan atau isyarat-isyarat yang ditemukannya dalam ayat-ayat tersebut yang tidak sejalan dengan pokok bahasannya.
(2) Mufasir yang menggunakan metode ini hendaknya memperhatikan dengan seksama urutan ayat-ayat dari segi masa turunnya, atau perincian khususnya. Karena kalau tidak, ia dapat terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan baik di bidang hukum maupun dalam perincian kasus atau peristiwa.
(3) Mufasir juga hendaknya memperhatikan benar seluruh ayat yang berkaitan dengan pokok bahasan yang telah ditetapkannya itu. Sebab kalau tidak, pembahasan yang dikemukakannya tidak akan tuntas, atau paling tidak, jawaban Al-Quran yang dikemukakan menjadi terbatas.
Catatan kaki
108 Teori ini menyatakan bahwa orang-orang Arab sebenarnya mampu untuk menyusun kalimat-kalimat semacam Al-Quran. Tetapi, hal tersebut tidak terlaksana, karena Allah SWT melakukan campur tangan, dengan jalan mencabut pengetahuan dan rasa bahasa yang mereka miliki, atau dengan jalan melemahkan semangat dan keinginan mereka untuk menandingi Al-Quran.
109 Lihat Pengantar Muhammad Al-Bahiy, dalam Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, karya Mahmud Syaltut, Dar Al-Qalam, Mesir, cet. II, tt, h. 7.
110 Bukunya, berjudut Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar, telah dicetak di Bombay, India, sebanyak 13 jilid sampai dengan surah Al-Furqan. Sisanya masih berbentuk manuskrip yang antara lain terdapat di perpustakaan Universitas Al-Azhar, Mesir.
111 Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, Dar Al-Ma'rufah, Beirut, 1975, jilid III, h. 144.
112 'Abdul Hay Al-Farmawiy, Al-Bidayah fi Tafsir Al-Mawdhu'iy, Al-Hadharah Al-'Arabiyah, Kairo, cetakan II, 1977, h. 62.
113 Lihat lebih jauh Hassan Hanafi, Al-Yamin wa Al-Yasar fi Al-Fikr Al-Diniy, Madbuliy, Mesir, 1989, h. 105.
114 Ayat 90 surah Al-Maidah, misalnya, yang berbicara tentang minuman keras, perjudian, dan berhala-berhala sesembahan, keseluruhannya menjadi bahasan penafsir "analisis". Tetapi penafsir maudhu'iy, hanya membahas pokok bahasannya saja. Jika pokok bahasan yang dipilihnya tentang "minuman keras", maka ia tidak akan menyinggung persoalan judi dan berhala-berhala.


PENAFSIRAN "KHALIFAH" DENGAN METODA TEMATIK
Ada dua bentuk metode penafsiran tematik:
(1) Penafsiran satu surah dalam Al-Quran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan khusus atau tema sentral surah tersebut, kemudian menghubungkan ayat-ayat yang beraneka ragam itu satu dengan lain dengan tema sentral tersebut.
Metode ini diterapkan pertama kali oleh Al-Syathibi dan dan dikembangkan juga antara lain oleh Mahmud Syaltut.
(2) Menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas masalah tertentu dari berbagai surah Al-Quran (sedapat mungkin diurut sesuai dengan masa turunnya, apalagi jika yang dibahas adalah masalah hukum) sambil memperhatikan sebab nuzul, munasabah masing-masing ayat, kemudian menjelaskan pengertian ayat-ayat tersebut yang mempunyai kaitan dengan tema atau pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh penafsiran dalam satu kesatuan pembahasan sampai ditemukan jawaban-jawaban Al-Quran menyangkut tema (persoalan) yang dibahas.
Dalam hal menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan satu tema, beberapa ulama menekankan bahwa tidak selalu keseluruhan ayat yang berbicara tentang tema tertentu harus dikumpulkan. Boleh saja --kata mereka-- ayat-ayat yang diduga keras telah dapat diwakili oleh ayat-ayat lain, tidak lagi diangkat.
Tulisan ini akan mencoba melihat beberapa aspek dari ayat-ayat yang berbicara tentang khalifah dengan menggunakan metode tematik dalam bentuknya yang kedua di atas. Namun, tidak dengan mengangkat seluruh ayat-ayat yang berbicara tentang persoalan ini dalam berbagai redaksinya, karena hal tersebut memerlukan penelitian yang sangat rumit dan waktu yang cukup lama.

