Minggu, 07 Juni 2009

Madzhab Liberalisme

Seperti telah disebut di atas, para pembaru mencoba mendobrak stagnasi dengan melakukan salah satu di antara dua pilihan. Mereka kembali secara ketat pada teks-teks al-Qur’an dan al-hadits atau mereka berusaha menemukan ruh atau semangat dari ajaran al-Qur’an dan al-hadits. Yang pertama kita sebut skripturalisme (sudah dibicarakan) dan kedua, karena berusaha secara bebas untuk menggunakan penalaran, kita sebut liberalisme. Walaupun saya tidak akan membahas pokok-pokok pikiran kaum liberal Islam seperti yang dipaparkan Leonard Binder, saya akan mengutip deskripsinya tentang kaum liberalis Islam.

For Islamic liberals, the language of the Qur’an is coordinate with the essence of revelation, but the content and the meaning of revelation is not essentially verbal. Since the words of the Qur’an do not exhaust the meaning of revelation, there is a need for an effort at understanding which is based on the words, but which goes beyond them, seeking that which is represented or revealed by language.

Jadi ciri khas kaum liberalis ialah upaya untuk menangkap esensi wahyu; makna wahyu di luar arti lahiriah dari kata-kata. Mereka bersedia meninggalkan makna lahir dari teks untuk menemukan makna dalam dari konteks. Di bawah ini saya akan mengulangi lagi akar pemikiran kaum liberalis dengan mengutip apa yang pernah saya tulis pada pengantar buku Islam dan tantangan Modernitas. Setelah itu, secara khusus kita akan mengambil contoh pemikiran Ibrahim Hosen dan Fazlur Rahman untuk menggambarkan pokok-pokok pemikiran kaum liberalis. Seperti biasa, pada akhirnya saya akan mengajukan kritik.

Sejarah Madzhab Liberalisme

Fiqh kaum liberal dapat dilacak pada madzhab ahl al-ra’y di kalangan para sahabat Nabi. Fiqh al-ra’y sebenarnya sejajar dengan tafsir al-Qur’an bi al-dirayat, tapi kaum liberalis modern justru mengambil inspirasi dari tafsir bi al-ma’tsur. Karena itu, sesudah mengutip sejarah ijtihad bi al-ra’y saya akan mengutip juga perkembangan tafsir bi al-ma’tsur.

Tradisi Ijtihad bi ‘L-Ra’y

Ketika Ibrahim Hosen berbicara tentang ta’aqquli dan ta’abbudi, dan ketika Rahman mengulas pemikiran modernis dan fundamentalis, keduanya menggaungkan kembali perbedaan pendapat para sahabat tentang sunnah Rasullah saw. Apakah Nabi Muhammad saw berijtihad? Banyak para sahabat membagi perintah-perintah Nabi ke dalam dua bagian. Yaitu yang berhubungan dengan ibadah ritual (kelak disebut huquq Allah) dan yang berhubungan dengan masalah-masalah sosial (kelak disebut huquq al-’ibad). Mereka menerima yang pertama secara ta’abbudi, dan yang kedua secara ta’aqquli. Pada bagian kedua, Rasulullah saw sering berijtihad; ijtihadnya boleh jadi benar atau salah. Karena itu, di sini para sahabat tidak merasa terikat dengan sunnah. Bukankah Nabi mengatakan, “Kamu lebih tahu urusan duniamu?”

Bukhari meriwayatkan peristiwa yang oleh Ibn ‘Abbas disebut sebagai “tragedi hari Kamis”. Dalam keadaan sakit, Nabi menyuruh sahabatnya mengambil dawat dan pena untuk menuliskan wasiatnya. “Dengan ini kalian tidak akan sesat selamanya”‘ kata Nabi. Umar berkata, “Nabi saw dalam keadaan sakit parah. Di tangan kalian ada kitab Allah. Cukuplah buat kita kitab Allah itu.” Tampaknya Umar berpendapat bahwa kondisi sakit Nabi melahirkan ijtihad Nabi yang tidak perlu diikuti.

Para ahli hadits meriwayatkan berbagai peristiwa ketika ijtihad Nabi berbeda dengan ijtihad ‘Umar; dan Allah membenarkan ijtihad ‘Umar. Nabi menginginkan agar para tawanan Badar dibebaskan dengan tebusan, sedangkan ‘Umar mengusulkan untuk membunuh mereka. Nabi hendak menshalatkan ‘Abdullah ibn Ubayy, tapi Umar melarangnya. Dalam kasus-kasus ini, wahyu selalu turun membenarkan Umar. Diriwayatkan bahwa Nabi saw, disertai Abu Bakar pernah menangis terisak-isak menyesali kekeliruan ijtihadnya. ‘Umar bertanya: “Apa yang menyebabkan Anda dan sahabat Anda menangis? Kalau ada sesuatu yang patut aku tangisi, aku akan menangis. Kalau tidak ada tangisan, aku akan berupaya menangis seperti tangisan Anda.” Nabi kemudian menceritakan tentang wahyu yang membenarkan Umar dan menyalahkan Nabi. “Seandainya azab turun,” kata Nabi, “tidak akan ada yang selamat kecuali Umar ibn Khaththab.”

Hadits-hadits di atas –walaupun keabsahannya harus kita teliti secara kritis– merupakan justifikasi terhadap peluang menggunakan ra’yu dalam menghadapi sunnah (yang berasal dari ijtihad Nabi). Ketika Abu Bakar dan Umar meninggalkan pasukan Usamah, padahal Nabi memerintahkan mereka untuk berada di dalamnya, Ibn Abi al-Hadid membenarkan kedua sahabat itu. “Sesungguhnya Nabi saw mengirimkan pasukan itu berdasarkan Ijtihad dan bukan berdasarkan wahyu yang diharamkan membantahnya.”

Karena Umar adalah primadona dari kelompok pertama para sahabat ini, kemudian kita pun menyebut madzhab pemikiran mereka sebagai madzhab Umari. Sebagai lawan mereka –dalam pemikiran– adalah madzhab Alawi, yang terdiri atas sahabat-sahabat yang berkumpul di sekitar Ali ibn Abi Thalib. Mereka tidak membedakan huquq al-’ibad dan huquq Allah dalam instruksi-instruksi Nabi yang bernilai tasyri’. Tidak ada ijtihad Nabi. “Ia tidak berbicara berdasarkan hawa nafsunya, tetapi ia hanya berbicara berdasarkan wahyu yang diturunkan kepadanya.” (QS 53:3).

Ketika Umar dan Utsman –pada zamannya– masing-masing melarang haji tamattu, Ali menentangnya. Ibn Katsir, dalam kitab tarikhnya, menulis: “Para sahabat r.a. sangat takut kepada Umar dan tidak menemukan orang yang melawan pendapat Umar kecuali Ali ibn Abi Thalib, yang berkata: “Barang siapa melakukan tamattu’, ia sudah menjalankan kitab Allah dan sunnah NabiNya.” Ketika Ali menegur Utsman yang melarang tamattu’, Utsman berkata: “Aku tidak melarangnya. Ini hanyalah ra’yu yang aku pegang. Kalau orang mau, silakan ambil ra’yu-ku. Kalau tidak, tinggalkan saja.”

