Senin, 09 Maret 2009

aL-bAlad aTh-tHAyyIbAAt

POLITIK PEMBANGUNAN ISLAM
Karena cukup menarik, kita perlu menyimak kata pengantar Dr. Hamim Ilyas yang berjudul ”Akar Fundamentalisme Dalam Perspektif Al-Qur’an”. Berikut ini paparan Hamim Ilyas tentang fundamentalisme:
”Fundamentalisme adalah satu tradisi interpretasi sosio-religius (mazhab) yang menjadikan Islam sebagai agama dan ideologi, sehingga yang dikembangkan di dalamnya tidak hanya doktrin teologis, taoi juga doktrin-doktrin ideologis. Doktrin-doktrin itu dikembangkan oleh tokoh-tokoh pendiri fundamentalisme modern, yakni Hasan al-Banna, Abu A’la al-Maududi, Sayyid Quthb, Ruhullah Khumaini, Muhammad Baqir al-Shadr, Abd as-Salam Faraq, Sa’id Hawa dan Juhaiman al-Utaibi.”
Menurut Hamim Ilyas, ”Karakteristik fundamentalisme adalah skripturalisme, yakni keyakinan harfiah terhadap kitab suci yang merupakan firman Tuhan yang dianggap tanpa kesalahan. Dengan keyakinan itu dikembangkan gagasan dasar bahwa suatu agama tertentu dipegang kokoh dalam bentuk literal dan bulat, tanpa kompromi, pelunakan, reinterpretasi dan pengurangan.”
Lalu, Hamim melanjutkan tulisannya tentang fundamentalisme dengan mengutip pendapat Azyumardi Azra dan Martin E. Marty, dengan menjelaskan sebagai berikut:
Pertama, oposionalisme. Fundamentalisme dalam agama mana pun mengambil bentuk perlawanan – yang bukannya tak sering bersifat radikal – terhadap ancaman yang dipandang akan membahayakan eksistensi agama, baik yang berbentuk modernitas, sekularisasi maupun tata nilai Barat. Acuan atau tolok ukur untuk menilai tingkat ancaman itu tentu saja adalah kitab suci, yang dalam fundamentalisme Islam adalah Al-Quran dan pada batas-batas tertentu juga hadits Nabi.
Kedua, penolakan terhadap hermeneutika. Kaum fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks. Teks al-Qur’an harus dipahami secara literal sebagaimana bunyinya, karena nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Meski bagian-bagian tertentu dari teks kitab suci boleh jadi kelihatan bertentangan satu sama lain, nalar tidak dibenarkan melakukan semacam ”kompromi” dan menginterpretasikan ayat-ayat tersebut.
Ketiga, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Bagi kaum fundamentalis, pluralisme merupakan pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci.
Keempat, penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Kaum fundamentalis berpandangan bahwa perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci... Karena itulah, kaum fundamentalis bersifat a-historis dan a-sosiologis; dan tanpa peduli bertujuan kembali kepada bentuk masyarakat ”ideal” – seperti pada zaman kaum salaf – yang dipandang mengejawantahkan kitab suci secara sempurna.
”Karakteristik fundamentalisme yang telah mengakar membawa konskuensi logis munculnya doktrin-doktrin yang justru mengekang, menyiksa diri dan membatasi ruang gerak, bukannya membebaskan. Doktrin sentral fundamentalisme adalah Islam kaffah. Dalam doktrin ini Islam tidak hanya diajarkan sebagai sistem agama, tetapi sebagai sistem yang secara total mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial,” tulis sang dosen tafsir UIN Yogya ini.
Ditambahkan lagi, bahwa ”Akar fundamentalisme yang berasal dari kesalahan menafsirkan teks suci al-Qur’an ternyata benar-benar mencoreng nama Tuhan (Allah Swt) dan al-Qur’an itu sendiri. Menjadikan Islam sebagai idoelogi yang mendorong timbulnya ekstrimisme dan radikalisme dapat diyakini sebagai perilaku berlebih-lebihan dalam beragama yang jelas-jelas dilarang.”
Demikianlah kutipan paparan Dr. Hamim Ilyas tentang fundamentalisme.
Ringkasnya, menurut Hamim Ilyas, fundamentalis adalah orang-orang yang skripturalis atau literalis dalam memahami Al-Quran, menolak hermeneutika, menolak pluralisme, menolak relativisme dan sebagainya. Paparan dosen tafsir UIN Yogya tentang ”fundamentalisme Islam” ini – sebagaimana banyak cendekiawan lainnya – masih sebatas membeo definisi fundamentalisme yang aplikasikan oleh para ilmuwan Barat yang merujuk kepada pengalaman sosial-keagamaan kaum Yahudi dan Kristen. Jika dicermati, tulisan ini sebenarnya serampangan dan asal-asalan.