PENAFSIRAN KHALIFAH DENGAN METODE TEMATIK

Arti Kata Khalifah

Kata khalifah dalam bentuk tunggal terulang dua kali dalam Al-Quran, yaitu dalam Al-Baqarah ayat 30 dan Shad ayat 26.
Ada dua bentuk plural yang digunakan oleh Al-Quran, yaitu:
(a) Khalaif yang terulang sebanyak empat kali, yakni pada surah Al-An'am 165, Yunus 14, 73, dan Fathir 39.
(b) Khulafa' terulang sebanyak tiga kali pada surah-surah. Al-A'raf 7:69, 74, dan Al-Naml 27:62.
Keseluruhan kata tersebut berakar dari kata khulafa' yang pada mulanya berarti "di belakang". Dari sini, kata khalifah seringkali diartikan sebagai "pengganti" (karena yang menggantikan selalu berada atau datang di belakang, sesudah yang digantikannya).
Al-Raghib Al-Isfahani, dalam Mufradat fi Gharib Al-Qur'an, menjelaskan bahwa menggantikan yang lain berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan, baik bersama yang digantikannya maupun sesudahnya. Lebih lanjut, Al-Isfahani menjelaskan bahwa kekhalifahan tersebut dapat terlaksana akibat ketiadaan di tempat, kematian, atau ketidakmampuan orang yang digantikan, dan dapat juga akibat penghormatan yang diberikan kepada yang menggantikan.
Tidak dapat disangkal oleh para mufasir bahwa perbedaan bentuk-bentuk kata di atas (khalifah, khalaif, khulafa') masing-masing mempunyai konteks makna tersendiri, yang sedikit atau banyak berbeda degan yang lain.
Kalau kita bermaksud merujuk kepada Al-Quran untuk mengetahui kandungan makna kata khalifah (karena ayat Al-Quran berfungsi pula sebagai penjelas terhadap ayat-ayat lainnya), maka dari kata khalifah yang hanya terulang dua kali itu serta konteks-konteks pembicaraannya, kita dapat menarik beberapa kesimpulan makna --khususnya dengan memperhatikan ayat-ayat surah Shad yang menguraikan sebagian dari sejarah kehidupan Nabi Daud.
Nabi Daud a.s. sebagaimana diceritakan oleh Al-Quran, berhasil membunuh jalut:
Dan Daud membunuh jalut. Allah memberinya kekuasaan/kerajaan dan hikmah serta mengajarkannya apa yang Dia kehendaki ...
Jika demikian, kekhalifahan yang dianugerahkan kepada Daud a.s. bertalian dengan kekuasaan mengelola wilayah tertentu. Hal ini diperolehnya berkat anugerah Ilahi yang mengajarkan kepadanya al-hikmah dan ilmu pengetahuan.
Makna "pengelolaan wilayah tertentu", atau katakanlah bahwa pengelolaan tersebut berkaitan dengan kekuasaan politik, dipahami pula pada ayat-ayat yang menggunakan bentuk khulafa : (Perhatikan ketiga ayat yang ditunjuk di atas). Ini, berbeda dengan kata khala'if, yang tidak mengesankan adanya kekuasaan semacam itu, sehingga pada akhirnya kita dapat berkata bahwa sejumlah orang yang tidak memiliki kekuasaan politik dinamai oleh Al-Quran khala'if; tanpa menggunakan bentuk mufrad (tunggal). Tidak digunakannya bentuk mufrad untuk makna tersebut agaknya mengisyaratkan bahwa kekhalifahan yang diemban oleh setiap orang tidak dapat terlaksana tanpa bantuan orang lain, berbeda dengan khalifah yang bermakna penguasa dalam bidang politik itu. Hal ini dapat mewujud dalam diri pribadi seseorang atau diwujudkannya dalam bentuk otoriter atau diktator.
Kalau kita kembali kepada ayat Al-Baqarah 30, yang menggunakan kata khalifah untuk Adam as., maka ditemukan persamaan-persamaan dengan ayat yang membicarakan Daud a.s., baik persamaan dalam redaksi maupun dalam makna dan konteks uraian.
Adam juga dinamai khalifah. Beliau, sebagaimana Daud, juga diberi pengetahuan --Wa 'allama Adam al-asma' kullaha-- yang kekhalifahan keduanya berkaitan dengan Al-Ardha:
Inni ja'il fi al-ardhi khalifah (Adam) dan Ya Daud inna Ja'alnaka khalifatan fi al-ardh (Daud).
Adam dan Daud keduanya digambarkan oleh Al-Quran sebagai pernah tergelincir tetapi diampuni Tuhan. (Baca masing-masing QS 2: 36, 37, dan QS 38:22-25).
Sampai di sini, kita dapat mengambil kesimpulan sementara, yaitu:
(1) Kata khalifah digunakan oleh Al-Quran untuk siapa yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas. Dalam hal ini Daud (947-1000 S.M.) mengelola wilayah Palestina, sedangkan Adam secara potensial atau aktual diberi tugas mengelola bumi keseluruhannya pada awal masa sejarah kemanusiaan.
(2) Bahwa seorang khalifah berpotensi, bahkan secara aktual, dapat melakukan kekeliruan dan kesalahan akibat mengikuti hawa nafsu. Karena itu, baik Adam maupun Daud diberi peringatan agar tidak mengikuti hawa nafsu. (Baca QS 20:16, dan QS 38:261.
Arti Kekhalifahan di Bumi
Muhammad Baqir Al-Shadr, dalam bukunya, Al-Sunan Al-Tarikhiyah fi Al-Qur'an, yang antara lain mengupas ayat 30 Surah Al-Baqarah dengan menggunakan metode tematik, mengemukakan bahwa kekhalifahan mempunyai tiga unsur yang saling kait-berkait. Kemudian, ditambahkannya unsur keempat yang berada di luar, namun amat menentukan arti kekhalifahan dalam pandangan Al-Quran.
Ketiga unsur pertama adalah:
1. Manusia, yang dalam hal ini dinamai khalifah.
2. Alam raya, yang ditunjuk oleh ayat Al-Baqarah sebagai ardh.
3. Hubungan antara manusia dengan alam dan segala isinya, termasuk dengan manusia.
Hubungan ini, walaupun tidak disebutkan secara tersurat dalam ayat di atas, tersirat karena penunjukan sebagai khalifah tidak akan ada artinya jika tidak disertai dengan penugasan atau istikhlaf.
Itulah ketiga unsur yang saling kait-berkait, sedangkan unsur keempat yang berada di luar adalah yang digambarkan oleh ayat tersebut dengan kata inni jail/inna ja'alnaka khalifat yaitu yang memberi penugasan, yakni Allah SWT. Dialah yang memberi penugasan itu dan dengan demikian yang ditugasi harus memperhatikan kehendak yang menugasinya.
Menarik untuk diperbandingkan bahwa pengangkatan Adam sebagai khalifah dijelaskan oleh Allah dalam bentuk tunggal inni (sesungguhnya Aku) dan dengan kata ja'il yang berarti akan mengangkat. Sedangkan pengangkatan Daud dijelaskan dengan menggunakan kata inna (sesungguhnya Kami) dan dengan bentuk kata kerja masa lampau ja'alnaka (Kami telah menjadikan kamu).