Umar juga diriwayatkan berkata: “Inilah ra’yu Umar. Kalau benar, dari Allah dan kalau salah, dari Umar.” Abdullah ibn Mas’ud berkata seperti itu juga: “Aku mengatakan ini dengan ra’yuku. Bila benar, ia berasal dari Allah dan bila salah ia berasal dari setan. Allah dan Rasul-Nya terlepas darinya.” Para tabi’in dari Kufah kelak berguru kepada Abdullah ibn Mas’ud, sehingga lahirlah mazhab Kufah yang menitik-beratkan Fiqh al-ra’y. Sementara itu, Ali tetap tinggal di Madinah, sebelum ia memindahkan ibu kota ke Kufah pada masa kekhalifahannya. Ketika Utsman melarang menggabungkan haji dengan ‘umrah, ia menegur Ali: “Kau lakukan itu padahal aku melarangnya?” Ali menjawab: “Aku tidak akan meninggalkan sunnah Rasulullah saw karena (ra’yu) salah seorang manusia.” Kita pun kemudian mengetahui bahwa di Madinah, daerah Hijaz, berkembanglah madzhab Hijaz, yang menekankan Fiqh al-atsar.

Fiqh al-ra’y makin diperteguh dengan kecenderungan umum madzhab Umari untuk mengabaikan penulisan hadits. ‘Aisyah melaporkan: “Ayahku telah mengumpulkan 500 hadits Nabi saw. Pada suatu pagi, ia datang menemuiku dan berkata, “ambilkan hadits-hadits yang ada padamu.” Lalu saya berikan kepadanya. Ia membakarnya dan berkata: “Saya khawatir, saya mati, dan meninggalkan hadits-hadits itu padamu.” Abu Bakar juga pernah mengumpulkan orang setelah Nabi wafat, dan berkata: “Kalian meriwayatkan dari Rasulullah saw hadits-hadits yang kalian perselisihkan. Nanti, manusia sesudahmu akan lebih daripada itu. Janganlah meriwayatkan sesuatu pun dari Rasulullah saw. Bila ada yang bertanya kepada kalian, jawablah: “Di antara Anda dan kami ada Kitab Allah, halalkan yang halal dan haramkan yang haram.”. Walaupun begitu, periwayatan hadits tetap berlangsung sampai zaman Umar. Umar menyuruh mengumpulkan hadits-hadits itu dan memerintahkan untuk membakarnya. Alasan Umar: “Aku khawatir hadits-hadits itu akan memalingkan orang dari Kitab Allah.”

Tradisi pengabaian penulisan hadits –dan sekaligus pembakarannya– dilanjutkan oleh tabi’in. Rasul Ja’farian menyebutkan nama-nama ulama tabi’in yang melarang penulisan hadits, yaitu, Abu Burdah, Ashim, Abu Sa’id, Sa’id ibn Jubair, Ibrahim al-Nakha’i, dan lain-lain. Al-Hasan ibn Abi al-Hasan –menjelang kematiannya– memerintahkan pembantunya untuk menyalakan api pembakaran. Ke dalamnya, ia lemparkan semua tulisan, kecuali satu buku saja. Akibatnya, khusus di kalangan ahl al-Sunnah, penulisan hadits terlambat sekitar dua abad. Konon, yang pertama kali melakukan tadwin hadits adalah Ibn Syihab al-Zahri atas perintah Umar ibn Abd al-Aziz.

Sejarah singkat madzhab ‘Umari ini menunjukkan tiga ciri khasnya: (1) madzhab ini memusatkan perhatian utamanya –dan seringkali dengan mengabaikan yang lain– kepada al-Qur’an. “Hasbuna Kitab Allah,” kata Umar; (2) Madzhab ini mengutamakan ra’yu ketimbang al-Sunnah; dan (3) Madzhab ini menekankan aspek maqashid syar’iyyah atau kemaslahatan umat untuk menetapkan hukum, dan kurang terikat pada zhawahir (makna tekstual) dan nash. Untuk menangkis tuduhan bahwa Umar sering meninggalkan nash-nash al-Qur’an secara sengaja, Abu Zahrah menulis: “Tidak seorang sahabat pun meninggalkan nash demi ra’yunya atau kemaslahatan yang dipandangnya. Sesungguhnya maslahat yang difatwakan sahabat tidak bertentangan dengan nash, tetapi mengaplikasikan nash secara baik, berdasarkan pemahaman yang benar akan maksud-maksud syara’.

Di kalangan madzhab-madzhab ahl al-Sunnah, fiqh al-ra’y dan fiqh al-atsar ini tidak terpilah tegas, tetapi membentuk kontinum. Madzhab-madzhab itu berbeda dalam intensitas penggunaan nash dan ra’yu. Ali Yafie melukiskannya sebagai lingkaran-lingkaran: “Lingkaran paling dalam (pertama) merupakan kelompok yang paling sedikit menggunakan ra’yunya. Prinsip mereka dalam pengambilan hukum, tak memperkenankan penggunaan akal. Kaidah mereka: la ra’yu fi al-din (tidak ada tempat rasio dalam agama). Madzhab yang menggunakan kaidah semacam ini disebut madzhab al-Zhahiri, karena diprakarsai Dawud al-Zhahiri yang dilanjutkan Ibn Hazm dalam kitabnya al-Muhalla. Disadari atau tidak, madzhab ini sebenarnya juga menggunakan rasio. Hanya intensitas penggunaannya sangat sedikit.

“Lingkaran yang kedua, merupakan madzhab yang menggunakan rasio agak lebih intens daripada kelompok pertama tadi. Mazhab ini disebut mazhab Hanbali yang dipelopori Imam Ahmad ibn Hanbal. Doktrin mereka menyatakan bahwa hadits dha’if harus lebih diprioritaskan daripada akal. Madzhab ini banyak dilaksanakan di Saudi Arabia.

“Lingkaran ketiga, kelompok yang disebut madzhab Maliki yang dipelopori Imam Malik. Doktrinnya menyatakan bahwa rasio harus diperhatikan guna pertimbangan kemaslahatan. Kaidah mereka adalah al-Mashalih al-Mursalah.

“Lingkaran keempat adalah madzhab Syafi’i yang dipelopori Imam Syafi’i. Dalam proses pengambilan hukum, madzhab ini lebih banyak menggunakan analogi atau qiyas.

“Sedangkan kelompok kelima, terakhir, adalah mazhab yang frekuensi penggunaan akalnya lebih banyak. Akal lebih dipentingkan dalam proses pengambilan hukum daripada hadits. Madzhab ini dipelopori oleh Imam Hanafi.”

Untuk memberikan contoh madzhab yang paling “Umari”, marilah kita melihat madzhab Hanafi. Ketika Raqabah ibn Musqilah ditanya tentang Abu Hanifah, ia menjawab: “Abu Hanifah adalah orang paling pandai tentang apa yang sudah terjadi.” Yang dimaksud dengan apa yang sudah terjadi adalah hadits-hadits Nabi. Apa yang belum terjadi adalah ketetapan hukum berdasarkan qiyas.