Kita tentu sudah maklum, bahwa istilah dan wacana fundamentalisme keagamaan dikembangkan oleh Barat menyusul berakhirnya Perang Dingin. Seperti ditulis Huntington dalam bukunya, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order, bahwa adalah manusiawi untuk membenci karena untuk penentuan jati diri dan membangun motivasi, masyarakat perlu musuh. (It is human to hate. For self definition and motivation people need enemies: competitors in business, rivals in achievement, opponents in politics).
Sejak itu, wacana ”fundamentalisme keagamaan”, khususnya ”fundamentalis Islam” dikembangkan. Banyak sarjana dibayar untuk meneliti dan menulis tentang masalah ini. Seminar-seminar tentang fundamentalisme digelar. Media massa memainkan peran yang dominan dalam pembentukan opini negatif tentang kaum yang dicap sebagai fundamentalis.
Istilah-istilah “Islam fundamentalis”, “Islam eksklusif”, “Islam militan”,
Islam radikal”, “Islam konservatif”, dan sejenisnya memang sering digunakan untuk memberikan stigma negatif terhadap kelompok-kelompok Islam yang pemikirannya tidak sejalan dan tidak disukai oleh Barat. Ilmuwan Yahudi, Prof. Bernard Lewis, dalam bukunya The Crisis of Islam menyatakan, bahwa fundamentalis Islam adalah jahat dan berbahaya, dan menyebutkan bahwa fundamentalis adalah anti-Barat. (Fundamentalists are anti-Western in the sense that they regard the West as the source of the evil that is corroding Muslim society).
Dalam “Catatan Pinggirnya” di Majalah Tempo, 27 Januari 2002, Gunawan Muhammad menutup tulisannya dengan kalimat: “Fundamentalisme memang aneh dan keras dan menakutkan: ia mendasarkan diri pada perbedaan, tetapi pada gilirannya membunuh perbedaan.” Lalu, pada pidatonya di Taman Ismail Marzuki Jakarta, 21 Oktober 1992, Nurcholish Madjid mengatakan: “Kultus dan fundamentalisme adalah sama berbahayanya dengan narkotika.”
Genderang perang yang ditabuh oleh Barat dan sekutu-sekutunya dalam melawan fundamentalisme agama tentu saja dibuat dalam perspektif Barat dan untuk kepentingan Barat. Karena itulah, proyek ini mendapatkan kucuran dana yang sangat besar. Salah satu yang menonjol adalah proyek liberalisasi Islam. Karena itu, kita tentu maklum dengan munculnya orang-orang seperti Hamim Ilyas ini, yang entah karena ketidaktahuannya atau karena hawa nafsunya membuat opini-opini yang menyudutkan kaum Muslim dan cendekiawan Muslim tertentu seperti al-Maududi, dengan memberi stigma negatif semacam “fundamentalis” dan sebagainya.
Kita bisa saja tidak setuju dengan sebagian pemikiran Hasan al-Banna atau Abul A’la al-Maududi. Tetapi, untuk apa memberi cap bahwa mereka adalah fundamentalis, literalis, anti-pluralis, dan sebagainya? Tuduhan-tuduhan seperti ini sebenarnya sangat naif dan bodoh, apalagi dilakukan oleh seorang doktor dan dosen tafsir. Abul A’la al-Maududi, misalnya, adalah pemikir besar yang karya-karyanya telah memberi inspirasi dan manfaat bagi jutaan kaum Muslim di seluruh dunia.
Lalu, dikatakan oleh Hamim Ilyas, bahwa salah satu ciri fundamentalis adalah menolak hermeneutika. Pada muktamarnya di Boyolali tahun 2004, NU juga menolak penggunaan hermeneutika untuk Al-Quran. Apa NU juga fundamentalis? Di Muhammadiyah sendiri, banyak tokohnya yang telah menulis secara kritis bahaya penggunaan hermeneutika untuk Al-Quran. Apa mereka semua itu adalah kaum fundamentalis?
Jika dikatakan Hamim Ilyas, bahwa “doktrin sentral fundamentalisme adalah Islam kaffah” maka, pada Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang, juga telah ditetapkan tujuan jangka panjang Persyarikatan Muhammadiyah, yakni “tumbuhnya kondisi dan faktor-faktor pendukung bagi terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.” Bukankah masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang mau diwujudkan oleh Muhammadiyah juga sesuai dengan konsep “Islam kaffah”? Apa Muhammadiyah juga dicap fundamentalis karena mencita-citakan terbentuknya masyarakat Islam yang kaffah?
Kita pun patut bertanya kepada doktor tafsir UIN Yogya ini, apa salahnya jika kaum Muslim ingin menerapkan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupannya? Apa salahnya jika kaum Muslim menolak paham Pluralisme Agama, sebagaimana telah difatwakan oleh MUI dan banyak ulama lainnya? Sebelum MUI menolak paham ini tahun 2005, pada tahun 2000, Vatikan juga telah terlebih dahulu menolak paham tersebut. Juga, apa salahnya jika kaum Muslim menolak paham relativisme, yang memang merupakan paham yang merusak pikiran dan keimanan?