Kalau kita dapat menerima kaidah yang menyatakan bahwa penggunaan bentuk plural untuk menunjuk kepada Allah mengandung makna keterlibatan pihak lain bersama Allah dalam pekerjaan yang ditunjuk-Nya, maka ini berarti bahwa dalam pengangkatan Daud sebagai khalifah terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yakni masyarakat (pengikut-pengikutnya). Adapun Adam, maka di sini wajar apabila pengangkatannya dilukiskan dalam bentuk tunggal, bukan saja disebabkan karena ketika itu kekhalifahan yang dimaksud baru berupa rencana (Aku akan mengangkat) tetapi juga karena ketika peristiwa ini terjadi tidak ada pihak lain bersama Allah yang terlibat dalam pengangkatan tersebut.
Ini berarti bahwa Daud --dan semua khalifah-- yang terlibat dengan masyarakat dalam pengangkatannya, dituntut untuk memperhatikan kehendak masyarakat tersebut, karena mereka ketika itu termasuk pula sebagai mustakhlif.
Tidak dikuatirkan adanya perlakuan sewenang-wenang dari khalifah yang diangkat Tuhan itu, selama ia benar-benar menyadari arti kekhalifahannya. Karena, Tuhan sendiri memerintahkan kepada para khalifah-Nya untuk selalu bermusyawarah serta berlaku adil.
Memang, dalam sejarah, terdapat khalifah-khalifah yang berlaku sewenang-wenang dengan alasan bahwa ia adalah wakil Tuhan di bumi. Namun, di sini ia sangat keliru dalam memahami dan mempraktekkan kekhalifahan itu.
Hubungan antara manusia dengan alam atau hubungan manusia dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara Penakluk dan yang ditaklukkan, atau antara Tuan dengan hamba, tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT. Karena, kalaupun manusia mampu mengelola (menguasai), namun hal tersebut bukan akibat kekuatan yang dimilikinya, tetapi akibat Tuhan menundukkannya untuk manusia.
Ini tergambar antara lain dalam firman-Nya, pada surah Ibrahim ayat 32 dan Al-Zukhruf ayat 13.
Demikian itu, sehingga kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ilahi yang tertera dalam wahyu-wahyu-Nya. Semua itu harus ditemukan kandungannya oleh manusia sambil memperhatikan perkembangan dan situasi lingkungannya.
Dalam ayat 32 surah Al-Zukhruf ditegaskan bahwa,
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhan? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain (agar mereka dapat saling mempergunakan). Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.
Adalah keliru, menurut hemat penulis, memahami arti sukhriya sebagai menundukkan. Tetapi, hubungan satu sama lain adalah hubungan al-taskhir, dalam arti semua dalam kedudukan yang sama dan yang membedakan mereka hanyalah partisipasi dan kemampuan masing-masing. Adalah logis apabila yang "kuat" lebih mampu untuk memperoleh bagian yang melebihi perolehan yang lemah.
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa keistimewaan tidak dimonopoli oleh suatu lapisan atau bahwa ada lapisan masyarakat yang ditundukkan oleh lapisan yang lain. Karena, jika demikian maknanya, maka ayat tersebut di atas tidak akan menyatakan agar mereka dapat saling mempergunakan.
Ayat di atas menggunakan kata sukhriya bukannya sikhriya, seperti antara lain dalam surah Al-Mu'minun yang menggambarkan ejekan dan tekanan yang dilakukan oleh satu kelompok kuat terhadap kelompok lain yang dinamai oleh Al-Quran mustadh'afin. Ayat yang menjelaskan hubungan interaksi yang diridhai Allah adalah ayat yang menggunakan kata sukhriya.
Al-Baydhawi menafsirkan ayat Al-Zukhruf di atas dengan menyatakan bahwa "Sebagian manusia menjadikan sebagian yang lain secara timbal-balik sebagai sarana guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka."
Inilah prinsip pokok yang merupakan landasan interaksi antar sesama manusia dan keharmonisan hubungan itu pulalah yang menjadi tujuan dari segala etika agama. Keharmonisan hubungan inilah yang menghasilkan etika itsar, sehingga etika agama tidak mengenal prinsip "Anda boleh melakukan apa saja selama tidak melanggar hak orang lain", tetapi memperkenalkan "Mereka mendahulukan pihak lain atas diri mereka walaupun mereka sendiri dalam kebutuhan." (QS 59:9)
Di atas juga telah dikemukakan bahwa hanya kemampuan (kekuatan) yang dapat membedakan seseorang dari yang lain, dan dari keistimewaan inilah segala sifat terpuji dapat lahir.
Kesabaran dan ketabahan merupakan etika atau sikap terpuji, karena ia adalah kekuatan, yaitu kekuatan seseorang dalam menanggung beban atau menahan gejolak keinginan negatif. Keberanian merupakan kekuatan karena pemiliknya mampu melawan dan menundukkan kejahatan. Dan kasih sayang dan uluran tangan adalah juga kekuatan; bukankah ia ditujukan kepada orang-orang yang membutuhkan dan lemah?
Demikianlah segala macam sikap terpuji atau etika agama.
Benar bahwa semakin kokoh hubungan manusia dengan alam raya dan semakin dalam pengenalannya terhadapnya, akan semakin banyak yang dapat diperolehnya melalui alam itu. Namun, bila hubungan itu sampai disitu, pastilah hasil lain yang dicapai hanyalah penderitaan dan penindasan manusia atas manusia. Inilah antara lain kandungan pesan Tuhan yang diletakkan dalam rangkaian wahyu pertama.
Sebaliknya, semakin baik interaksi manusia dengan manusia, dan interaksi manusia dengan Tuhan, serta interaksinya dengan alam, pasti akan semakin banyak yang dapat diman faatkan dari alam raya ini. Karena, ketika itu mereka semua akan saling membantu dan bekerjasama dan Tuhan di atas mereka akan merestui. Hal ini terungkap antara lain melalui surah Al-Jin ayat 16:
Dan bahwasanya, jika mereka tetap berjalan lurus di jalan itu (petunjuk petunjuk Ilahi), niscaya pasti Kami akan memberi mereka air segar (rezeki yang melimpah).
Demikian itu dua dari hukum-hukum kemasyarakatan (kekhalifahan) dari sekian banyak hukum kemasyarakatan yang dikemukakan Al-Quran sebagai petunjuk pelaksanaan fungsi kekhalifahan, yang sekaligus menjadi etika pembangunan.
Keharmonisan hubungan melahirkan kemajuan dan perkembangan masyarakat, demikian kandungan ayat di atas. Perkembangan inilah yang merupakan arah yang dituju oleh masyarakat religius yang Islami sebagaimana digambarkan oleh Al-Quran pada akhir surah Al-Fath, yang mengibaratkan masyarakat Islam yang ideal:
... sebagai tanaman yang tumbuh berkembang sehingga mengeluarkan tunasnya dan tunas itu menjadikan tanaman tersebut kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas pokoknya . . . (QS 48:29)