Abu Hanifah memang hanya sedikit meriwayatkan hadits. Kata Ibn Khaldun, hal itu dikarenakan Abu Hanifah sangat memperketat syarat-syarat penerimaan hadits. Kata Dr. Ahmad Amin, kurangnya hadits pada Abu Hanifah menunjukkan bahwa ia tidak merasa puas dengan menyampaikan hadits saja; ia menguji hadits dengan pertimbangan psikologis dan konteks sosial. Abu Hanifah pernah dilaporkan berkata: “Seandainya Rasulullah berjumpa denganku, ia akan mengambil banyak pendapatku. Bukankah agama itu ra’yu yang baik?” Barangkali ini penegasannya tentang keharusan nash tunduk pada analisis rasional. Simaklah riwayat yang diceritakan Dr. Ali Hasan Abd al-Qadir: “Musuh-musuh Abu Hanifah menuduhnya tidak memberikan perhatian besar pada hadits. Ia memprioritaskan ra’yu dalam mengeluarkan keputusan fiqh. Ia menolak banyak hadits demi ra’yu. Abu Shalih al-Fura menuturkan, “aku mendengar Yusuf ibn Asbath berkata, Abu Hanifah menolak 400 atau lebih hadits Nabi saw. … Kataku: “Berikan sebagian contohnya.” Katanya: “Rasulullah berkata, kuda mendapat dua bagian, prajurit mendapat satu bagian. Kata Abu Hanifah: “Aku tidak akan menjadikan bagian binatang lebih banyak daripada bagian seorang Mukmin.” Rasulullah melakukan isy’ar (melukai punggung unta) sebelum menyembelih hewan kurbannya. Kata Abu Hanifah: “Isy’ar adalah penganiayaan.” Nabi bersabda: “Dua jual beli dengan khiyar sebelum keduanya berpisah.” Kata Abu Hanifah: “Bila jual beli wajib, tidak ada khiyar.” Nabi mengundi istri-istrinya kalau mau bepergian. Kata Abu Hanifah: “Undian itu judi.” Kata mereka: “Pada zaman Abu Hanifah, ada empat orang sahabat. Abu Hanifah tidak tertarik untuk menemui mereka.” Ibn Abu Syaibah dalam bukunya, pada bab khusus, menyebut hadist-hadist yang ditolak Abu Hanifah dan mencapai 150 hadits.

Salah satu murid terkemuka dari Abu Hanifah adalah Abu Yusuf. Ia memegang jabatan qadhi pada masa-masa kekhalifahan ‘Abbasiyyah, antara lain pada masa al-Mahdi, al-Hadi dan al-Rasyid. Lewat tangan-tangan kekuasaan, madzhab Hanafi tersebar ke seluruh kekuasaan Islam. Daerah-daerah madzhab Hanafi antara lain Mesir dan Pakistan. Di Mesir, Ibrahim Hosen mereguk ilmunya. Di Pakistan, Fazlur Rahman dilahirkan. Tidak heran kalau Fazlur Rahman sering –bahkan paling sering– menyebut Abu Yusuf, ketika merumuskan metodologi ijtihadnya. Ia memuji Abu Yusuf karena memberikan penafsiran yang situasional kepada hadits yang “berdiri sendiri”, menerima hadits dengan sikap kritis, dan menetapkan “sunnah yang dikenal baik” sebagai kriteria terhadap “semangat dan sikap kolektif” dari hadits.

Kita tidak akan membicarakan pengaruh Abu Yusuf terhadap metodologi Rahman (dan juga Hosen). Uraian di atas diberikan untuk menjelaskan dasar-dasar pemikiran Rahman pada perkembangan pemikiran Islam klasik. Cukuplah dikatakan bahwa dengan mempelajari fiqh-fiqh klasik, kita akan terkejut menemukan bahwa klaim orisinalitas pembaruan Rahman –yang berulangkali disebut Taufik Adnan Amal dalam bukunya, Tafsir Kontekstual– hanya dapat diterima oleh orang yang tidak mempunyai dasar dalam pemikiran Islam tradisional. Rahman, bagi madzhab Hanafi, tidak berbeda dari Ibn Taimiyah bagi madzhab Hanbali. (Untuk menggembirakan kita semua kedua-duanya berhak disebut Syaikh al-Islam). Karena itu, kritik terhadap Rahman juga dapat dilacak pada kritik fuqaha al-atsar terhadap fuqaha al-ra’y; sebagaimana kritik Rahman terhadap hadits (sunnah) dapat ditelusuri pada kritik fuqaha al-ra’y terhadap fuqaha al-atsar.

Kita akan membicarakan kritik pembaruan Rahman di akhir tulisan ini. Sebelum sampai ke situ, ada baiknya kita juga meninjau perkembangan metodologi penafsiran al-Qur’an, sebagai latar belakang teoretis dalam memahami penafsiran al-Qur’an yang dirumuskan oleh Rahman.

Tafsir bi ‘L-Riwayat dan Tafsir bi ‘L-Dirayat

Fiqh al-atsar mempunyai tandingan dalam tafsir bi al-riwayat, sebagaimana fiqh al-ra’y mempunyai persamaannya dalam tafsir bi ‘l-dirayat. Tafsir –menurut Muhammad Ali al-Shabuni– adalah ilmu untuk memahami Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad saw, dan menjelaskan maknanya serta menggali hukum-hukum dari hikmahnya. Bila tafsir itu diperoleh dengan menukil penjelasan dari al-Qur’an lagi, al-Hadits, pendapat sahabat dan tabi’in, maka tafsir itu disebut tafsir bi ‘l-riwayat atau tafsir bi ‘l-ma’tsur. Bila tafsir itu berpijak pada ijtihad mufasir –dengan mengerahkan kemampuan nalar dan/atau intuisinya– maka kita menyebutnya tafsir bi al-dirayah atau tafsir bi ‘l-ra’y.

Di antara kedua jenis tafsir itu, para mufasir menganggap taisir bi ‘l-riwayat adalah yang paling dapat dipercaya. Di antara jenis-jenis tafsir bi ‘l-riwayat, tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an adalah yang paling baik. Sesudah itu, baru tafsir al-Qur’an dengan al-Sunnah (misalnya, lewat asbab al-nuzul). Rupanya, dari sinilah Rahman mengajak kita untuk menafsirkan al-Qur’an dengan melihat al-Qur’an secara keseluruhan dan dengan melihat “sebab-sebab pewahyuan”. Anehnya, tafsir bi ‘l-riwayat seperti ini diambil Rahman ketika berbicara tentang hukum Islam dan ditinggalkan Rahman ketika membahas aspek teologis dan eskatologis ajaran Islam. Untuk yang terakhir ini, Rahman hampir sepenuhnya berpijak pada tafsir bi ‘l-dirayat. Untuk mengapresiasi metode penafsiran Rahman, kemusykilan kedua penafsiran ini akan kita lihat.

Pertama kali, kita akan melihat problematik al-Qur’an yufassir ba’dhuhu bad’dhan, yang menjadi pijakan Rahman. Selanjutnya, kita akan melacak kemusykilan asbab al-nuzul, yang –menurut Rahman– dapat mengungkapkan latar belakang situasional, membedakan ketetapan legal dari sasaran dan tujuan al-Qur’an,
serta menggali prinsip-prinsip universal ajaran Islam. Akhirnya, kita akan menelusuri akar-akar penafsiran Rahman pada tafsir bi ‘l-dirayat.

Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an mempunyai basis dalam petunjuk-petunjuk al-Qur’an sendiri (QS 11:1; 7:52; 2:185) dan al-Sunnah. Nabi saw menafsirkan kata zhulm dalam, wa lam yalbisu imanabum bi zhulm (QS 6:82) sebagai syirk berdasarkan ayat inn al-syirk la-zhulm ‘azhim (QS 31:13). Tradisi Nabi ini dilanjutkan oleh para sahabat. Ibn Abbas menafsirkan dua kematian dan dua kehidupan dalam surah Ghafir ayat 11 dengan merujuk kepada surah al-Baqarah ayat 28. Semula manusia mati, ketika berada dalam tulang sulbi orang tua mereka. Kemudian Allah menghidupkan mereka di dunia. Setelah itu Allah mematikan mereka dan menghidupkan mereka kembali pada Hari Kiamat. Ali ibn Abi Thalib menyimpulkan bahwa waktu minimal kehamilan adalah enam bulan, dari penafsiran QS 31:14 dengan QS 46:15.