Sebenarnya, jika dicermati, sang dosen UIN Yogya ini pun tidak konsisten dengan paham relativisme yang diagungkannya sendiri. Lihat saja, gaya tulisannya yang menghujat dan menyalah-nyalahkan apa yang disebutnya paham fundamentalisme! Artinya, dalam hal ini, dia juga telah menjadi fundamentalis, karena merasa sok benar sendiri, dan tidak menerima pandangan lain, selain pandangannya sendiri.
Di akhir tulisannya, Dr. Hamim Ilyas mengkaitkan aksi terorisme dengan tafsir fundamentalis. Katanya: “Akhirnya, terorisme yang dilakukan oleh sebagian umat Islam, dalam kenyataannya merupakan fakta yang direkayasa, mungkin oleh Barat dan mungkin juga oleh Al-Qaidah pimpinan Usama bin Ladin. Perbuatan mereka yang merusak itu sedikit banyak berhubungan dengan tafsir fundamentalisme ini sebagai basis ideologis.”
Kesimpulan yang mengaitkan terorisme dengan tafsir keagamaan sebenarnya terlalu jauh. Ada yang menarik kesimpulan sederhana, karena pelaku aksi pengeboman membaca buku-buku Ibn Taimiyah, kemudian dikatakan, bahwa buku Ibn Taimiyah adalah sumber terorisme. Padahal, ratusan juta orang telah membaca karya-karya Ibn Taimiyah, dan mereka tidak melakukan pengeboman. Karena itulah, ada sebagian politisi Barat yang meminta agar Al-Quran dilarang, hanya karena dia melihat para pelaku pengeboman juga membaca Al-Quran.
Dengan menggunakan sedikit saja kecerdasan, kita bisa membuktikan, bahwa aksi-aksi terorisme yang terjadi di berbagai penjuru dunia bukanlah dipicu oleh paham keagamaan, tetapi lebih banyak dipicu oleh faktor eksternal, terutama faktor ketidakadilan. Para pengikut Hasan al-Banna di Palestina melakukan aksi jihad – yang oleh Zionis Israel dikatakan sebagai “terorisme” -- karena mereka terjajah dan terzalimi di negerinya. Di zaman penjajahan Belanda, kita juga membanggakan pahlawan-pahlawan kita yang berani mempertaruhkan nyawanya untuk meraih kemerdekaan, meskipun oleh penjajah dilabeli dengan kaum ekstrimis, dan sebagainya. Di Indonesia, para pengkit Hasan al-Banna atau pengagum Abul A’la al-Maududi tidak melakukan aksi-aksi pengeboman.
Karena itulah, sangatlah tidak tepat jika masalah fundamentalisme dan terorisme dikaitkan dengan penolakan terhadap hermeneutika dan relativisme. Ini sudah sangat berlebihan dan keterlaluan dalam membebek dan membeo saja pada pendapat ilmuwan Barat. Orang yang menolak penggunaan metode hermeneutika dan menggunakan ilmu Tafsir untuk memahami Al-Quran sudah dimasukkan “kotak maut” bernama fundamentalis. Bahkan, kaum Muslim yang meyakini kebenaran agamanya sendiri, yang berjuang untuk menjadi Muslim yang kaffah juga divonis sebagai “fundamentalis”, yang dikonotasikan sudah dekat dengan “teroris”.
Di era reformasi dan penjajahan modern ini, sudah begitu banyak aset-aset umat dan bangsa yang sudah hilang. BUMN sudah banyak yang dijual. Kekayasan alam telah punah. Ekonomi, politik, teknologi, budaya, dan sebagainya juga telah “dikuasai”. Yang masih tersisa dalam diri kita saat ini adalah kemerdekaan iman dan pemikiran; kemerdekaan untuk meyakini kebenaran agama kita sendiri, kemerdekaan untuk memahami Al-Quran dengan cara kita sendiri, bukan dengan cara agama atau budaya lain.
Kini, sisa-sisa milik kita yang paling pribadi dan vital itu pun mau dirampas pula. Kita tidak boleh meyakini agama kita sendiri yang benar, dan harus memeluk paham pluralisme dan relativisme. Kita tidak boleh lagi menggunakan Ilmu Tafsir kita sendiri dalam memahami Al-Quran, karena sudah ada ilmu baru yang disodorkan Barat yang bernama hermeneutika. Intinya, kita disuruh beragama, sebagaimana orang-orang Barat beragama.