Keharmonisan tidak mungkin tercipta kecuali jika dilandasi oleh rasa aman. Karena itu pula, setiap aktivitas istikhlaf (pembangunan) baru dapat dinilai sesuai dengan etika agama apabila rasa aman dan sejahtera menghiasi setiap anggota masyarakat. Dengan kata lain, pembangunan yang dihiasi oleh etika agama adalah "yang mengantar manusia menjadi lebih bebas dari penderitaan dan rasa takut".
Kalau hal ini dikaitkan dengan kisah kejadian manusia, maka dapat pula dikatakan bahwa keberhasilan pembangunan dalam pandangan agama adalah pada saat manusia berhasil mewujudkan bayang-bayang surga di persada bumi ini.
Adam dan Hawa sebelum diperintahkan turun ke bumi, hidup dalam ketenteraman dan kesejahteraan. Tersedia bagi mereka sandang, pangan, dan papan; dan ketika itu mereka diperingatkan agar jangan sampai terusir dari surga karena akibatnya mereka akan bersusah payah memperolehnya (QS 20:117-119). Mereka juga diharapkan agar mengikuti petunjuk-petunjuk Ilahi, karena dengan demikian mereka tidak akan merasa takut atau merasa sedih.
Agama tidak mendefinisikan perkembangan masyarakat dan tujuan pembangunan sebagai pertambahan barang atau kecepatan pelayanan. Dalam hal ini Nabi saw. bersabda:
Barangsiapa yang tidak berpendapat bahwa Tuhan memiliki anugerah untuknya selain dari makanan, minuman dan kendaraan, maka sesungguhnya ia telah membatasi usahanya dan mempercepat kehadiran ajalnya.
Arah yang dituju oleh istikhlaf adalah kebebasan manusia dari rasa takut, baik dalam kehidupan dunia ini atau yang berkaitan dengan persoalan sandang, pangan dan papan, maupun ketakutan-ketakutan lainnya yang berkaitan dengan masa depannya yang dekat atau yang jauh di akhirat kelak. Ayat-ayat yang berbicara tentang la khawf 'alayhim wa la hum yahzanun tidak harus selalu dikaitkan dengan ketakutan dan kesedihan di akhirat, tetapi dapat pula mencakup ketakutan dan kesedihan dalam kehidupan dunia ini.
Untuk mencapai rasa aman tersebut, ada sekian banyak sikap yang dituntut oleh agama dari para pemeluknya. Prof. Mubyarto mengemukakan lima hal pokok untuk mencapai hal tersebut:
1. Kebutuhan dasar setiap masyarakat harus terpenuhi dan ia harus bebas dari ancaman dan bahaya pemerkosaan.
2. Manusia terjamin dalam mencari nafkah, tanpa harus keterlaluan menghabiskan tenaganya.
3. Manusia bebas untuk memilih bagaimana mewujudkan hidupnya sesuai dengan cita-citanya.
4. Ada kemungkinan untuk mengembangkan bakat-bakat dan kemampuannya.
5. Partisipasi dalam kehidupan sosial politik, sehingga seseorang tidak semata-mata menjadi objek penentuan orang lain.
Di sisi lain harus pula diingat bahwa kekhalifahan seperti telah dikemukakan di atas mengandung arti bimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.
Lebih jauh dapat ditambahkan bahwa unsur keempat yang disebut di atas, digambarkan oleh Al-Quran dalam dua bentuk:
(1) Penganugerahan dari Allah (Inni jail fi al-ardh khalifah).
(2) Penawaran dari-Nya yang disambut dengan penerimaan dari manusia, sebagaimana yang tergambar dalam surah Al-Ahzab ayat 72:
Sesungguhnya kami menawarkan al-amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, namun mereka semua enggan dan kuatir, lalu (Kami tawarkan kepada manusia) maka mereka pun menerimanya, sesungguhnya mereka sangat aniaya lagi bodoh.
Tentu yang dimaksud dengan kecaman di atas adalah sebagian manusia, dan dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa dalam tugas kekhalifahan ada yang berhasil dengan baik dan ada pula yang gagal. Kesimpulan ini diperkuat pula oleh isyarat yang tersirat dari jawaban Allah atas pertanyaan malaikat:
Apakah engkau akan menjadikan di sana (bumi) siapa yang merusak dan menumpahkan darah sedang kami bertasbih dan memuji engkau? Tuhan berfirman (menjawab): "Aku tahu apa yang kalian tidak ketahui." (QS 2:30).
Dari sini kita dapat beralih untuk melihat lebih jauh apa saja sifat-sifat khalifah yang terpuji dan apa pula ruang lingkup tugas-tugas mereka.
Sifat-sifat Terpuji Seorang Khalifah
Al-Tabrasi, dalam tafsirnya, mengemukakan bahwa kata Imam mempunyai makna yang sama dengan khalifah. Hanya saja -katanya lebih lanjut-- kata Imam digunakan untuk keteladanan, karena ia terambil dari kata yang mengandung arti "depan" yang berbeda dengan khalifah yang terambil dari kata "belakang".
Ini berarti bahwa kita dapat memperoleh informasi tentang sifat-sifat terpuji dari seorang khalifah dengan menelusuri ayat-ayat yang menggunakan kata Imam.
Dalam Al-Quran, kata Imam terulang sebanyak tujuh kali dengan makna yang berbeda-beda. Namun, kesemuanya bertumpu pada arti "sesuatu yang dituju dan atau diteladani" Arti-arti tersebut adalah:
(a) Pemimpin dalam kebajikan, yaitu pada Al-Baqarah ayat 124 dan Al-Furqan ayat 74.
(b) Kitab amalan manusia, yaitu pada Al-Isra' ayat 71.
(c) Al-Lawh Al-Mafhuzh, yaitu pada Yasin ayat 12.
(d) Taurat, yaitu pada Hud ayat 17 dan Al-Ahqaf ayat 12.
(e) Jalan yang jelas, yaitu pada Al-Hijr ayat 79.
Dari makna-makna di atas terlihat bahwa hanya dua ayat yang dapat dijadikan rujukan dalam persoalan yang sedang dicari jawabannya ini, yaitu ayat Al-Baqarah 124 yang berbunyi: [tulisan Arab] dan ayat Al-Furqan 74, yang berbunyi: [tulisan Arab].
Ayat yang terakhir ini, sebagaimana terlihat, hanya mengandung permohonan untuk dijadikan Imam (teladan) bagi orang-orang yang bertakwa sehingga tinggal ayat Al-Baqarah yang diharapkan dapat memberikan informasi.
Pada ayat tersebut, Nabi Ibrahim a.s. dijanjikan Allah untuk dijadikan Imam (Inni ja'iluka li al-nas Imama), dan ketika beliau bermohon agar kehormatan ini diperoleh pula oleh anak cucunya, Allah SWT menggarisbawahi suatu syarat, yaitu la yanalu 'ahdiya al-zhalimin (Janji-Ku ini tidak diperoleh oleh orang-orang yang berlaku aniaya).
Keadilan adalah lawan dari penganiayaan. Dengan demikian, dari ayat di atas dapat ditarik satu sifat, yaitu sifat adil, baik terhadap diri, keluarga, manusia dan lingkungan, maupun terhadap Allah.
Perlu sekali lagi diingatkan bahwa para khalifah yang disebut namanya dalam Al-Quran (Adam dan Daud a.s.) keduanya pernah melakukan penganiayaan, baik terhadap diri maupun terhadap orang lain. Namun, mereka berdua bertobat dan mendapat pengampunan.
Peristiwa Adam dan penyesalannya cukup populer (baca antara lain QS 7:23), sedangkan "penganiayaan" yang dilakukan oleh Daud dapat terlihat pada kisah dua orang yang bertikai dan datang kepadanya meminta putusan (QS 38:22, dan seterusnya).