Banyak kitab tafsir mengaku menggunakan metoda ini. Abd al-Karim al-Khathib al-Mishri bahkan menamai kitab tafsirnya al-Tafsir al-Qur’ani li al-Qur’an. Bila kita teliti kitab-kitab itu, kita akan menemukan prosedur penafsiran Qur’ani yang bermacam-macam. Paling tidak, kita dapat membaginya ke dalam kelompok: tafsir Qur’ani yang murattab (berdasarkan urutan ayat dari al-Fatihah sampai al-Nas) dan tafsir Qur’ani maudhu’i (berdasarkan tema-tema atau topik-topik tertentu)

Untuk mengetahui prosedur penafsiran qurani yang murattab, kita uraikan jalan yang ditempuh oleh al-Thabathaba’i, dalam Tafsir al-Mizan.

Pertama, “maka ayat-ayat al-Qur’an dilihat dari konteks ayat-ayat itu” (siyaq al-ayat). Yang dimaksud dengan konteks adalah “semua yang mengungkapkan (makna) lafadz yang ingin kita pahami dari petunjuk-petunjuk yang lain, baik yang bersifat lafdziyah, seperti kata-kata yang membentuk kalimat tunggal yang berkaitan dengan lafadz yang ingin kita pahami, atau bersifat haliyah, seperti kasus-kasus atau fenomena yang menjadi petunjuk bagi topik yang dibicarakan.” Misalnya, ayat “Dan Allah menciptakan kamu serta apa yang kamu perbuat” (QS 37:96). Tanpa melihat konteks ayat, kita akan terjatuh ke dalam paham Jabbariyah. Ayat ini terdapat dalam kisah ucapan Ibrahim kepada para penyembah berhala. Apakah kamu menyembah barang yang kamu pahat, (QS 37:95), padahal Allah menciptakan kamu serta apa yang kamu perbuat (QS 37:96). Jadi jelas. Bahwa “apa yang kamu perbuat” adalah berhala-berhala itu.

Kedua, “ayat-ayat lain dipergunakan untuk memahami ayat-ayat yang mujmal atau sama, mempermudah makna yang sulit, atau menjelaskan istilah-istilah yang dipergunakan dalam al-Qur’an.” Yang dimaksud dengan “khalifah” dalam surah al-Baqarah ayat 30 tidak terbatas pada Adam, tetapi meliputi anak-cucunya, dengan melihat surah al-A’raf ayat 69, Yunus ayat 14, dan al-Naml ayat 62. Yang dimaksud dengan kata al-mustaqar dalam surah al-Qiyamah ayat 12 adalah “tempat kembali” dengan melihat surah al-Insyiqaq ayat 6, al-’Alaq ayat 8, al-Najm ayat 42, dan al-Qhashash ayat 88.

Tafsir maudhu’i baru muncul belakangan. Perbedaan antara tafsir maudhu’i dengan tafsir murattab mirip dengan perbedaan antara thesaurus dengan dictionary. Tafsir maudhu’i dimulai dari topik, kemudian dikumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan topik tersebut. Pengantar pada tafsir ini –sepanjang pengetahuan saya dari kalangan kaum Muslim– ditulis oleh Muhammad al-Baqir al-Abthahi. 26. Ja’far Subhani menulis serial mafahim al-Qur’an (sampai sekarang sudah selesai lima jilid), dan menjelaskan metodenya sebagai berikut: “… (Kita) kumpulkan setiap ayat yang berkaitan dengan pengertian tertentu dan topik tertentu, dalam satu tempat. Ayat-ayat itu kemudian disusun dan dirangkai begitu rupa sehingga dihasilkan kesatuan pandangan yang lengkap dan kesatuan pemikiran yang menghimpun dan meliputi seluruh ayat tersebut. Kadang-kadang ayat-ayat yang berkaitan dengan topik tertentu tersebar pada surah-surah yang berbeda atau pada tempat-tempat yang berbeda dalam surah yang sama. Al-Qur’an menunjukkan dalam setiap surah atau setiap tempat, salah satu aspek dari topik tertentu itu.

“… Kita memperoleh manfaat lain dari pengumpulan ayat-ayat yang berkaitan dengan topik tertentu dengan tetap berpijak pada pandangan Qur’ani yang utuh tentang topik tersebut. Seringkali kita mengalami kesulitan untuk memahami ayat atau mengetahui tujuannya karena jarak kita yang jauh dari zaman wahyu, dan karena kita tidak mengetahui konteks turunnya ayat itu atau petunjuk-petunjuk situasional yang berlaku pada masyarakat Islam saat itu. Mengumpulkan ayat-ayat dalam hubungannya satu sama lain, dapat membantu kita dalam menghilangkan kekaburan dan ketidakjelasan.”

Pokok-Pokok Pemikiran Madzhab Liberalisme

Pendapat Prof. Ibrahim Hosen, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ini pernah mengajukan saran-saran bagi pembaruan pemikiran keagamaan di Indonesia. Ia mengusulkan enam hal. Pertama, kita harus meninggalkan pemahaman harfiah terhadap al-Qur’an dan menggantinya dengan pemahaman berdasarkan semangat dan jiwa al-Qur’an. Kedua, kita harus mengambil sunnah Rasul dari segi jiwanya untuk tasyri al-ahkam dan memberikan keleluasaan sepenuhnya untuk mengembangkan teknik dan pelaksanaan masalah-masalah keduniawian. Ketiga, kita harus mengganti pendekatan ta’abbudi terhadap nash-nash dengan pendekatan ta’aqquli. Keempat, kita harus melepaskan diri dari masalikul’illah gaya lama dan mengembangkan perumusan ‘illat hukum yang baru. Kelima, kita harus menggeser perhatian dari masalah pidana yang ditetapkan oleh nash kepada tujuan pemidanaan. Terakhir, kita harus mendukung hak pemerintah untuk mentakhshish umumnya nash dan membatasi muthlaqnya.

Tafsir Kontekstual Fazlur Rahman

Rahman dalam Tema Pokok al-Qur’an memperinci metodologi penafsiran al-Qur’an dalam tiga langkah. Pertama, pendekatan historis untuk menemukan makna teks; kedua, pembedaan antara ketetapan legal dengan sasaran dan tujuan al-Qur’an; ketiga, pemahaman sasaran al-Qur’an dengan memperhatikan latar belakang sosiologisnya. Dalam perkembangan pemikirannya yang kemudian, ketiga langkah ini merupakan langkah pertama dalam perumusan prinsip-prinsip hukum Islam; yaitu, bergerak dari yang khusus kepada yang umum. Dari ketiga langkah tersebut di atas, kita harus sanggup menyimpulkan prinsip-prinsip umum ajaran al-Qur’an. Nanti, prinsip-prinsip umum ini kita aplikasikan untuk memecahkan masalah-masalah konkret dewasa ini. Secara operasional, Amal dan Pangabean memperincinya dalam Tafsir Kontekstual al-Qur’an.