Sayang sekali, saat ini, kemerdekaan iman dan pikiran kita itulah yang hendak mereka rampas, baik dengan cara halus maupun kasar. Kita bisa paham, jika yang berniat merampas kemerdekaan iman dan pikiran kita adalah orang-orang sejenis Snouck Hurgronje dan kawan-kawannya. Tapi, alangkah sedih dan prihatinnya kita, jika yang melakukan perampasan iman dan pikiran kita itu adalah oknum-oknum bergelar doktor dalam bidang agama, yang sedang berkuasa di lembaga-lembaga agama. Mudah-mudahan Allah SWT memberi kekuatan kepada kita untuk mempertahankan iman dan pemikiran keislaman kita di tengah zaman yang penuh dengan fitnah ini. Amin.

[Depok, 14 Desember 2007]
Pendahuluan
Di antara fenomena yang disadari oleh sebagian pengkaji teori-teori politik secara umum, adalah: adanya hubungan yang erat antara timbulnya pemikiran-pemikiran politik dengan perkembangan kejadian-kejadian historis (1). Jika fenomena itu benar bagi suatu jenis atau madzhab pemikiran tertentu, dalam bidang pemikiran apapun, hal itu bagi pertumbuhan dan perkembangan teori-teori politik Islam amatlah jelas benarnya. Teori-teori ini ---terutama pada fase-fase pertumbuhan pertamanya-- berkaitan amat erat dengan kejadian-kejadian sejarah Islam. Hingga hal itu harus dilihat seakan-akan keduanya adalah seperti dua sisi dari satu mata uang. Atau dua bagian yang saling melengkapi satu sama lain. Sifat hubungan di antara keduanya berubah-ubah: terkadang pemikiran-pemikiran itu tampak menjadi penggerak terjadinya berbagai kejadian, dan terkadang pula kejadian-kejadian itu menjadi pendorong atau rahim yang melahirkan pendapat-pendapat itu. Kadang-kadang suatu teori hanyalah sebuah bias dari kejadian yang berlangsung pada masa lalu. Atau suatu kesimpulan yang dihasilkan melalui perenungan atas suatu pendapat yang telah diakui pada masa sebelumnya. Atau bisa pula hubungan itu berbentuk lain.
Karena adanya hubungan antara dua segi ini, segi teoretis dan realistis, maka jelaslah masing-masing dari kedua hal itu tidak dapat dipahami tanpa keberadaan yang lain. Metode terbaik untuk mempelajari teori-teori ini adalah dengan mengkajinya sambil diiringi dengan realitas-realitas sejarah yang berkaitan dengannya. Secara berurutan sesuai dengan fase-fase perkembangan historisnya ---yang sekaligus merupakan runtutan alami dan logisnya. Sehingga dapat dipahami hakikat hubungan yang mengkaitkan antara dua segi, dapat memperjelas pendapat-pendapat, dan dapat menunjukkan bumi yang menjadi tempat tumbuhnya masing-masing pemikiran hingga berbuah, dan mencapai kematangannya. Inilah metode yang akan kami gunakan.
Era Kenabian
Era ini merupakan era pertama dalam sejarah Islam. Yaitu dimulai semenjak Rasulullah Saw memulai berdakwah mengajak manusia untuk menyembah Allah SWT hingga meninggalnya beliau. Era ini paling baik jika kita namakan sebagai era "kenabian" atau "wahyu". Karena era itu memiliki sifat tertentu yang membedakannya dari era-era yang lain. Ia merupakan era ideal yang padanya ideal-ideal Islam terwujudkan dengan amat sempurna.
Era ini terbagi menjadi dua masa, yang keduanya dipisahkan oleh hijrah. Kedua fase itu tidak memiliki perbedaan dan kelainan satu sama lain, seperti yang diklaim oleh beberapa orientalis (2). Bahkan fase yang pertama merupakan fase yang menjadi titik tolak bagi fase kedua. Pada fase pertama, embrio 'masyarakat Islam' mulai tumbuh, dan telah ditetapkan kaidah-kaidah pokok Islam secara general. Kemudian pada fase kedua bangun 'masyarakat Islam' itu berhasil dibentuk, dan kaidah-kaidah yang sebelumnya bersifat general selesai dijabarkan secara mendetail. Syari'at Islam disempurnakan dengan mendeklarasikan prinsip-prinsip baru, dan dimulailah pengaplikasian dan pelaksanaan prinsip-prinsip itu seluruhnya. Sehingga tampillah Islam dalam bentuk sosialnya secara integral dan aktif, yang semuanya menuju kepada tujuan-tujuan yang satu.