Menarik untuk dianalisis bahwa kedua orang yang bertikai itu berkata kepada Daud:
Berilah keputusan antara kami dengan hak/adil dan janganlah menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan lurus.
Dari ucapan kedua orang yang bertikai itu (yang pada hakikatnya tidak bertikai tetapi cara yang dilakukan Tuhan untuk memperingatkan Daud), terlihat betapa Tuhan menekankan pentingnya keadilan sampai-sampai permintaan untuk memberi putusan yang hak diikuti lagi dengan peringatan agar tidak menyimpang dari kebenaran yang pada dasarnya mengandung makna yang sama dengan permintaan pertama --bahkan walaupun Daud telah bertobat dan diterima tobatnya (QS 38:24-25). Namun, perintah untuk berlaku adil yang dikaitkan dengan tidak mengikuti hawa nafsu masih tetap ditekankan:
Wahai Daud, Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi, maka berilah putusan antara manusia dengan hak dan janganlah mengikuti hawa nafsu ... (QS 38:26)
Memberi keputusan yang adil saja dan tidak mengikuti hawa nafsu, belum memadai bagi seorang khalifah. Tetapi, ia harus mampu pula untuk merealisasikan kandungan permintaan kedua orang yang berselisih itu, yakni Wa ihdina ila sawa' al-shirath.
Memahami penggalan ayat ini, dalam kaitannya dengan sifat-sifat terpuji seorang khalifah, baru akan menjadi jelas bila dikaitkan dengan ayat-ayat yang berbicara tentang Imam/a'immah, dalam kaitannya dengan pemimpin-pemimpin yang menjadi teladan dalam kebaikan. Untuk maksud tersebut, terlebih dahulu, kita akan membuka lembaran-lembaran Al-Quran untuk melihat ayat-ayat yang dimaksud.
Kata a'immah terdapat dalam lima ayat Al-Quran. Dua di antaranya dalam konteks pembicaraan tentang pemimpin-pemimpin yang diteladani orang-orang kafir, yakni Al-Taubah ayat 9, dan Al-Qashash ayat 4. Sedangkan tiga lainnya berkaitan dengan pemimpin-pemimpin yang terpuji, yaitu Al-Anbiya' ayat 73, Al-Qashash ayat 5, dan Al-Sajdah ayat 24.
Kalau ayat-ayat di atas diamati, nyatalah bahwa QS 28:5 tidak mengandung informasi tentang sifat-sifat pemimpin. Dan ini berbeda dengan kedua ayat lainnya yang saling melengkapi.
Ada lima sifat pemimpin terpuji yang diinformasikan oleh gabungan kedua ayat tersebut, yaitu:
1. Yahduna bi amrina.
2. Wa awhayna dayhim fi'la al-khayrat.
3. 'Abidin (termasuk Iqam Al-Shalat dan Ita'Al-Zakat).
4. Yuqinun.
5. Shabaru.
Dari kelima sifat tersebut al-shabr (ketekunan dan ketabahan), dijadikan Tuhan sebagai konsideran pengangkatan Wa jaalnahum aimmat lamma shabaru. Seakan-akan inilah sifat yang amat pokok bagi seorang khalifah, sedangkan sifat-sifat lainnya menggambarkan sifat mental yang melekat pada diri mereka dan sifat-sifat yang mereka peragakan dalam kenyataan.
Di atas telah dijanjikan untuk membicarakan arti wa ihdina ila sawa al-shirath (QS 38:26), yang merupakan salah satu sikap yang dituntut dari seorang khalifah, setelah memperhatikan kandungan ayat-ayat yang berbicara tentang a'immat. Dalam surah Shad tersebut, redaksinya berbunyi Wa ihdina ila ..., sedang dalam ayat-ayat yang berbicara tentang a'immat yang dikutip di atas, redaksinya berbunyi Yahduna bi amrina. Salah satu perbedaan pokoknya adalah pada kata yahdi. Yang pertama menggunakan huruf ila, sedang yang kedua tanpa ila. Al-Raghib Al-Isfahani menjelaskan bahwa kata hidayat apabila menggunakan ila, maka ia berarti sekadar memberi petunjuk; sedang bila tanpa ila, maka maknanya lebih dalam lagi, yakni "memberi petunjuk dan mengantar sekuat kemampuan menuju apa yang dikehendaki oleh yang diberi petunjuk". Ini berarti bahwa seorang khalifah minimal mampu menunjukkan jalan kebahagiaan kepada umatnya dan yang lebih terpuji adalah mereka yang dapat mengantarkan umatnya ke pintu gerbang kebahagiaan. Atau, dengan kata lain, seorang khalifah tidak sekadar menunjukkan tetapi mampu pula memberi contoh sosialisasinya.
Hal ini mereka capai karena kebajikan telah mendarah daging dalam diri mereka. Atau, dengan kata lain, mereka memiliki akhlak luhur sebagaimana yang dapat dipahami dari sifat kedua yang disebutkan di atas, yakni Wa awhayna ilayhim fi'la al-khayrat.
Jika seorang berkata, "Yu'jibuni an taqum", maka ini berarti bahwa lawan bicaranya ketika itu belum berdiri dan ia akan senang melihatnya berdiri. Pengertian ini dipahami dari adanya huruf an pada susunan redaksi tersebut. Sedangkan bila dikatakan, "Yu'jibuni qiyamuka", maka redaksi yang tidak menggunakan an ini mengandung arti bahwa lawan bicaranya sudah berdiri dan si pembicara menyampaikan kepadanya kekagumannya atas berdirinya itu. Demikian uraian Abdul-Qadir Al-Jurjani yang disederhanakan dari Dala'il Al-Ijaz.
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa seorang khalifah yang ideal haruslah memiliki sifat-sifat luhur yang telah membudaya pada dirinya.
Yuqinun dan 'abidin merupakan dua sifat yang berbeda. Yang pertama menggambarkan tingkat keimanan yang bersemi di dalam dada mereka, sedangkan yang kedua menggambarkan keadaan nyata mereka. Kedua sifat ini sedemikian jelasnya sehingga tidak perlu untuk diuraikan lebih jauh.
Ruang Lingkup Tugas-tugas Khalifah
Di atas telah diuraikan bahwa seorang khalifah adalah siapa yang diberi kekuasaan mengelola suatu wilayah, baik besar atau kecil. Cukup banyak ayat yang menggambarkan tugas-tugas seorang khalifah. Namun, ada suatu ayat yang bersifat umum dan dianggap dapat mewakili sebagian besar ayat lain yang berbicara tentang hal di atas, yaitu:
Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi ini, niscaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar ... (QS 22:41)
Mendirikan shalat merupakan gambaran dari hubungan yang baik dengan Allah, sedangkan menunaikan zakat merupakan gambaran dari keharmonisan hubungan dengan sesama manusia. Ma'ruf adalah suatu istilah yang berkaitan dengan segala sesuatu yang dianggap baik oleh agama, akal dan budaya, dan sebaliknya dari munkar.
Dari gabungan itu semua, seseorang yang diberi kedudukan oleh Allah untuk mengelola suatu wilayah, ia berkewajiban untuk menciptakan suatu masyarakat yang hubungannya dengan Allah baik, kehidupan masyarakatnya harmonis, dan agama, akal dan budayanya terpelihara.