Kritik pada Fiqh Ibrahim Hosen

Esensi dari pemikiran Hosen ialah jiwa atau semangat dari al-Qur’an dan Sunnah. Kita tidak perlu terikat pada teks-teks lahir al-Qur’an dan Sunnah. Kita tidak boleh menerima teks-teks itu begitu saja (secara ta’abbudi). Kita harus menggunakan akal (ta’aqquli). Pandangan ini menimbulkan beberapa kemusykilan. Pertama, ketika kita meninggalkan makna lahir teks dan mencari jiwa atau semangat teks, kita meninggalkan makna obyektif yang sudah jelas dan memasuki makna subyektif yang tidak jelas kriterianya. Makna lahiriah dari teks, “Dan hendaklah mereka menutupkan kerudungnya sampai menutupi dada mereka” (QS. al-Nur: 31) jelas menunjukkan perintah memakai kerudung sampai menutup dada. Sekarang kita abaikan makna lahiriah ini. Kita harus mencari semangat atau ruh perintah ini. Kata sebagian orang, yang dimaksud ialah hendaknya wanita memelihara kesucian dirinya dengan menutup diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela. Semangat ajaran Islam itu kesucian diri, bukan menutupkan kerudung. Kata “menutupkan kerudung” harus dipahami sebagai kata kiasan. Kata sebagian orang, dahulu wanita-wanita Arab itu senang membuka dadanya untuk merangsang kaum pria. Perintah ini harus dipahami sebagai perintah untuk menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang mendorong orang ke arah pemuasaan nafsu.

Kita masih dapat mengumpulkan pendapat-pendapat lain. Tetapi yang menjadi persoalan ialah apakah berpegang pada semangat al-Qur’an atau al-Sunnah itu berarti tidak usah setia lagi pada makna lahiriahnya. Apakah perempuan tidak perlu memakai kerudung bila ia sudah pandai menjaga diri tidak melakukan tindakan yang “merangsang”? Kita memerlukan kriteria kapan teks harus ditinggalkan demi makna yang lebih dalam dan kapan makna yang lebih dalam itu harus diperlakukan sebagai pengayaan makna lahiriah dan bukan pengabaiannya. Tanpa kriteria ini kaum liberalis dapat membawa kita ke arah tadhyi (pengabaian nash) dan tahrif (penyimpangan makna). Kita tidak perlu mengeluarkan zakat bila pemerintah sudah melakukan kebijakan pemerataan pendapatan dan memberikan santunan pada fakir miskin. Bukankah semangat dari ajaran zakat ialah pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan? Ketika para sahabat bersiap diri menghadapi perang di bulan Ramadlan, Rasulullah menyuruh mereka berbuka. Apa semangat dari larangan ini? Umat Islam sedang menghadapi tugas yang berat. Mereka memerlukan tenaga dan kekuatan. Dalam situasi seperti itu puasa boleh ditinggalkan. Sekarang, ketika kita memerlukan tenaga untuk membangun, ketika kita harus meninggalkan produktivitas, apakah kita juga harus meninggalkan puasa.

Kedua, berdasarkan pada ‘illat baru, hukum-hukum syari’at dapat berubah. Misal, dengan mengganti ‘illat qashar pada masyaqqah (kepayahan), qashar tidak lagi berlaku dalam perjalanan tetapi dalam situasi apapun yang membuat orang payah. Kita dapat mengqashar shalat hanya karena kita baru saja menyelenggarakan seminar yang menguras energi. Dengan kebebasan mencari ‘illat baru, kepastian hukum menjadi kabur. Dengan cara ini terbukalah peluang untuk memasukkan pikiran-pikiran non-islami ke dalam struktur syari’at Islam.

Ketiga, dengan menetapkan pemerintah sebagai pentakhshish dan pengtaqyid nash, fiqh akan lebih berfungsi sebagai pemberi justifikasi daripada jurisprudensi. Fiqh menjadi alat status quo dan bukan sebagai korektor. Dalam istilah sebagian orang, Islam akan dipandang hanya sebagai suplemen dan bukan sebagai alternatif. Saya yakin, pemikiran seperti ini tidak memerlukan usaha yang sungguh yang menjadi makna ijtihad, karena justifikasi tidak memerlukan pemikiran yang mendalam.

Kritik pada Fazlur Rahman

Metodologi Rahman –seperti telah disebutkan di atas– bersandar sepenuhnya pada pendekatan historis untuk memperoleh makna teks dari analisis latar sosiologis untuk memahami sasaran al-Qur’an. Seperti dikatakan Subhani, karena jarak kita yang jauh dari masa wahyu, sangat sukar kita memperoleh gambaran utuh mengenai situasi sosial waktu itu. Dalam kalimat Shadr, “terdapat jarak yang sangat jauh antara situasi sosial ketika nash-nash itu dilahirkan dengan situasi sosial dewasa ini, ketika nash-nash itu dijadikan rujukan.”

Dari mana kita memperoleh informasi tentang situasi masa lalu itu? Pertama, dari buku-buku tarikh, yang terbukti seringkali ditulis oleh orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan historiografi, tetapi mempunyai motif-motif yang patut dicurigai. Apalagi, seperti kata sebagian orang, Tuhan dapat membuat sejarah, tetapi hanya ahli sejarah yang dapat mengubah sejarah. Karena itu, seperti yang dilukiskan oleh Taufik dalam buku ini (h. 224), para orientalis –lewat “analisis sosiologi” mereka– dapat “membuktikan” pengaruh-pengaruh Kristen dan Yahudi dalam al-Qur’an.

Kedua, kita merumuskan situasi di zaman Nabi itu dari asbab al-nuzul, Rahman menyadari pentingnya asbab al-nuzul, tetapi –pada saat yang sama– “menilai bahwa literatur asbab al-nuzul itu seringkali sangat bertentangan dengan kacau-balau” (h. 158). Apalagi –sebagai pelanjut mazhab Umari– Rahman seringkali tidak ragu-ragu menanggap hadist-hadist sebagai “fiksi yang dirumuskan belakangan saja”, bila bertentangan dengan apa yang telah dipandangnya sebagai prinsip-prinsip umum ajaran al-Qur’an.

Lebih dari itu, sebagaimana yang telah banyak diketahui oleh para peneliti ulum al-Qur’an, hadist-hadist tentang asbab al-nuzul itu sangat sedikit. Di antara yang sedikit itu, sebagian besar tidak tahan kritik –bahkan pada tingkat kritik rawi atau sanad. Kemusykilan lainnya –yang terlalu panjang bila diuraikan di sini– berkenaan dengan hubungan antara dengan asbab al-nuzul. Kadang-kadang ayat yang sama dijelaskan dengan asbab al-nuzul yang berlainan (ta’addud al-asbab wa al-nazil wahid). Kadang-kadang sebab yang sama berkaitan dengan ayat-ayat yang berlainan (ta’addud al-nazil wa ‘l-sabab wahid).

Yang paling musykil –dan justru di sini Rahman berpijak– adalah menetapkan apakah asbab al-nuzul itu hanya berkenaan dengan peristiwa atau orang yang spesifik atau dapat digeneralisasikan. Di kalangan para mufassirin terjadi ikhtilaf apakah pelajaran (al-’ibrah) itu bersifat spesifik (bi khushush al-sabab) atau umum (bi ‘umum al-lafazh).