Sejarah, dalam pandangan politik, lebih terpusat pada fase kedua dibandingkan dengan fase pertama. Karena saat itu jama'ah Islam telah menemukan kediriannya, dan telah hidup dalam era kebebasan dan independensi. Ia juga telah meraih 'kedaulatan'nya, secara penuh. Sehingga prinsip-prinsip Islam sudah dapat diletakkan dalam langkah-langkah praksis. Namun, dalam pandangan sejarah, ciri terbesar yang menandai kedua fase itu adalah sifatnya sebagai fase 'pembentukan', dan fase pembangunan dan permulaan. Fase ini memiliki urgensitas yang besar dalam menentukan arah kejadian-kejadian historis selanjutnya, dan sebagai peletak rambu-rambu yang diikuti oleh generasi-generasi berikutnya sepanjang sejarah. Sedangkan dari segi pemikiran teoritis, pengaruhnya terbatas pada kenyataannya sebagai ruh umum yang terus memberikan ilham terhadap pemikiran ini, memberikan contoh atau teladan ideal yang menjadi rujukan pemikiran-pemikiran itu, meskipun pemikiran-pemikiran itu berbeda satu sama lain, dan memberikan titik pertemuan bagi pendapat-pendapat dan madzhab-madzhab yang berbeda. Sedangkan selain itu, ia tidak memiliki hubungan dengan tumbuhnya pendapat-pendapat parsial yang memiliki kekhasan masing-masing. Terutama jika objek kajiannya adalah analisis terhadap sistem umum yang menjadi platform kenegaraan ummat, atau tentang hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya, atau analisis terhadap salah satu sifatnya. Atau dengan kata lain, analisis terhadap masalah-masalah yang dinamakan sebagai 'politik'. Karena pendapat-pendapat personal itu tidak tumbuh dalam satu atmospir. Namun pendapat-pendapat itu tampil seiring dengan terjadinya perbedaan pendapat dan kecenderungan-kecenderungan. Yang mendorong timbulnya pendapat-pendapat itu juga adalah adanya perasaan kurang sempurna yang ada di tengah masyarakat, dan keinginan untuk mengoreksi sistem atau perilaku-perilaku yang sedang berlangsung. Sedangkan jika suatu sistem telah sempurna, yang mencerminkan prinsip-prinsip agung yang diamini oleh seluruh anggota jama'ah (ummat), dan adanya persatuan yang terwujud di antara individu-individu, kemudian mereka menyibukkan diri mereka untuk berbicara dan berdebat tentang agenda-agenda kerja yang besar, niscaya tidak diperlukan sama sekali tumbuhnya pendapat-pendapat individu atau tampil 'teori-teori'.
Demikianlah, era Rasulullah Saw mencerminkan era persatuan, usaha dan pendirian bangunan umat. Serta menampilkan ruh yang mewarnai kehidupan politik, dan mewujudkan replika bangunan masyarakat yang ideal untuk diteladani dan ditiru oleh generasi-generasi yang datang kemudian. Namun, 'pemikiran teoritis' saat itu belum dimulai. Hal ini tentu amat logis dengan situasi yang ada. Yang jelas, belum ada kebutuhan terhadap hal itu. Namun demikian, belum lagi era tersebut berakhir, sudah timbul faktor-faktor fundamental yang niscaya mendorong timbulnya pemikiran ini, dan membentuk 'teori-teori politik' secara lengkap. Di antara faktor-faktor yang terpenting ada tiga hal: pertama, sifat sistem sosial yang didirikan oleh Rasulullah Saw. Kedua, pengakuan akan prinsip kebebasan berpikir untuk segenap individu. Ketiga, penyerahan wewenang kepada umat untuk merinci detail sistem ini, seperti tentang metode manajerialnya, dan penentuan beberapa segi formatnya. Kami perlu menjelaskan lebih lanjut tentang faktor-faktor ini.
Islam dan Politik
Sistem yang dibangun oleh Rasulullah Saw dan kaum mukminin yang hidup bersama beliau di Madinah --jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan variabel-variabel politik di era modern-- tidak disangsikan lagi dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem politik par excellence. Dalam waktu yang sama, juga tidak menghalangi untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem religius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motivasinya, dan fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak.
Dengan demikian, suatu sistem dapat menyandang dua karakter itu sekaligus. Karena hakikat Islam yang sempurna merangkum urusan-urusan materi dan ruhani, dan mengurus perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Bahkan filsafat umumnya merangkum kedua hal itu, dan tidak mengenal pemisahan antara keduanya, kecuali dari segi perbedaan pandangan. Sedangkan kedua hal itu sendiri, keduanya menyatu dalam kesatuan yang tunggal secara solid; saling beriringan dan tidak mungkin terpisah satu sama lain. Fakta tentang sifat Islam ini amat jelas, sehingga tidak membutuhkan banyak kerja keras untuk mengajukan bukti-bukti. Hal itu telah didukung oleh fakta-fakta sejarah, dan menjadi keyakinan kaum Muslimin sepanjang sejarah yang telah lewat. Namun demikian, ada sebagian umat Islam sendiri, yang mengklaim diri mereka sebagai 'kalangan pembaru', dengan terang-terangan mengingkari fakta ini!. Mereka mengklaim bahwa Islam hanyalah sekadar 'dakwah agama' (3): maksud mereka adalah, Islam hanyalah sekadar keyakinan atau hubungan ruhani antara individu dengan Rabb-nya. Dan dengan demikian tidak memiliki hubungan sama sekali dengan urusan-urusan yang kita namakan sebagai urusan materi dalam kehidupan dunia ini. Di antara urusan-urusan ini adalah: masalah-masalah peperangan dan harta, dan yang paling utama adalah masalah politik. Di antara perkataan mereka adalah: "agama adalah satu hal, dan politik adalah hal lain".