JaNTuNg dALaM LaUTaN dARaH


SHALAHUDDIM AL-AYYUBI

Salahuddin Ayyubi atau Saladin atau Salah ad-Din (Bahasa Arab: صلاح الدين الأيوبي, Kurdi: صلاح الدین ایوبی) (Sho-lah-huud-din al-ay-yu-bi) (c. 1138 - 4 Maret 1193) adalah seorang jendral dan pejuang muslim Kurdi dari Tikrit (daerah utara Irak saat ini). Ia mendirikan Dinasti Ayyubiyah di Mesir, Suriah, sebagian Yaman, Irak, Mekkah Hejaz dan Diyar Bakr. Salahuddin terkenal di dunia Muslim dan Kristen karena kepemimpinan, kekuatan militer, dan sifatnya yang ksatria dan pengampun pada saat ia berperang melawan tentara salib. Sultan Salahuddin Al Ayyubi juga adalah seorang ulama. Beliau memberikan catatan kaki dan berbagai macam penjelasan dalam kitab hadits Abu Dawud

Memerintah : 1174 M. – 4 Maret-1193 M.
Dinobatkan : 1174 M.
Nama lengkap : Yusuf Ayyubi
Lahir : 1138 M. di Tikrit, Iraq
Meninggal : 4 Maret-1193 M. di Damaskus, Syria
Dimakamkan : Masjid Umayyah, Damaskus, Syria
Pendahulu : Nuruddin Zengi
Pengganti : Al-Aziz
Dinasti : Ayyubid / Ayyubiyyah
Ayah : Najmuddin Ayyub