Terdapat juga kemusykilan dalam menentukan apakah dalam situasi tertentu, sebab itu khusus dan efek legalnya juga khusus, sedang dalam situasi lain sebabnya khusus tetapi efek legalnya umum. Pernah orang datang kepada Rasulullah saw meminta agar beliau memohon ampun kepada Allah untuk orang itu. Kemudian turun surah al-Nisa ayat 64. Apakah meminta doa kepada Rasul itu hanya berlaku pada waktu Rasul masih hidup atau juga berlaku sekarang? Bukankah dari ayat ini dapat disimpulkan suatu prinsip umum: Bila berbuat dosa, datanglah kepada Rasulullah –baik dalam keadaan hidup atau mati dan mintakan agar beliau memohonkan ampunan buat kita? Kaum Wahhabi berpendapat bahwa tawassul itu syirik dan karena itu menganggap ayat ini hanya berlaku ketika Rasulullah masih hidup. Mereka berpegang pada sebab yang khusus (bi khushush al-sabab). Di sini tampak bahwa prinsip umum yang diyakini oleh mufasir menentukan spesifikasi atau generalisasi asbab al-nuzul. Setiap orang akan setuju bahwa konteks historis sangat diperlukan untuk memahami al-Qur’an. Setiap orang juga tahu bahwa asbab al-nuzul dan tarikh sangat penting. Kedua-duanya sangat dihajatkan terutama sekali untuk menetapkan tujuan atau sasaran yang ingin dicapai al-Qur’an (”ideal moral” al-Qur’an) atau sebab berlakunya hukum (ratio legis). Yang ingin diketahui orang ialah bagaimana Rahman menarik kesimpulan dari ayat-ayat yang tidak ada asbab al-nuzul-nya; juga, bagaimana kita dapat memastikan situasi sosial dari tarikh yang dapat kita akses.

Marilah kita ambil kasus khamr. Menurut Rahman –juga kebanyakan ulama– pengharaman khamr ini berlangsung secara gradual. Khamr tidak diharamkan, ketika umat Islam belum merupakan suatu masyarakat (society), tetapi hanya merupakan komunitas informal. Setelah umat Islam terbentuk sebagai masyarakat, khamr diharamkan. Apa prinsip umum yang dapat ditarik dari latar sosiologis ini? Kata Rahman, “… ketika manusia menjadi sebuah masyarakat (society), alkohol menjadi membahayakan sehingga pengkonsumsiannya tidak diperkenankan.” Inilah ratio legis haramnya alkohol. Kita tidak tahu apakah Rahman setuju, jika kita menyimpulkan –dari kesimpulannya– bahwa pengkonsumsian alkohol secara individual dalam komunitas informal tidak haram.

Rahman menunjukkan evolusi “sikap” al-Qur’an terhadap khamr. Mula-mula khamr dipandang sebagai rahmat Tuhan (QS 16:66-69), tetapi akhirnya dianggap sebagai perbuatan setan (QS 5:90-91). Dengan menggunakan metodologi Rahman, penelitian saya tentang pengharaman menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Khamr sudah diharamkan sejak awal kenabian, di Makkah. Tetapi karena sahabat terus-menerus melakukan pelanggaran, maka pengharaman ditegaskan berkali-kali –dari tahrim ‘am sampai tahrim khash bi tasydid al-baligh (pengharaman khusus yang sangat keras). Dalam urutan pengharaman khamr, para ahli tafsir sepakat menyebutkan surah al-Maidah ayat 90 sebagai ayat yang terakhir. Menurut Thabathaba’i, “Tidak turun ayat al-Ma’idah, kecuali untuk mempertegas (keharaman khamr) bagi menusia, karena mereka menganggap enteng larangan ilahi ini.”

Bahwa khamr telah diharamkan sejak awal bi’tsah dapat dilihat pada peristiwa masuk-Islamnya A’sya ibn Qais. Ketika ia bermaksud menyatakan Islamnya di depan Rasulullah saw, di tengah jalan ia dicegat Abu Sufyan, Abu Jahal, dan orang-orang Quraisy lainnya. “Hai Abu Bashir, Muhammad mengharamkan zina,” kata mereka. Kata A’sya, “Aku tidak keberatan.” “Abu Bashir, Muhammad mengharamkan khamr,” kata mereka lagi. Dan seterusnya. Peristiwa ini terjadi di Makkah, ketika Abu Jahal masih hidup. Abu Jahal terbunuh dalam perang Badar, jauh sebelum turun surah al-Maidah. Dalam hadist yang dikeluarkan oleh Thabrani dari Mu’adz ibn Jabal disebutkan bahwa di antara yang pertama kali diharamkan pada permulaan kenabian adalah minuman khamr.

Yang pertama mengharamkan khamr sebenarnya adalah surah al-A’raf ayat 33, Katakan Tuhanku hanya mengharamkan kekejian –baik yang tampak maupun yang tersembunyi– dan dosa (al-itsm) dan pembangkangan tak benar serta menyekutukan Allah. Al-Itsm dalam ayat itu adalah khamr, sebagaimana ditegaskan dalam surah al-Baqarah ayat 214, Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah di dalamnya ada dosa besar (itsm kabir). Al-A’raf termasuk surah yang turun dalam periode Makkiyah awal.

Tentang surah al-Baqarah ayat 219 –yang dianggap Rahman dan kebanyakan mufassirin belum mengharamkan khamr– al-Jashash menjelaskan: “Ayat ini menetapkan haramnya khamr. Seandainya tidak turun ayat lain yang mengharamkan, cukuplah ayat ini saja. Karena Allah berfirman, di dalamnya dosa besar. Dosa semuanya diharamkan dengan firman Allah, Tuhanku hanya mengharamkan kekejian… dan dosa. (QS. al-A’raf:33). Allah tidak saja menjelaskan bahwa dosa itu haram, tetapi (untuk khamr) mempertegasnya dengan menyebutkan dosa besar, sebagai penegas akan bahayanya. Adapun kata manfaat bagi manusia tidaklah berarti menghalalkannya, karena yang dimaksud manfaat itu manfaat dunia dan semua yang diharamkan ada manfaat duniawi bagi pelanggarnya.” Walhasil, pengharaman khamr diulang-ulang –makin lama makin keras– karena sahabat masih tetap melakukannya. Karena itu surah al-Ma’idah 90 diakhiri dengan kata Mengapa kalian belum berhenti juga. Menurut riwayat, Umar menjawabnya, “Kami berhenti. Kami berhenti!”

Ini hanyalah sebuah contoh penggunaan metodologi Rahman dengan hasil yang sama sekali berbeda dari konklusi Rahman. Karena basis metodologi Rahman adalah tarikh dan asbab al-nuzul, yang harus lebih dahulu dirumuskan adalah kritik keduanya (yang kurang diperhatikan Rahman). []

CATATAN

1). Riwayat ini dihimpun berdasarkan hadits Bukhari, Muslim, al-Nasai, Ahmad Abu Dawud, Ibn Majah, Ibn Hajar al-Asqalani. Lihat: Fath al-Bari, 1:443 al-Maktabah al-Salafiyah.

2). Fath al-Bari, 1:457

3). Ibn Hajar mendefinisikan sahahat sebagai “orang yang berjumpa dengan Nabi saw, beriman kepadanya dan meninggal dalam Islam. Mereka yang termasuk jumpa ini orang yang lama bergaul dengan Nabi atau yang sebentar, yang berperang besertanya atau tidak, yang melihatnya tetapi tidak menghadiri majelisnya, atau yang tidak melihatnya seperti orang buta”, al-Ishahah fi Tamyiz al-Shahabah, 1:10

4). Abu Zahrah, Tarikh al-Madhahib al-Islamiyah, Beirut, Dar al-Fikr, hal. 250.

5). Abu Ishaq al-Syatiby, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’at, Mathba’ah al-Maktabah al-Tijariyah, tanpa tahun, tanpa kota, 4:74. Al-Syatibi mengutip ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits untuk menunjang pendapatnya, Muhammad Taqiy al-hakim mengkritik kelemahan argumentasi al-Syatibi secara rinci. Pembaca yang tertarik dapat melihat M.T Al-Hakim Al-Ushul al-’Ammah fi al-Fiqh al-Muqaran, Beirut, Dar al-Andalus, 1974:133-143.