Untuk mengcounter pendapat mereka, tidak ada manfaatnya jika kami mendedahkan pendapat-pendapat ulama Islam; karena mereka tidak mau mendengarkannya. Juga kami tidak memulainya dengan mengajukan fakta-fakta sejarah, karena mereka dengan sengaja telah mencampakkannya!. Oleh karena itu, cukuplah kami kutip beberapa pendapat orientalis dalam masalah ini, dan mereka telah mengutarakan hal itu dengan redaksi yang jelas dan tegas. Hal itu kami lakukan karena para 'pembaru-pembaru' itu tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih modern dari para orientalis itu, juga tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih mampu dalam menggunakan metode-metode riset modern, dan penggunaan metode-metode ilmiah. Di antara pendapat-pendapat para orientalis itu adalah sebagai berikut:
1. Dr. V. Fitzgerald (4) berkata: "Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang mengklaim diri mereka sebagai kalangan 'modernis', yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di atas fundamental bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras, yang tidak dapat dapat dipisahkan satu sama lain".
2. Prof. C. A. Nallino (5) berkata: "Muhammad telah membangun dalam waktu bersamaan: agama (a religion) dan negara (a state). Dan batas-batas teritorial negara yang ia bangun itu terus terjaga sepanjang hayatnya".
3. Dr. Schacht berkata (6): " Islam lebih dari sekadar agama: ia juga mencerminkan teori-teori perundang-undangan dan politik. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, ia merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara secara bersamaan".
4. Prof. R. Strothmann berkata (7): "Islam adalah suatu fenomena agama dan politik. Karena pembangunnya adalah seorang Nabi, yang juga seorang politikus yang bijaksana, atau "negarawan".
5. Prof D.B. Macdonald berkata (8): "Di sini (di Madinah) dibangun negara Islam yang pertama, dan diletakkan prinsip-prinsip utama undang-undang Islam".
6. Sir. T. Arnold berkata (9): " Adalah Nabi, pada waktu yang sama, seorang kepala agama dan kepala negara".
7. Prof. Gibb berkata (10): "Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam bukanlah sekadar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangun masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi".
Bukti Sejarah
Seluruh pendapat-pendapat tadi diperkuat oleh fakta-fakta sejarah : di antara fakta sejarah yang tidak dapat diingkari oleh siapapun adalah, setelah timbulnya dakwah Islam, kemudian terbentuk bangunan masyarakat baru yang mempunyai identitas independen yang membedakannya dari masyarakat lain. Mengakui satu undang-undang, menjalankan kehidupannya sesuai dengan sistem yang satu, menuju kepada tujuan-tujuan yang sama, dan di antara individu-individu masyarakat yang baru itu terdapat ikatan ras, bahasa, dan agama yang kuat, serta adanya perasaan solidaritas secara umum. Bangunan masyarakat yang memiliki semua unsur-unsur tadi itulah yang dinamakan sebagai bangunan masyarakat 'politik'. Atau yang dinamakan sebagai 'negara'. Tentang negara, tidak ada suatu definisi tertentu, selain aanya fakta terkumpulnya karakteristik-karakteristi yang telah disebutkan tadi dalam suatu bangunan masyarakat.
Di antara fakta-fakta sejarah yang tidak diperselisihkan juga adalah, bangunan masyarakat politik ini atau 'negara', telah memulai kehidupan aktifnya, dan mulai menjalankan tugas-tugasnya, dan merubah prinsip-prinsip teoritis menuju dataran praksis. Setelah tersempurnakan kebebasan dan kedaulatannya, dan kepadanya dimasukkan unsur-unsur baru dan adanya penduduk. Yaitu setelah pembacaan bai'at Aqabah satu dan dua, yang dilakukan antara Rasulullah Saw dengan utusan dari Madinah, yang dilanjutkan dengan peristiwa hijrah. Para faktanya, kedua bai'at ini --yang tidak diragukan oleh seorangpun tentang berlangsungnya kedua bai'at ini-- merupakan suatu titik transformasi dalam Islam (11). Dan peristiwa hijrah hanyalah salah satu hasil yang ditelurkan oleh kedua peristiwa bai'at itu. Pandangan yang tepat terhadap kedua bai'at tadi adalah dengan melihatnya sebagai batu pertama dalam bangunan 'negara Islam'. Dari situ akan tampak urgensitas kedua hal itu. Alangkah miripnya kedua peristiwa bai'at itu dengan kontrak-kontrak sosial yang di deskripsikan secara teoritis oleh sebagian filosof politik pada era-era modern. Dan menganggapnya sebagai fondasi bagi berdirinya negara-negara dan pemerintahan. Namun bedanya, 'kontrak sosial' yang dibicarakan Roussou dan sejenisnya hanyalah semata ilusi dan imajinasi, sementara kontrak sosial yang terjadi dalam sejarah Islam ini berlangsung dua kali secara realistis di Aqabah. Dan di atas kontrak sosial itu negara Islam berdiri. Ia merupakan sebuah kontrak historis. Ini merupakan suatu fakta yang diketahui oleh semua orang. Padanya bertemu antara keinginan-keinginan manusiawi yang merdeka dengan pemikiran-pemikiran yang matang, dengan tujuan untuk mewujudkan risalah yang mulia.