LATAR BELAKANG

Shalahuddin Al-Ayyubi berasal dari bangsa Kurdi[1] . Ayahnya Najmuddin Ayyub dan pamannya Asaduddin Syirkuh hijrah (migrasi) meninggalkan kampung halamannya dekat Danau Fan dan pindah ke daerah Tikrit (Irak). Shalahuddin lahir di benteng Tikrit, Irak tahun 532 H/1137 M, ketika ayahnya menjadi penguasa Seljuk di Tikrit. Saat itu, baik ayah maupun pamannya mengabdi kepada Imaduddin Zanky, gubernur Seljuk untuk kota Mousul, Irak. Ketika Imaduddin berhasil merebut wilayah Balbek, Lebanon tahun 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub (ayah Shalahuddin) diangkat menjadi gubernur Balbek dan menjadi pembantu dekat Raja Suriah Nuruddin Mahmud. Selama di Balbek inilah, Shalahuddin mengisi masa mudanya dengan menekuni teknik perang, strategi, maupun politik. Setelah itu, Shalahuddin melanjutkan pendidikannya di Damaskus untuk mempelajari teologi Sunni selama sepuluh tahun, dalam lingkungan istana Nuruddin. Pada tahun 1169, Shalahudin diangkat menjadi seorang wazir (konselor). ……….
Di sana, dia mewarisi peranan sulit mempertahankan Mesir melawan penyerbuan dari Kerajaan Latin Jerusalem di bawah pimpinan Amalrik I. Posisi ia awalnya menegangkan. Tidak ada seorangpun menyangka dia bisa bertahan lama di Mesir yang pada saat itu banyak mengalami perubahan pemerintahan di beberapa tahun belakangan oleh karena silsilah panjang anak khalifah mendapat perlawanan dari wazirnya. Sebagai pemimpin dari prajurit asing Syria, dia juga tidak memiliki kontrol dari Prajurit Shiah Mesir, yang dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui atau seorang Khalifah yang lemah bernama Al-Adid. Ketika sang Khalifah meninggal bulan September 1171, Saladin mendapat pengumuman Imam dengan nama Al-Mustadi, kaum Sunni, dan yang paling penting, Abbasid Khalifah di Baghdad, ketika upacara sebelum Shalat Jumat, dan kekuatan kewenangan dengan mudah memecat garis keturunan lama. Sekarang Saladin menguasai Mesir, tapi secara resmi bertindak sebagai wakil dari Nuruddin, yang sesuai dengan adat kebiasaan mengenal Khalifah dari Abbasid. Saladin merevitalisasi perekonomian Mesir, mengorganisir ulang kekuatan militer, dan mengikuti nasihat ayahnya, menghindari konflik apapun dengan Nuruddin, tuannya yang resmi, sesudah dia menjadi pemimpin asli Mesir. Dia menunggu sampai kematian Nuruddin sebelum memulai beberapa tindakan militer yang serius: Pertama melawan wilayah Muslim yang lebih kecil, lalu mengarahkan mereka melawan para prajurit salib.
Pada usia 14 tahun Shalahuddin ikut kaum kerabatnya ke Damaskus, menjadi tentara Sultan Nuruddin, penguasa Suriah waktu itu. Pangkatnya naik setelah tentara Zangi yang dipimpin oleh pamannya sendiri, Shirkuh, berhasil memukul mundur pasukan Salib (crusaders) dari perbatasan Mesir dalam serangkaian pertempuran. Pada tahun 1169 Shalahuddin diangkat menjadi Panglima dan Gubernur (wazir) menggantikan pamannya yang wafat. Setelah berhasil mengadakan pemulihan dan penataan kembali sistem perekonomian dan pertahanan Mesir, Shalahuddin mulai menyusun strateginya untuk membebaskan Baitul Maqdis dari cengkeraman tentara Salib.
Pada bulan September 1174, Shalahuddin menekan penguasa Dinasti Fatimiyyah supaya tunduk dan patuh pada Khalifah Daulat Abbasiyyah di Baghdad. Tiga tahun kemudian, sesudah kematian Sultan Nuruddin, Shalahuddin melebarkan sayap kekuasaannya ke Suriah dan utara Mesopotamia. Satu persatu wilayah penting berhasil dikuasinya: Damaskus (pada tahun 1174), Aleppo atau Halb (1138) dan Mosul (1186).
Sebagaimana diketahui, berkat perjanjian yang ditandatangani oleh Khalifah Umar bin Khattab dan Uskup Sophronius menyusul jatuhnya Antioch, Damascus, dan Yerusalem pada tahun 636 M, orang-orang Islam, Yahudi dan Nasrani hidup rukun dan damai di Suriah dan Palestina. Mereka bebas dan aman menjalankan ajaran agama masing-masing di kota suci tersebut.

PERANG SALIB

Namun kerukunan yang telah berlangsung selama lebih 460 tahun itu kemudian porak-poranda akibat berbagai hasutan dan fitnah yang digembar-gemborkan oleh seorang patriarch bernama Ermite. Provokator ini berhasil mengobarkan semangat Paus Urbanus yang lantas mengirim ratusan ribu orang ke Yerusalem untuk Perang Salib Pertama. Kota suci ini berhasil mereka rebut pada tahun 1099. Ratusan ribu orang Islam dibunuh dengan kejam dan biadab, sebagaimana mereka akui sendiri: “In Solomon’s Porch and in his temple, our men rode in the blood of the Saracens up to the knees of their horses�.
Menyadari betapa pentingnya kedudukan Baitul Maqdis bagi ummat Islam dan mendengar kezaliman orang-orang Kristen di sana, maka pada tahun 1187 Shalahuddin memimpin serangan ke Yerusalem. Orang Kristen mencatatnya sebagai Perang Salib ke-2. Pasukan Shalahuddin berhasil mengalahkan tentara Kristen dalam sebuah pertempuran sengit di Hittin, Galilee pada 4 July 1187. Dua bulan kemudian (Oktober tahun yang sama), Baitul Maqdis berhasil direbut kembali.
Berita jatuhnya Yerusalem menggegerkan seluruh dunia Kristen dan Eropa khususnya. Pada tahun 1189 tentara Kristen melancarkan serangan balik (Perang Salib ke-3), dipimpin langsung oleh Kaisar Jerman Frederick Barbarossa, Raja Perancis Philip Augustus dan Raja Inggris Richard ‘the Lion Heart’.
Perang berlangsung cukup lama. Baitul Maqdis berhasil dipertahankan, dan gencatan senjata akhirnya disepakati oleh kedua-belah pihak. Pada tahun 1192 Shalahuddin dan Raja Richard menandatangani perjanjian damai yang isinya membagi wilayah Palestina menjadi dua: daerah pesisir Laut Tengah bagi orang Kristen, sedangkan daerah perkotaan untuk orang Islam; namun demikian kedua-belah pihak boleh berkunjung ke daerah lain dengan aman.
Setahun kemudian, tepatnya pada 4 Maret 1193, Shalahuddin menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ketika meninggal dunia di Damaskus, Shalahuddin tidak memiliki harta benda yang berarti, namun namanya harum terukir dalam sejarah dan jasanya dikenang sepanjang zaman.