6). Lihat al-Ghazali, al-Mustasyfa, Mesir: Mustafa Muhammad, tanpa tahun, 1:135. Pada halaman yang sama, al-Ghazali menolak semua pendapat itu dan berkata, “Siapa saja yang mungkin salah atau lupa dan tidak tegas ‘ishmahnya tidak boleh pembicaraannya menjadi hujjah. Bagaimana mungkin berhujjah dengan ucapan mereka dengan kemungkinan mereka salah. Bagaimana mungkin menetapkan ishmah mereka tanpa hujjah yang mutawatir? Bagaimana dapat dibayangkan adanya ‘ishmah, padahal mereka boleh ikhtilaf? Mungkinkah dua orang ma’shum ikhtilaf? Bagaimana mungkin, padahal sahabat sepakat bolehnya bertentangan dengan sahabat yang lain? Abu Bakar dan Umar tidak mengingkari orang yang berbeda ijtihadnya dengan mereka; bahkan mereka mewajibkan –dalam masalah ijtihad– agar setiap mujtahid mengikuti ijtihadnya masing-masing.”

7). Taqdimah al-Ma’rifah li Kitab al-Jarh wa al-Ta’dil, Heiderabad, 1371, hal. 7-9. Mengenai ‘Udul-nya sahabat, Ibn Hajar berkata, “Sepakat semua Ahl Sunnah bahwa sahabat seluruhnya ‘udul, tak ada yang menentang hal ini kecuali orang-orang bid’ah yang menyirnpang” (Al-Ishabah 1:9; Ibn Hajar mengemukakan dalil-dalil tentang ‘udul-nya sahabat secara rinci dalam kitab ini juga). Ibn Al-Atsir dalam Usud al-Ghabah fi Ma’rifat al-Shahabah, 1:3, menulis, “Sahabat sama seperti perawi hadits yang lain kecuali satu hal –pada mereka tidak berlaku jarh dan ta’dil, sebab mereka semna ‘udul, tidak dikenai celaan.” Begitu “sucinya” para sahabat itu sehingga Abu Zar’ah menulis, “Siapa yang mengkritik salah seorang di antara sahabat Rasulullah saw, ketahuilah bahwa dia itu zindiq (atheis).” Lihat Al-Ishabah 1:10. Kecuali untuk sahabat yang masuk Islam sesudah Bai’at al-Ridwan (sambil mereka pun tidak boleh disebut kecuali kebaikan), menurut Ibn Hazm, “Seluruh sahabat itu mukmin yang saleh; semuanya mati dalam iman, petunjuk, dan kebajikan; semuanya masuk surga; tidak seorangpun masuk neraka.” (Saya kutip lagi dari Muhammad ‘Ajal al-Khatib, Al-Sunnah qabl al-Tadwin, Kairo, Maktabah Wahdah, 1963, hal. 395-396).

8). Muhammad Ibrahim Jannati, “Ra’y Gera’i Dar Ijtihad”, dalam Kayhan-e Andisheh NO. 9. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mahliqa Qara’i, “Ijtihad and the Practise of Ra’y”, dalam Al-Tawhid, vol. V NO. 2, 1408; hal. 57-58.

9). Shahih al-Bukhari, 3:69; Sunan al-Nasa’i, 5:148; Sunan al-Baihaqi, 4:352 dan 5:22; lihat juga Shahih Muslim, 1:349.

10). Kupasan tentang perdebatan ini; lihat Ibn Qayyim, Zad al-Ma’ad 1:177-225.

11). Abu Dawud 2:242; Shahih Muslim 2:52; Al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra 8:318; Kanz al-Ummal 3:102.

12). Shahih Muslim 1:574; Musnad Ahmad 1:314; Sunan al-Baihaqi 7:336; al-hakim 2:196; al-Dar al-Mantsur 1:279.

13). Abu Dawud 2:227; Ibn Majah 2:227, al-Hakim dalam al-Mubarak 2:59 dan 4:389; al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra 8:264; Taysir al-Wushul 2:5; Fath al-Bari 12:101; Umdat al-Qari 11:151; Irsayad al-Sari 10:9. Bukhari meriwayatkan hadits ini tetapi dengan tidak lengkap, pada Kitab Al-Muharibin.

14). Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, 252.

15). Dr. Musa Towana, Al-Ijtihad: wa Mada Hajatina ilaih fi Hadza al-Ashar, Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah,
tanpa tahun, hal. 32-33.

16). Tafsir Ibn Katsir 4:194; Tafsir al-Darr al-Mantsur 6:74; Kanz al-Ummal 1:185.

17). Asbab al-Ikhtilaf bain Aimmah al-Madzahib al-Islamiyah”, dalam Hawl al-Wahdah al-Islamiyah, Teheran: Sepahar, 1404, hal. 227-228.

18). Ibn Qayyim al-Jawziyyah, “I’lam al-Muqi’in, Mesir: Mathba’ah Sa’adah, tt 1:63-64.

19). Al-Syatibi, “Al-’Itisham. Saya kutip lagi dari Abu Zahrah. Tarikh al-Madzahib, hal. 255.

20). Di antara ayat-ayat yang menunjukkan keharusan mengikuti ahli bait adalah Al-Maidah 55 (Menurut banyak ahli tafsir, turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib), Al-Ahzab 33 (tentang ‘ishmah ahli bait), Al-Syura 23 (tentang keharusan mencintai ahli waris). Di antara hadist-hadits tentang hal yang sama adalah hadits Tsaqalain: Aku tinggalkan bagimu dua hal, yang jika kamu berpegang teguh, kamu tidak akan sesat selama-lamanya Kitab Allah den Ahli Baitku (hadits-hadits yang semakna dengan ini diriwayatkan oleh Shaih Muslim dalam Kitab Fadhail al-Shahabat”, Musnad Ahmad 4:366, Al-Baihaqi 2:148, Shahih al-Turmudzi 2:308, Mustadrak al-Shahihain 3:109, Kanz al-’Umal 1:47 dan lain-lain). dan hadits: “Ahli baitku adalah tempat yang aman dari ikhtilaf bagi umatku” (Mustadrak al-Shahihain 3:348), bukan tempatnya di sini menuliskan semua riwayat yang dijadikan dalil oleh kelompok pertama. Gubahan syair dari Al-Amini al-Inhaqi dari Syiria, dalam Limadza Ikhtartu Madzhab Ahl al-Bait, menyimpulkan dalil-dalil itu.

21). Lihat Dr. Musa Towana, Al-Ijtihad, hal. 39-40.

22). Shaih al-Bukhari, “Kitab al-’Ilam”, 1:22. Lihat juga Shahih Bukhari, “Kitab al-Jihad”, dan Kitab al-Jizyah”, Shahih Muslim Bab “Tark al-Wasyiyyah” Musnad Ahmad, hadits NO. 1935. Thabaqat ibn Sa’ad 2:244, Tarikh Thabari 3:193.

23). Tadzkirat al-Huffazh, 1:5; Kanz al-’Ummal, 1:174.

24). Tadzkirat al-Huffazh, tarjamah Abu Bakr, 1:2-3.

25). Al-Thabaqat al-Kubra, 11:257; Tarikh al-Khulafa, 138.

26). Al-Thabaqat al-Kubra, 7:188.

27). Tadzkirat al-Huffadz, 1:7, tarjamah ‘Umar

28). Al-Thabaqat al-Kubra, 7:447.

29). Lihat “Kontroversi sekitar Ijtihad ‘Umar r.a”, dalam Iqbal Abdurrauf Saimima, ed., Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988, hal. 50.