Dengan demikian, negara Islam terlahirkan dalam keadaan yang amat jelas. Dan pembentukannya terjadi dalam tatapan sejarah yang jernih. Karena Tidak ada satu tindakan yang dikatakan sebagai tindakan politik atau kenegaraan, kecuali dilakukan oleh negara Islam yang baru tumbuh ini. Seperti Penyiapan perangkat untuk mewujudkan keadilan, menyusun kekuatan pertahanan, mengadakan pendidikan, menarik pungutan harta, mengikat perjanjian atau mengirim utusan-utusan ke luar negeri. Ini merupakan fakta sejarah yang ketiga. Adalah mustahil seseorang mengingkarinya. Kecuali jika kepadanya dibolehkan untuk mengingkari suatu fakta sejarah yang terjadi di masa lalu, dan yang telah diterima kebenarannya oleh seluruh manusia. Dari fakta-fakta yang tiga ini --yang telah kami sebutkan-- terbentuk bukti sejarah yang menurut kami dapat kami gunakan sebagai bukti --di samping pendapat kalangan orientalis yang telah disitir sebelumnya-- atas sifat politik sistem Islam. Jika telah dibuktikan, dengan cara-cara yang telah kami gunakan tadi, bahwa sistem Islam adalah sistem politik, dengan demikan maka terwujudlah syarat pertama yang mutlak diperlukan bagi keberadaan pemikiran politik. Karena semua pemikiran tentang hal ini: baik tentang pertumbuhannya, hakikatnya, sifat-sifatnya atau tujuan-tujuannya, niscaya ia menyandang sifat ini, yaitu sifatnya sebagai suatu pemikiran politik. Syarat ini merupakan faktor yang terpenting dalam pertumbuhan pemikiran ini. Bahkan ia merupakan landasan berpijak bagi kerangka-kerangka teoritis dan aliran-aliran pemikiran yang beragam. Oleh karena itu, amatlah logis jika kami curahkan seluruh perhatian ini untuk meneliti dan menjelaskannya.
Catatan kaki:
(1) Di antara tokoh yang mengatakan hal itu adalah Prof. J.N. Figgis dalam buku "The Divine Right of Kings --yang dengan bukunya itu ia mendapatkan salah satu penghargaan sastra yang besar-- , dalam beberapa tempat dari bukunya itu, ia membuktikan bahwa teori itu lahir akibat situasi dan kondisi yang berlangsung pada saat itu. Di antara ungkapannya itu adalah yang ia tulis dalam pendahuluan bukunya itu: "Teori ini lebih tepat dikatakan sebagai akibat dari realitas yang ada, ketimbang sebagai buah pemikiran murni", hal. 6.
J. Matters juga mengatakan dalam bukunya "Concepts of State, Sovereignty and International Law", p.2, sebagai berikut: "ini adalah fakta yang penting, meskipun tidak diketahui oleh banyak orang: bahwa teori-teori yang ditelurkan oleh Hocker, Hobbes, Locke, dan Roussou merupakan hasil dari kecenderungan-kecenderungan politik mereka, dan perhatian mereka terhadap hasil peperangan-pepernagan agama dan politik, yang --secara berturut-turut--terjadi pada zaman mereka, di negara-negara mereka, atau di negara-negara yang menjadi perhatian mereka".
(2) Di antara klaim-klaim yang salah, yang didengung-dengungkan oleh banyak orientalis adalah: bahwa peristiwa hijrah merupakan permulaan era baru. Maksudnya, ia merupakan starting point terjadinya perubahan fundamental, yang tidak saja terlihat dalam pergeseran sifat kejadian-kejadian yang berlangsung setelahnya, namun juga pada karakteristik Islam itu sendiri, prinsip-prinsip yang diajarkan olehnya, serta dalam lingkup kejiwaan Rasulullah Saw dan tujuan-tujuan beliau. Untuk membuktikan klaim itu, mereka melakukan komparasi antara kehidupan Rasulullah Saw yang bersifat menyerah dan mengalah di Mekkah dengan kehidupan jihad dan revolusi di Madinah!. Untuk membantah klaim ini, kita cukup berdalil dengan fakta bahwa tidak kontradiksi antara kedua priode kehidupan Rasulullah Saw itu (priode Mekkah dan madinah), dan priode kedua tak lebih dari kontiunitas periode pertama. Dan perbedaan yang ada hanyalah terletak pada kondisi dan faktor-faktor penggerak kejadian; setiap kali ada fenomena tertentu yang signifikan, saat itu pula timbul dimensi baru dalam kehidupan Islam.