PARCEL UNTUK MUSUH

Banyak kisah-kisah unik dan menarik seputar Shalahuddin al-Ayyubi yang layak dijadikan teladan, terutama sikap ksatria dan kemuliaan hatinya. Di tengah suasana perang, ia berkali-kali mengirimkan es dan buah-buahan untuk Raja Richard yang saat itu jatuh sakit.
Ketika menaklukkan Kairo, ia tidak serta-merta mengusir keluarga Dinasti Fatimiyyah dari istana-istana mereka. Ia menunggu sampai raja mereka wafat, baru kemudian anggota keluarganya diantar ke tempat pengasingan mereka. Gerbang kota tempat benteng istana dibuka untuk umum. Rakyat dibolehkan tinggal di kawasan yang dahulunya khusus untuk para bangsawan Bani Fatimiyyah. Di Kairo, ia bukan hanya membangun masjid dan benteng, tapi juga sekolah, rumah-sakit dan bahkan gereja.
Shalahuddin juga dikenal sebagai orang yang saleh dan wara‘. Ia tidak pernah meninggalkan shalat fardu dan gemar shalat berjamaah. Bahkan ketika sakit keras pun ia tetap berpuasa, walaupun dokter menasihatinya supaya berbuka. “Aku tidak tahu bila ajal akan menemuiku,� katanya.
Shalahuddin amat dekat dan sangat dicintai oleh rakyatnya. Ia menetapkan hari Senin dan Selasa sebagai waktu tatap muka dan menerima siapa saja yang memerlukan bantuannya. Ia tidak nepotis atau pilih kasih. Pernah seorang lelaki mengadukan perihal keponakannya, Taqiyyuddin. Shalahuddin langsung memanggil anak saudaranya itu untuk dimintai keterangan.
Pernah juga suatu kali ada yang membuat tuduhan kepadanya. Walaupun tuduhan tersebut terbukti tidak berasas sama sekali, Shalahuddin tidak marah. Ia bahkan menghadiahkan orang yang menuduhnya itu sehelai jubah dan beberapa pemberian lain. Ia memang gemar menyedekahkan apa saja yang dimilikinya dan memberikan hadiah kepada orang lain, khususnya tamu-tamunya.
Ia juga dikenal sangat lembut hati, bahkan kepada pelayannya sekalipun. Pernah ketika ia sangat kehausan dan minta dibawakan segelas air, pembantunya menyuguhkan air yang agak panas. Tanpa menunjukkan kemarahan ia terus meminumnya. Kezuhudan Shalahuddin tertuang dalam ucapannya yang selalu dikenang: “Ada orang yang baginya uang dan debu sama saja.�
Ayubiyyah atau Dinasti Ayubiyyah adalah dinasti Muslim dari bangsa Kurdi[1] yang menguasai Mesir, Suriah, Yaman (kecuali Pegunungan Utara), Diyar Bakr, Makkah, Hijaz dan Irak utara pada abad ke-12 dan 13. Ayubiyyah juga dikenali sebagai Ayyubid, Ayoubites, Ayyoubites, Ayoubides atau Ayyoubides.
Dinasti Ayubiyyah didirikan oleh Salahuddin Al-Ayubbi yang bersama Shirkuh menaklukan Mesir untuk Raja Zengiyyah Nuruddin dari Damaskus pada 1169. Nama ini berasal dari ayah Salahuddin, Najm ad-Din Ayyub. Pada tahun 1171, Salahuddin menggulingkan Khalifah Fatimiyyah terakhir. Ketika Nur ad-Din meninggal pada 1174, Salahuddin menyatakan perang terhadap anak lelaki muda Nuruddin, As-Salih Ismail, dan menguasai Damaskus. Ismail melarikan diri ke Aleppo, dimana ia terus berjuang melawan Salahuddin hingga terbunuh pada 1181. Setelah itu, Salahuddin mengambil alih kawasan pedalaman hingga seluruh Suriah, dan menakluki Jazirah di Irak Utara. Pencapaian terbesarnya adalah mengalahkan tentara salib dalam Pertempuran Hattin dan penaklukan Baitulmuqaddis pada 1187. Salahuddin meninggal pada 1193 setelah menandatangani perjanjian dengan Richard I dari Inggris yang memberi kawasan pesisir dari Ashkelon hingga Antiokhia kepada tentara salib.
Setelah kematian Salahuddin, anak lelakinya berebut pembagian kekaisaran, hingga pada 1200 adik Salahuddin, Al-Adil, berhasilmengambil alih atas seluruh kekaisaran. Proses yang sama terjadi pada kematian Al-Adil pada 1218, dan pada anak lelakinya Al-Kamil yang meninggal pada 1238, tetapi Ayubiyyah tetap kuat. Pada 1250 Turanshah, Sultan Mesir Ayubiyyah terakhir, telah dibunuh dan digantikkan oleh jenderal-budak Mamluknya Aibek, yang mendirikan Dinasti Bahri.
Ayyubiyyah terus menguasai Damaskus dan Aleppo hingga tahun 1260 ketika mereka dikuasai oleh Mongol dan setelah kekalahan mongol di Ain Jalut, seluruh Suriah jatuh ke Mamluk.

;;
Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template