30. Al-Jawharah al-Nayyirah; dikutip lagi dari al-Nash wa al-Ijtihad, Qum Abu Mujtaba, 10404 H; hal. 44. Riwayat pelarangan bagian muallaf, lihat Tafsir al-Manar 10:297; Al-Durr al-Mantsur 3:252.

31). Tarikh al-Thabari 3:234; Tarikh Ibn Katsir 6:319; Al-Kamil ibn al-Katsir 2:146, Il-Ishabah 2:322.

32). Kitab al-Kharraj 24-25; Sunan al-nasai 2:179; Tafsir al-Thabari 10:6; Ahkam al-Qur’an dari Al-Jahshash 3:60 62; Sunan al-Baihaqi 6:342-343.

33). Al-Muwaththa’, 2:10; al-Baihaqi 7:164; Ahkam al-Qur’an dari Al-Jahshash 2:168; Al-Muhalla’ 9:622; Tafsir al-Zamahsyari 1:359; Tafsir al-Qurthubi 6:117; Taisir al-Khazim 1:356; Al-Durr al-Mautsir 2:136; Tafsir al-Syawkani 1:418.

34). Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ 1:282 dari Urwah: Rasulullah shalat dua rakaat di Mina pada shalat-shalat yang empat rakaat. Abu Bakar shalat di Mina dua rakaat. Umar shalat di Mina dua rakaat. Usman mula-mula shalat dua rakaat, tetapi kemudian meng-itmam-kannya. Lihat juga Shahih al-Bukhari 2:154, Sunan al-Muslim 2:260, Musnad Ahmad 2:148 Sunan al-Baihaqi 3:126.

36). Shahih al-Bukhari 3:69; Shahih al-Turmudzi 1:68, Sunan Abu Dawud 1:171; Sunan Ibnu Majah 1:348; Sunan al-Nasai 3:100, Kitab al-Umm 1:173, Sunan al-Baihaqi 1:429, 3:192, 205.

37). Shahih al-Bukhari 3:69; Shahih al-Muslim 1:349; Musnad Ahmad 1:61,95; Sunan al-Nasai 5:148, 152; Sunan al-Baihaqi 1:472; Mustadrak al-hakim 1:472; Tasyir al-Wushul 1:282.

37).Shahih Muslim 1:142; Shahih al-Bukhari 1:109.

38). Ibn Hazm dalam Al-Muhalla 5:227; juga Al-Baladzuri dalam al-Anshab 5:26.

39). Ibn Hajar, Fath al-Bari 2:361; lihat Al-Syawkani dalam Al-Awthar 3:374. Ibn Hajar memberikan komentar. “Utsman melihat kemaslahatan jamaah supaya dapat mengejar shalat, sedangkan Marwan supaya orang mendengarkan khutbahnya.”

40). Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Bandung: Pustaka, 1983, hal. 26 menulis: Kami telah menyatakan: (1) bahwa sunnah dari kaum muslim di masa lampau secara konsepsional dan kurang lebih secara garis besarnya berhubungan erat dengan sunnah Nabi dan pendapat yang menyatakan bahwa praktek-praktek muslim di masa lampau terpisah dari konsep sunnah Nabi adalah salah sekali; (2) bahwa meskipun demikian, kandungan yang khusus dan aktual dari sunnah kaum muslim di masa lampau tersebut sebagian besarnya adalah produk dari kaum muslim sendiri; (3) bahwa unsur kreatif dari kandungan ini adalah ijtihad personal yang mengalami kristalisasi menjadi ijma’ berdasarkan petunjuk pokok dari sunnah nabi yang tidak dianggap sebagai sesuatu yang sangat bersifat spesifik; (4) bahwa kandungan sunnah atau sunnah dengan pengertian sebagai praktek yang disepakati secara bersama adalah identik dengan ijma’.

41). Syibli Nu’mani, Umar Yang Agung, Bandung: Pustaka, 1404, hal. 532.

42). Abu Zahrah, Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyah, Dar Al-Fikr Al-Araby, tt., hal. 267.

43). Shahih Bukhari, “Bab Ghazwat Al-Hudaibiyah,” Kitab Al-Maghazi, hadits ke 4170; Fath al-bari 7:449-450; 2:401.

44). Shahih Bukhari, “Bab I: Al-Hawah”, Kitab Al-Riqaq. Lihat Fath al-Bari, 11:463-476; Shahih Muslim, “Bab Itsbat”, Kitab Al-Fadhail.

45). Syarh Al-Muwaththa’, 1:221; Tanwir Al-Hawalik, 1:93-94.

46). Al-Imam Al-Syafi’i, Al-Umm, 1:208.

47). Jami’ Bayan Al-’Ilm, 2:244; lihat juga Dhuha Al-Islam, 1:365; Turmudzi 3:302.

48). Jami’Bayan Al-’ Ilm, 2:244.

49). Ansab Al-Asyraf, 2:180. Lihat juga Sunan al-Baihaqi 2:68; Kanz al-’Ummal, 8:143.

50). Catatan kaki pada hamisy kitab Sunan Al-Nasai, 5:263.

51). Tafsir Al-Nisabury, pada hamisy kitab Tafsir Al Thabari, 1:79.

52). Lihat Ali Al-Hamady, Al-Sujud ‘ala al-A’rdh, Dar Al Tarqib, 1978, hal. 14. Kitab ini menunjukkan, berdasarkan hadit-hadits yang diriwayatkan Ahl Sunnah bahwa disamping Rasulullah saw, sahabat-sahabat seperti Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Jabir bin Abdillah dan lain-lain melarang sujud selain di atas tanah. Tidak mungkin kita menurunkan semua hadits itu di sini Cukuplah kita kutip hadits Muslim dari Khabab bin Al-Arat, “Kami mengeluoh kepada Rasulullah tentang udara yang sangat panas sehingga tanah menjadi sangat panas pada dahi-dahi kami. Tetapi, Nabi saw tidak mengizinkan kami (sujud selain di atas tanah). Ibn Al-Atsir, ketika menjelaskan hadits ini, dalam Al-Nihayah, berkata, “Para fuqaha menyebut peristiwa ini berkenaan dengan sujud. Waktu itu para sahabat meletakkan ujung baju mereka dilarang ketika akan sujud untuk menghindarkan panas yang sangat; tetapi mereka dilarang berbuat begitu. Ketika mereka mengadukan apa yang mereka alami, Nabi saw mengizinkan mereka sujud di atas pakaian mereka itu.

53). Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, hal. 257.

54). Shahih Al-Bukhari, 3:124, “Bab Walladzi Qala li Walidaihi”, Fath Al-Bari, 10:197-198. Lihat juga biografi Al-Haban bin Al-’Ash pada Al-’Isti’ab, Usud Al-Ghabab, Al-Ishabah, Mustadrak Al-Hakim, 4:481, Tarikh Ibn Katsir, 8:889; lihat juga biografi Abdurrahman bin Abi Bakr dalam Ibn Asakir, Tarikh Dimasq.

55). Tafsir Al-Thabari, 19:72-75; Ibn Katsir, Al-Bidayah wa Al-Nihayah, 3:40.

56). Ibn Katsir, ibid., 7:214

57). Kata Al-Dzhabi dalam Tadzkirat Al-Huffadz, 698-701.

58). Shahih Muslim, bab “Man La Ha’arahun Naby”, Kitab Al-Birr wa Al-Shilah.

59). Al-Sirah Al-Nabawiyyah, Beirut, Dar Ihya’ Al-Turats Al-’Arabiy, juz I.


Sumber : tuban.wordpress.com

;;
Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template