Namun kita cukup mengutip apa yang dikatakan oleh seorang tokoh orientalis yang besar, yaitu Prof. H.A.R. Gibb. Ia berkata dalam bukunya yang berbicara tentang Islam "Muhammedanism", p. 27, in the Series (H.U.L), 1949, sebagai berikut:
"Peristiwa hijrah sering dilihat sebagai starting point transformasi menuju era baru dalam kehidupan Muhammad dan penerusnya; namun pembandingan secara mutlak yang biasanya dilakukan antara pribadi seorang Rasul yang tidak terkenal dan tertindas di Mekkah, dengan pribadi seorang mujahid [Muhammad] dalam membela aqidah di Madinah, tidak memiliki landasannya dalam sejarah. Tidak ada perubahan dalam pandangan Muhammad tentang misinya atau kesadarannya terhadap misinya itu. Meskipun dalam segi pisik tampak gerakan Islam dalam bentuk yang baru, namun hal itu hanyalah bersifat sebagai penampakkan sesuatu yang sebelumnya tertutup, dan pendeklarasian sesuatu yang sebelumnya disembunyikan. Adalah suatu pemikiran Rasul yang tetap -- seperti yang juga dilihat oleh musuhnya dalam memandang masyarakat agama baru yang didirikan olehnya itu-- bahwa dia akan mendirikan suatu bangunan politik; sama sekali bukan sekadar bentuk agama yang terpisah dari dan terletak di bawah kekuasaan pemerintahan duniawi. Dia selalu menegaskan, saat menjelaskan sejarah risalah-risalah rasul sebelumnya, bahwa ini (pendirian negara) merupakan salah satu tujuan utama diutusnya rasul-rasul oleh Tuhan. Dengan demikian, sesuatu hal baru yang terjadi di Madinah --hanyalah-- berupa: jama'ah Islam telah mengalami transformasi dari fase teoritis ke fase praksis".
(3) Diantara tokoh mengusung pendapat ini dan membelanya adalah Ali Abdurraziq, mantan hakim pengadilan agama di Manshurah, dan mantan menteri perwakafan, dalam bukunya yang dipublikasikan pada tahun 1925, dan berjudul: Al Islam wa Ushul al Hukm. Di samping bantahan-bantahan yang kami ketengahkan saat ini, kami akan kembali mendiskusikn pendapat-pendapatnya dan memberikan bantahan atasnya nanti secara lebih terperinci dalam pasal-pasal berikutnya. (lihat, terutama, pasal keempat, dalam buku ini, di bawah sub-judul: bantahan atas klaim-klaim beberapa penulis kontemporer).
(4) Dalam 'Muhammedan Law", ch. I, p. 1.
(5) Dikutip oleh Sir. T. Arnold dalam bukunya: The Caliphate, p. 198.
(6) Encyclopedia of Social Sciences, vol. VIII, p. 333
(7) The Encyclopedia of Islam, IV, p. 350.
(8) Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, New York, 1903, p. 67
(9) The Caliphate, Oxford, 1924, p. 30.
(10) Muhammedanism, 1949, p. 3
(11) Deskripsi detail tentang kedua bai'at tadi dapat dirujuk di dalam buku-buku sejarah politik. Dalam kesempatan ini kami sebutkan dua referensi: pertama, Sirah ibnu Hisyam (cet. Al Maktabah at Tijariah al Kubra), juz 2, hal. 35-90. kedua, Muhadharat fi Tarikh al Umam al Islamiah, karya Muhammad Khudhari, juz 1, hal. 79-83. Kami cukup mengutip sedikit darinya tentang kedua bai'at itu. Yaitu bahwa bai'at yang pertama terjadi satu tahun tiga bulan sebelum peristiwa hijrah, dan dihadiri oleh dua belas laki-laki dari penduduk Madinah. Kesepakatan yang diucapkan pada saat itu adalah tentang keharusan bertauhid, memegang kaidah-kaidah akhlak sosial umum yang menjadi dasar bagi undang-undang masyarakat yang ideal. Sedsangkan bai'at yang kedua terjadi satu tahun setelah itu, pada musim haji yang berikutnya. Dihadiri oleh tujuh puluh tiga laki-laki dan dua orang wanita. Perjanjian yang diucapkan saat itu ---disamping point-point yang disepakati sebelumnya-- adalah untuk saling bantu-membantu daslam peperangan dan perdamaian dalam melawan musuh negara yang baru berdiri itu, dan agama yang baru, serta untuk taat dalam kebaikan dan membela kebenaran.

0 Comments:

Post a Comment



Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template